Friday, 11 July 2014

Kurma Rahman Buat Emak

Menikmati meugang serta puasa pertama bersama kedua orang tua merupakan sebuah kenikmatan dan kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Betapa tidak, ketika hari meugang tiba, sang ayah membawa pulang setumpuk daging dan sang ibu memasaknya. Dan kita sebagai penikmatnya. Sungguh sebuah kenikmatan yang hanya terjadi setahun sekali. Namun, kebahagiaan yang tak ternilai harganya itu tak dirasakan oleh Rahman, bocah yang telah ditinggal mati sang ayah. Ayahnya mati tanpa sebab dan alasan. Mereka, orang yang tak dikenal itu, langsung menyarangkan sebutir peluru AK 45 ke dalam tubuh sang ayah. Sang ayah terkapar ke tanah. Hingga kini perkara tersebut belum terungkap siapa pembunuhnya.

Ramadan telah memasuki hari kelima. Rahman yang berusia tujuh tahun itu sedang membantu sang emak menyiangi rumput di sawah peninggalan ayahnya. Karena waktu asar telah tiba, sang emak pun menyudahi pekerjaannya. Ia mengajak Rahman untuk kembali pulang.

Sebelum pulang, sang emak menyempatkan diri memetik gulai-gulai yang ada di pematang sawah. Melihat sang Emak tengah asyik memetik gulai, Rahman pun mendekati pohon pinang yang tak jauh dari sawah. Akhirnya, sang emak menyelesaikan pekerjaan memetik gulainya. Ketika hendak melangkah pulang, Rahman yang tadi berdiri di sampingnya kini tak ada lagi. Sang emak melihat ke sekeliling sawah, wajah sang buah hati tak ia dapati.

Tiba-tiba sebuah suara yang mengalihkan perhatian sang emak.

“Mak, Rahman di sini,” ucap Rahman seraya menggoyang-goyangkan tangannya ke udara.

“Nak, ayo kita pulang. Sedang apa kamu di situ?”

“Emak pulang saja dulu, Rahman ingin mengambil ticem tulo puteh ulee di atas pohon pinang ini.

 “Jangan Nak, nanti kamu jatuh.”

“Tidak, Mak, Rahman pandai kok memanjatnya.”

“Tapi Rahman janji ya, sehabis mengambil burung tersebut, Rahman langsung pulang ke rumah ya?”

“Ya, Mak, Rahman janji.”

Sang emak akhirnya menjajakan kaki mengikuti pematang sawah. Sedang sang buah hati sedang mempersiapkan diri memanjat pohon pinang yang ada di hadapannya.

Rahman mulai memanjat. Dengan lincah Rahman mendorong tubuhnya untuk sampai ke atas pohon pinang. Dan kini ia telah berada tepat di atas pohon pinang. Ternyata di atas pohon pinang tersebut tak ada ticem tulo puteh ulee seperti yang ia katakan pada emaknya.

Ia mulai menjatuhkan bertandan-tandan pinang masak. Ada empat tandan pinang yang masak dan semua telah dipisahkan oleh Rahman dari pohonnya.

Pohon pinang itu memang milik neneknya. Karena milik nenek, jadi siapa saja yang merasa menjadi cucu sang nenek boleh mengambil pinang tersebut dan menjualnya. Syaratnya hanya satu, siapa yang cepat dia yang dapat. Ketika pinang tersebut telah dijual, sang nenek, sebagai orang yang menanam pinang tersebut akan dihadiahi sekepal bakung leumak. Dan itu memang sudah menjadi aturannya.

 Rahman mulai memunggut pinang-pinang yang berceceran. Pinang telah terkumpulkan dan kini ia mulai memasukkannya ke dalam karung yang telah ia persiapkan. Langkah berikutnya adalah menjual pinang tersebut pada Mak Saleh, lelaki pembeli pinang yang menerima pinang baik yang telah dijemur maupun pinang yang masih basah.

Rahman memanggul pinang yang telah ia masukkan ke dalam karungnya dan menyusuri pematang sawah menuju kedai Mak salah yang ada di seberang jalan. Langkahnya begitu teratur dan lincah. Jika ia tidak berjalan dengan hati-hati di atas pematang tersebut, lumpur sawah telah siap menanti tubuh munggilnya itu.

Rahman sampai ke kedainya Mak Saleh. Segera ia turunkan pinang yang ia panggul. Dan memanggil Mak Saleh untuk menimbang pinangnya. Mak Saleh langsung memunggut karung yang di bawa Rahman dan menaruhnya di atas ceng. Dan timbangan tersebut menunjukkan angka empat.

“Pinang kamu semuanya empat kilo. Ini uangnya,” kata Mak Saleh seraya menyerahkan enam lembar pecahan dua ribu.

“Makasih, Pakcik.”

Rahman tersenyum lebar. Di tangannya kini ada uang dua belas ribu rupiah. Ia mulai mengipas-ngipas dirinya dengan uang pecahan dua ribu tersebut.  Segera ia menuju kedai yang menjual bakung leumak. Ia mulai mengeluarkan dua lembar pecahan dua ribu dan menyerahkan kepada pemilik kedai.

“Ouh, nenek pasti bahagia sekali nanti ketika aku memberikan bakung ini.  Semoga saja dengan memberikan bakung leumak  ini padanya, nenek tak lagi menyuruhku untuk memandikan kerbau,” ucap Rahman sambil memasukkan ke dalam kantong plastik.

Rahman berangkat pulang. Namun, langkahnya segera terhenti ketika sepasang matanya melihat buah kurma yang terpajang dalam lemari kaca di sebuah kedai di samping kedai penjual bakung leumak. Ia menghampiri kedai tersebut dan langsung menanyai harga kurma tersebut.

“Pakcik, berapa harga kurma itu?” tanya Rahman seraya mengarahkan telunjuknya ke buah kurma.

“O, itu harganya enam ribu satu bungkus.”

Rahman langsung menghitung sisa uang yang ada di saku celananya. Ternyata cukup. Ia langsung menyerahkan uang enam ribu tersebut dan mengambil kurmanya.

Kini Rahman pulang dengan kebahagiaan yang tak mampu untuk digambarkan. “Emak pasti sangat senang jika ia tahu aku membeli kurma ini buatnya. Pasti emak akan menciumku setelah buka puasa nanti. Karena aku telah mampu membelinya kurma buat berbuka puasa. Ouh senangnya hatiku. Terima kasih ya Tuhan.”

Sangkin gembiranya, Rahman langsung menyusuri jalan pulang. Ia telah tiba di persimpangan masuk ke kampungnya. Tanpa melihat kiri dan kanan, sambil menyanyikan lagu kesayangannya, Rahman pun langsung menyebrangi jalan. Ternyata tanpa disadari Rahman, dari arah kanannya sebuah mini bus dengan kecepatan tinggi  tak sempat lagi untuk menekan pedal rem. Palang minibus tersebut menghantam tubuh Rahman. Ia terlempar di atas aspal. Bakung leumak milik neneknya terlempar jauh. Dan kurma buat sang emak bertaburan di atas aspal panas. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang diberikan Rahman. Tubuhnya langsung memucat. Bibirnya terseyum manis seperti hendak melafazkan seuntai kalimat. Rahman tak dapat diselamatkan. Dan kurma yang ia beli tak sempat ia hadiahkan buat sang emak.
Azmi Labohaji

Gubuk, 4 Agustus 2011

-dimuat pada Harian Serambi Indonesia

1 comment: