Berbicara mengenai dunia guru memang tidak pernah habisnya. Selalu ada hal atau permasalahan yang menarik jika kita ingin membicarakannya. Permasalahan itu pun bermacam-macam. Mulai dari guru memukul siswa, guru tidak disiplin, guru gaptek, guru malas, guru tak layak mengajar, hingga permasalahan-permasalahan yang menyudutkan guru dengan pernyataan-pernyataan yang mengerikan yaitu guru tak berkualitas atau tak berkompetensi!
Untuk yang terakhir, mengenai permasalahan guru yang tak berkualitas atau tak berkompetensi menarik untuk dibahas. Bila itu dibahas akan cukup panjang dan lebar. Dalam hal ini, ketika membicarakan masalah kualitas atau kompetensi guru, ada banyak faktor yang patut kita perhatikan. Misalnya, faktor sistem perekrutan guru, faktor usia, kemajuan teknologi, hak (gaji), dan kecukupan fasilitas belajar dalam rangka meningkatkan kualitas dan kompetensi guru. Semua faktor itu saling berkaitan dan berperan penting dalam membentuk seorang guru yang memiliki kualitas dan kompetensi yang seperti diharapkan. Untuk itu, jangan selamanya kita menghukum guru dengan mengatakan bahwa guru yang tak berkualitas atau berkompeten itu bersumber dari guru itu sendiri.
Pemerintah dalam hal ini tidak metutup mata dalam menyikapi kualitas guru yang sering diperbincangkan. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam dunia pendidikan, pemerintah juga telah melakukan banyak perbaikan. Salah satunya adalah memperbaiki para guru yang tak berkualitas dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan.
Antara PLPG dan PPG
“Pengembangan kualitas guru dalam program PPG (Pendidikan Profesi Guru) sudah dilaksanakan. Namun hasilnya juga tidak menggembirakan. Di lapangan, masih banyak guru-guru yang sebenarnya tidak layak mengajar dan terus mengajar. PPG hanya dijadikan sebagai kewajiban yang setiap tahapannya harus dijalani agar profesinya sebagai guru tetap berlanjut. Seringkali para guru yang mengikuti PPG tidak serius dan tidak fokus, sehingga tidak benar-benar terbentuk sebagai guru yang memiliki tingkat kompetensi tinggi seperti yang diharapkan. Sungguh sangat disayangkan!”
Petikan kalimat-kalimat di atas merupakan pernyataan yang diutarakan oleh Ainul Mardhiah dalam opini Harian Serambi Indonesia, Selasa 17 Juni 2014. Pernyataan itu membuat peserta PPG angkatan I di Aceh yang dilaksanakan oleh LPTK Universitas Syiah Kuala “terbakar”. Pernyataan itu harus jelas maksudnya apa, kemana, dan untuk siapa. Apakah pernyataan itu memang benar-benar ditujukan kepada guru PPG yang kini sedang mengikuti program PPG? Atau isi pernyataan tersebut dialamatkan penulis untuk guru-guru dalam jabatan yang telah selesai mengikuti PLPG?
Dalam hal ini, Ainul Mardhiah seharusnya memilah secara cermat konsep antara program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dengan program Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Akan sangat kacau dan bahkan bisa berakibat fatal jika kita tidak memilahnya dengan jelas antara konsep program PPG dan program PLPG meskipun keduanya itu memiliki tujuan dalam hal memperbaiki kualitas guru.
Jika benar pernyataan tersebut ditujukan kepada guru-guru muda yang baru saja selesai mengabdi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang kini tengah mengenyam program PPG di LPTK Universitas Syiah Kuala, berarti dalam hal ini penulis opini tersebut salah besar! Lagi pula peserta program PPG yang dilaksanakan oleh LPTK Universitas Syiah Kuala belum diterjunkan ke lapangan untuk mengajar. Kini para peserta tengah disibukkan dengan pembuatan perangkat pembelajaran (RPP) kurikulum 2013 dan proses peer teaching yang padat.
Seharusnya untuk pernyataan yang demikian perlu pemilahan konsep yang jelas agar maksud dan tujuannya sesuai alamatnya. Jika fakta-faktanya sudah menarik dan akurat akan tetapi pengalamatannya salah, jelas itu akan menuai kritik dan protes yang pedas dari pihak yang merasakannya istilahnya salah jok ubat. Untuk itu, agar tidak terjadi kesalahapahaman dan kekacauan yang berkelanjutan, penulis opini tersebut perlu melakukan klarifikasi yang jelas agar ubat nya itu sesuai diberikan kepada yang membutuhkannya. Alhamdulilah, pelurusan masalah tersebut telah dilakukan oleh saudara Ainul Mardhiah melalui rubric droe keu droe pada Kamis (19/6).
