Friday, 11 July 2014

Tong Wasiat

Namanya Teuku Mun. Orang-orang memanggilnya Tumun. Sebagian orang lagi memanggilnya juragan tanah lembek alias lelaki yang selalu membeli atau menerima setiap tanah sawah warga kampung baik yang dijual atau jua yang digadaikan padanya. Dan di kampung Kuta hampir setiap tanah sawah menjadi miliknya.

Ia lelaki yang hampir kaya hijau tapi tak jadi. Musababnya tak lain, karena suka main perempuan. Dan perempuan yang ia mainkan itu pun tak dipandang bulu, perawan, janda tetap dihajarnya asalkan si perempuan mau menerima pemberiannya dan mau memberi apa yang ia minta. Selain itu, kepelitannya juga terkenal ke seantero kampung. Ia mau berdakwa hanya karena uang seribu rupiah. Bahkan ia mau berkelahi hanya pasal uang lima ribu rupiah.

Lelaki itu kini telah memiliki empat orang anak. Dan keempat-empatnya telah mengecap pendidikan yang bermacam jenjang, mulai dari SD hingga SMA. Keempat anaknya itu begitu penurut dan berbudi baik. Ya, mereka mewarisi sifat sang emak bukan sifat Tumun.

Senja akan segera tiba. Tumun sedang menunggu kepulangan anaknya yang tua dari tempat latihan silat kampung. Tak lama kemudian, yang ditunggu pun muncul. Segera Tumun memanggilnya.

“Nak, dari mana kamu?” tanya Tumun pura-pura tidak tahu.

“Rahman baru pulang dari tempat latihan silat, Yah.”

“Bagus itu,” tambah Tumun, “oya, kalau kamu sudah sampai di rumah, bilang sama Emakmu kalau malam ini Ayah tidak pulang. Ayah bermalam di sawah malam ini, jaga air, agar tidak ada yang mencurinya. Kamu tahu sendiri kan kapan para pencuri laknat itu mencuri air sawah warga?”
“Baik, Yah.”

“Ya sudah, sekarang kamu pulang terus, Emak sedang menunggu kepulanganmu.”

Ayah dan anak itu akhirnya menelusuri jalan masing-masing. Dan sang ayah telah berhasil membohongi anaknya yang tua dan juga istrinya. Alasan menjaga air di sawah, padalah bermalam dengan seorang perawan yang ia temui siang tadi.

Tumun terus berjalan menuju tempat rahasianya. Kini ia tiba di tempat rahasianya itu. Kedatangan Tumun disambut dengan senyum manis sang perawan. Gadis yang baru berusia sembilan belas tahun itu ternyata telah lama menunggu kehadiran sang juragan tanah itu di jambo kebun kopinya.

Dan malam pun mulai menggelar jubah hitam pertamanya.

Dalam kegelapan malam yang belum begitu sempurna, Tumun dan gadis perawannya itu mulai menghidupkan pelita untuk menerangi kamar tempat mereka akan tidur nanti.

“Aku sudah tidak sabar lagi, Sayang,” bisik Tumun pada perawannya itu. “ Apa sudah bisa kita mulai sekarang, Sayang?” tanya Tumun lagi.

“Sudah. Tapi, surat-surat yang kuminta sebagai bayarannya apa sudah di bawa?” tanya sang perawan sambil mengelus-elus pipi sang juragan penuh manja.

Sang juragan pun tak kuasa dengan elusan yang diberikan sang perawan. Ia langsung mengeluarkan selembar surat tanah dari balik bajunya. “Ini, Sayang,” ucap Tumun sambil mendaratkan hidungnya pada pipi sang perawan yang begitu mulus.

Tak lama kemudian, dari balik kain sarungnya itu sang perawan mengeluarkan sepucuk surat yang lengkap dengan materai. Ia menyodorkan surat tersebut pada lelaki hidung belang yang akan menikmati tubuhnya malam ini. Tumun langsung membaca surat tersebut. Dan inti daripada surat tersebut tak lain, setelah menikmati tubuh sang perawan maka sepetak tanah yang tertera pada surat yang diberikan oleh Tumun secara sah menjadi milik si perawan. Tumun setuju dan langsung membubuhi tanda tangannya pada bagian surat yang telah disediakan.

Perjanjian pun selesai dilakukan. Kini tiba saatnya bagi sang juragan menikmati malam beserta dengan sepotong tubuh yang masih menyimpan sejuta kenikmatan.

***

Kebiasaan buruk yang dimiliki Tumun masih melekat erat di tubuhnya. Hari-harinya masih juga dilalui dengan menikmati setiap tubuh yang mau memberikan apa yang ia ingini. Dan ia tak menghirau sudah berapa banyak tanahnya yang hilang akibat perbuatannya itu. Ia tak peduli dan tak akan pernah peduli, baginya yang penting adalah kenikmatan dan kenikmatan.

Setiap kali ada perempuan yang menggodanya, Tumun langsung mengajak si perempuan untuk menikmati malam. Ketika si perempuan setuju, Tumun langsung mengeluarkan surat-surat tanahnya yang ia simpan dalam sebuah tong yang berada di bawah kolong tempat tidurnya. Dan kini dalam tong itu tak banyak lagi surat-surat tanah miliknya. Ya, semua surat tanah yang ia miliki telah berpindah pada perempuan-perempuan yang memberikan Tumun kenikmatan.

