Andai aku jadi orang berada/ pasti semua luka hilang segera/ tapi aku orang papa, menanggung sakit di lantai tua/ tak ada yang melirik ke lukaku/ sebab aku orang papa/ tak ada yang tertawa ke arahku/ sebab senyum terlalu mahal sebuah harga/ aku si sakit yang terus terhimpit//
Penyair muda sekaligus kumal itu langsung melipat dan menyembunyikan penggalan puisi yang baru selesai di tulisnya. Sudah dua minggu ia terbaring di jambo milik seorang dukon. Awalnya penyair muda itu telah diboyong ke rumah berobat, akan tetapi ia ditolak mentah-mentah. Janggutnya yang kotor dan juga telah menyentuh dadanya serta kumisnya yang sudah layak untuk bergantung setan, teIah lama tak dipangkas. Ia orang Aceh asli. Dan di-KTP yang dibuat beberapa tahun yang lalu, nama tempat kelahirannya sangat kental keacehannya; Kutabuloh. Namun keacehannya itu tak diakui pihak rumah berobat. Dan kini ia terpaksa berobat ke dukon yang bermuasal dari Aceh selatan, Nek Jen.
Beragam macam obat telah ditelan sang penyair atas perintah sang dukon. Tapi, penyakit itu masih menari-nari di tubuh kurusnya . Ia engan enyah dari tubuh sang penyair. Dan obat yang harus dimakan oleh sang penyair tak ada unsur manis sedikit pun. Semuanya pahit. Bahkan pernah sekali sang penyair menolak untuk minum obat yang diberikan Nek Jen, karena pahit sekali. Tapi, untung sang dukon panjang akalnya. Ketika sang penyair silap selangkah, ia langsung menusuk pantat sang penyair dengan peuniti. Penyair meranggung hebat dan mulutnya terbuka lebar, ketika itulah Nek Jen memasukkan “pil” ramuannya ke dalam mulut sang penyair dan menekan mulut sang penyair dengan tangannya hingga pil tersebut benar-benar telah tertelan.
“Nek,” ucap sang penyair, “kalau begini cara minum obatnya, lebih baik saya mati saja”.
“Itu resiko berobat ke dukun, Nak. Ya, kalo yang gratis, murah, dan alami tanpa efek samping, di sinilah tempatnya. Dan Nenek pikir cara seperti ini lebih bagus dari pada kamu disuntik. Belum lagi ongkosnya sebesar 20 atau 100 ribu per sekali suntik. Tapi, ini sekali telan langsung graaatiis!”
Sang penyair diam mengaku kalah. Rasa pahit telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Ingin sekali ia muntah, tapi sang dukon melarangnya. “Jika kamu memuntahkannya, maka silakan angkat kaki dari jamboku ini. Sekali kamu muntahkan itu obat, itu sama saja dengan kamu menolak uang pemberianku sebesar lima ratus ribu. Kamu faham?”
“Tidak, Nek.”
“Bodoh! Lima ratus ribu sama dengan harga sebutir pil yang kamu beli di apotek. Faham!!??”
Sang penyair langsung mengangguk seraya tercengang mendengar penjelasan sang dukon. “Sebutir ramuan yang hampir menyerupai pil itu seharga lima ratus ribu??”
“Ya, begitulah cara menghargai. Dan asal kamu tahu, sebenarnya jika orang-orang mau berobat dengan obat yang alami, maka orang-orang tak perlu bersusah payah mengantri, mengurus surat entah berantah , mengeluarkan uang hingga puluhan juta atau mengandalkan orang-orang terdekat supaya bisa berobat di rumah sakit. Kenyataan sekarang selalu mengabari kita secara tidak langsung bahwa hukum rimba telah mulai dijalani lagi oleh orang-orang sekarang. Siapa yang banyak uang penyakitnya akan segera melayang, siapa yang tak punya uang berdoa sajalah siang dan malam.”
Mata sang penyair langsung terkantuk-kantuk setelah menelan pil ala dukonnya itu. Setelah beberapa menit berlalu, sang penyair tertidur. Tiba-tiba muntah pun keluar berhamburan dari mulutnya tanpa disengaja. Sang penyair takut bukan kepalang. Nek Jen yang menyaksikannya, pura-pura marah kepada si penyair. Si penyair langsung bereaksi atas amarah yang baru ia terima itu. Segera ia punggut kembali muntah yang telah berhamburan di lantai jambo dan dimakannya lagi. Sebuah perjuangan bagi orang tak beruang. Sang penyair terkulai lemas dan langsung ia rebahkan diri ke pangkuan sang dukon.
Sang dukon merebahkan tubuh si penyair ke bantal. Ia pergi mengambil air dan membasuh mulut si penyair yang telah dilumuri oleh muntah. Kembali sang dukon memangkunya.
“Kamu seorang penyair kan?” tanya dukon. “Ya” jawab si penyair lemas. “Mungkin, sebelum kamu meninggalkan bumi ini dan sebagai bayaran atas obat-obat yang telah Nenek berikan kepadamu, bagaimana kalau kamu bacakan untuk Nenek sebuah puisi?”
“Baiklah akan kubacakan, Nek, agar ketika aku telah pergi tak ada lagi hutang piutang di antara kita. Tapi, maukah Nenek mengambilkan sajakku di bawah bantal tidurku itu?”
Sang dukon langsung mengambil dan menyerahkan kepada si penyair. Meski kondisi tubuhnya teramat lemas, tapi suara kepenyairannya tetap ia unjuk. Si penyair langsung membacanya.
Andai aku jadi orang berada/
pasti semua luka hilang segera/
tapi aku orang papa, menanggung sakit di lantai tua/
tak ada yang melirik ke lukaku/
sebab aku orang papa/
tak ada yang tertawa ke arahku/
sebab senyum terlalu mahal sebuah harga/
aku si sakit yang terus terhimpit//
Terima kasih anakku atas pembacaan sajakmu itu. Sebenarnya Nenek ingin sekali kamu cepat sembuh. Dan pil yang Nenek berikan kepadamu tadi, memang menyebabkan kamu muntah. Dan dengan itu, maka segala racun yang telah bersemayam dalam tubuh dan membuat kamu sakit, telah dikeluarkan bersama muntah tadi. Percayalah pada Nenek, dua atau tiga hari lagi kamu akan sembuh. Dan maafkan Nenek telah menakut-nakutimu tadi. Sekarang tidurlah dengan tenang, Nenek mau mencari obat buatmu.
Si penyair pun terlelap dalam kebahagiaan. Ternyata masih ada yang mau mengobatinya dengan setulus hati tanpa mengharap, tanpa harus menunjukkan identitas diri terlebih dahulu, dan tanpa harus mengurus surat entah berantah. “Terima kasih, Nek Jen, semoga engkau diletakkan di surga-Nya kelak,” ucap si penyair sembari ia memejamkan mata.
Azmi Labohaji
Kebon Raja, Januari 2011
-dimuat pada Harian Serambi Indonesia
-dimuat pada Harian Serambi Indonesia
No comments:
Post a Comment