Sebaliknya, jika pernyataan tersebut ditujukan kepada guru-guru dalam jabatan yang telah selesai mengikuti PLPG, tentu penulis opini tersebut bertanggung jawab atas pernyataan yang telah ditulis dan mungkin diperkuat dengan fakta-fakta yang akurat. Apakah itu sesuai dengan kenyataan di lapangan atau hanya prediksi tanpa fakta yang mendukung, itu tentunya hanya penulis opinilah yang tahu.
Sebagai pencerahan dan mungkin perlu untuk diketahui, di Aceh, program PPG baru pertama dilakukan melalui LPTK Universitas Syiah Kuala dan program ini baru berusia empat bulan. Pesertanya pun bukan dari kalangan guru dalam jabatan. Artinya, para peserta yang kali ini mengikuti PPG di LPTK Universitas Syiah Kuala berasal dari guru-guru muda yang telah selesai mengabdi di tiga provinsi yang ada di Indonesia, Kalimanatan Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Kepulauan Anambas, di daerah-daerah 3T di provinsi tersebut.
Di samping itu, mengikuti program PPG dengan tujuan akhir untuk mendapatkan sertifikat pendidik sebagai bukti dinyatakan sebagai guru profesional tidaklah mudah. Ada banyak hal yang harus dilewati. Pertama, harus mengabdikan diri mencerdaskan anak bangsa di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal selama satu tahun lamanya melalui program SM-3T. Untuk catatan, jika program PPG ini telah dibuka untuk umum, mungkin poin pertama itu tidak perlu dilaksanakan lagi. Kemudian, mengikuti masa perkuliahan program PPG selama satu tahun lamanya. Selama perkuliahan peserta dituntut untuk membuat segenap perangkat pembelajaran dan pemantapan mengajar (peer teaching) di depan pembimbing. Selanjutnya, setelah masa perkuliahan itu selesai, peserta harus mengikuti Uji Kompetensi (UK) lokal dan nasional. Jika pada tahap akhir ini peserta mampu menjawab ujian kompetensi baik lokal maupun nasional dengan baik dan mencapai angka seperti yang telah ditentukan, barulah peserta berhak menerima sertifikat pendidik untuk dinyatakan sebagai guru profesional dan berhak mendapatkan tunjangan profesi.
Selain program PPG yang berperan meningkatkan mutu guru dalam mengajar, kita juga mengenal program PLPG yang juga memiliki peran yang sama, yakni meningkatkan mutu guru dalam mengajar. Namun keduanya tetap memiliki perbedaan. Jika pada program PPG peserta harus mengikutinya selama satu tahun, pada PLPG peserta hanya menghabiskan masa belajarnya selama sepuluh hari dengan beban belajar 90 jam dan pesertanya pun adalah guru dalam jabatan. Di samping itu, tujuan PLPG adalah untuk mendapatkan tanda bukti gelar “guru profesional” guna menambah penghasilan guru melalui tunjangan profesi sebagai peningkatan taraf ekonomi dan kesejahteraan hidup guru-guru.
Menurut UU No 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Dengan demikian, program PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan bagi lulusan S-1 Kependidikan dan S-1/D-IV Non-Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar mereka dapat menjadi guru yang profesional setelah memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai dengan standar nasional pendidikan dan memperoleh sertifikat pendidik.
Selain itu, program PPG pun memiliki tujuan tersendiri seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 87 tahun 2013 (sebagai pengganti Permendiknas No 8 tahun 2009) yaitu untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran, menindaklanjuti hasil penilaian, melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik serta melakukan penelitian, dan mampu mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan.
Kembali lagi pada pernyataan yang telah dipaparkan oleh saudara Ainul Mardhiah. Meskipun benar kenyataannya di lapangan masih ada para guru yang belum memiliki kompetensi tinggi seperti yang diharapkan walaupun telah mengikuti PLPG, kita harus tetap menghargai mereka. Walau bagaimanapun mereka tetap guru, orang-orang yang telah mendidik dan mengajari kita. Jika memang benar-benar ingin menyorot kelemahan mutu atau kompetensi mereka, ada banyak faktor yang harus kita kaji bersama untuk hal tersebut. Dengan demikian, sebagai guru muda masa depan marilah bersama-sama kita membenah diri, memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan demi sebuah tujuan mencerdaskan anak bangsa seperti yang kita harapkan selama ini.
Azmi Labohaji
Dimuat di harian Serambi Indonesia, Selasa, 24 Juni 2014
No comments:
Post a Comment