Perbuatannya itu kini menuai buah yang begitu menyakitkan. Tumun menderita Raja Singa. Mengetahui dirinya menderita penyakit yang mematikan, Tumun pun berobat ke segenap pengobat yang ahli-ahli. Sudah banyak tempat berobat ia singgahi dan sudah banyak pengobat yang mengobati, namun penyakit yang dideritanya itu tak jua kunjung  pergi dari tubuhnya yang kian hari kian ceking.

Tubuhnya yang kian hari kian ceking itu melahirkan segenap keheranan pada sang istri. Tak kuasa memendam rasa herannya itu, istrinya pun melahirkannya.

“Abang sebenarnya sakit apa?”

“Oh, Abang tidak tahu juga Mala. Sepertinya Abangmu ini diguna-gunai orang.”
Jawaban sang suami membuat Mala kian mengerutkan dahinya. “Lantas kenapa setiap  Mala mengajak Abang untuk  “mikmati malam” Abang selalu menolaknya?”

“Aku tidak suka “menikmati malam” bersamamu jika keadaan badanku seperti ini. sudahlah jangan banyak bertanya lagi, Mala.”

Begitulah jawaban yang selalu diberikan Tumun ketika istrinya menanyakan keadaan tubuhnya. Tumun kembali pada tong tempat ia menyimpan surat-surat berharganya. Betapa terkejut ia ketika melihat tong kesayangannya itu kini hanya berisi satu surat tanah lagi. Ia terduduk lesu di atas ranjang. Mungkin mulai menyesali perbuatannya. Dan surat tanah yang terakhir itu mau tidak mau ia harus mengambilnya. Sebab esok hari akan datang seorang tabib terkenal yang konon kata orang-orang mampu menyembuhkan segenap penyakit yang ada.

Hari yang dinanti pun tiba. Tabib yang terkenal kini telah berada di depan mata. Setelah menjelaskan penyakit yang diderita pada sang tabib, sang tabib pun berkata akan menyanggupi memulihkan penyakit yang diderita Tumun. Tapi, bayarannya sangat mahal. Tumun langsung menyodorkan surat tanahnya itu sebagai bayarannya. Akhirnya, proses obat mengobati pun selesai dilakukan. Sebagai obat sampingan, Tumun diberi ramuan-ramuan hasil racikan sang tabib. Sang tabib pun pergi beserta surat tanah yang terakhir milik Tumun.

Seperti perintah sang tabib, Tumun dengan rajinnya meminum obat yang diberikan oleh sang tabib. Namun, tanda-tanda akan kepulihannya tak kunjung tampak. Beberapa hari kemudian, tersiarlah kabar bahwa tabib yang pernah mengunjungi kampung mereka adalah seorang tabib palsu. Dan kabar itu juga sampa ke telinga Tumun.

Dengan penuh amarah, Tumun membakar segenap ramuan yang pernah diberikan oleh sang tabib padanya. Hari demi hari badan Tumun kian awoh* dan tanda-tanda ia akan disapa sang Izrail pun mulai tampak satu persatu. Mengetahui dirinya akan segera menjumpai sang Khalik, Tumun pun menuliskan wasiatnya pada secarik kertas. Setelah selesai menuliskan wasiat terakhirnya itu, Tumun memasukkan kertas yang berisi wasiat terakhirnya itu dalam tong tempat ia menyimpan surat-surat tanahnya dulu.

Hanya tinggal menghitung hari. Dan kematian Tumun pun kian terbaui. Akhirnya, Tumun menghela nafas terakhirnya tepat di saat malam menggelar jubah kesempurnaannya, tengah malam. Sebelum nafas dihela, tumun sempat berkata pada istrinya bahwa ia ada meninggalkan wasiatnya yang ia tulis pada secarik kertas. Dan wasiat itu ia taruh dalam Tong Wasiat yang berada di bawah kolong ranjang tidur mereka. Tumun selesai dikebumikan. Kini tiba waktunya bagi sang istri dan anak-anaknya membaca wasiat yang pernah ditulis oleh almarhum.

Anak-anakku tercinta. Kini Ayah telah tiada dan segenap harta yang ada Ayah serahkan pada kalian yang tinggal di dunia. Namun, harta seperti tanah-tanah yang pernah Ayah miliki kini telah tiada lagi. Mereka telah pergi bersama perempuan-perempuan yang pernah Ayah tiduri saat Ayah masih hidup dulu. Dan sekarang kalian yang Ayah tinggali janganlah berkecil hati, sebab harta yang berharga yang Ayah tinggali adalah kalian berempat wahai anak-anakku. Janganlah kalian ribut-ribu., Berbaiklah dengan sesama. Dan pesan terakhir Ayah buat kalian, jagalah Emakmu dengan baik. Salam cinta Ayah kalian, Teuku Mun.

 Rahman langsung merobek kertas wasiat yang ditulis oleh ayahnya itu dengan penuh amarah.

“Ayah kurang ajar! Semoga Kau di alam sana mendapat siksa yan berlipat ganda!” teriak Rahman penuh amarah. ***

Azmi Labohaji

awoh*: keadaan tubuh yang semakin hari kian kurus, ceking, tubuh yang tak kunjung sembuh 

-dimuat pada harian Serambi Indonesia

No comments:

Post a Comment