Besok malam aku akan menjadi seorang anak manusia yang sangat bahagia. Sebab, hari ini aku baru saja menerima gaji dari hasil kerjaku yang begitu melelahkan. Ya, pekerjaan sebagai seorang marketing bank. Sungguh sebuah pekerjaan yang menuntut kesabaran tinggi dan tenaga yang ekstra. Dan buah dari kelelahan dan kesabaran itu akan kunikmati bersama mak malam esok.
Aku mulai mengemasi barang-barangku. Menyatukannya dalam sebuah koper yang berukuran sedang. Tak ada satu pun barang yang lupa kumasukkan ke dalamnya, mulai dari pasta gigi hingga kado buat mak. Penuh senyum saat kumasukkan semua benda itu ke dalam koper. Seraya memasukkannya, aku mulai menghayal senyum ibu yang akan mengembang di bibir manisnya. Menghayal akan tangan ibu yang akan lama-lama mengelus-elus kepalaku. Dan menghayal akan semua yang akan diberikan oleh ibu buatku.
Aku selesai mengemasi barang-barangku. Dan kini waktunya menghubungi mobil yang akan kutumpangi menuju Kuta Raja, tempat ibuku tinggal. Sesaat kemudian, orang mobil mengabariku bahwa mereka akan berangkat malam ini juga dan aku akan turut serta bersama mereka.
Petang merangkak perlahan-lahan. Mengeserkan sang surya yang cayanya kian memuram. Aku baru saja selesai membersihkan diri. Seraya menunggu waktu keberangkatan, aku pun bersantai di depan di depan rumah kontrakanku dengan segelas kopi tubruk. Baru saja berapa teguk kuminum kopi ala Aceh Selatan itu, tiba-tiba seorang memarkirkan sepeda motornya tepat di halaman rumah kontrakanku.
“Saudara Muzakir?” tanya lelaki jangkung itu sambil membuka pintu pagar.
“Ya, benar saya Muzakir,” jawabku sambil meletakkan gelas kopi ke panteu tempat kududuk tad.
“Ini ada surat buat Anda.”
Tanganku meraih surat yang diberikan oleh lelaki jangkung itu sambil mengerutkan dahi.
Dalam keheranan itu aku pun menyempatkan diri bertanya pada lelaki jangkung itu,
“Surat dari siapa?”
“Emm, saya tidak tahu juga dari siapa. Yang saya tahu orang kantor menyuruh saya mengantarkan surat ini ke alamat ini,” jawab lelaki jangkung itu sambil mengarahkan telunjuknya pada bidang papan yang terdapat nama jalan dan nomor rumah kontrakanku yang menempel tepat di tiang panteu.
Kami sama-sama terdiam. Aku terdiam dalam balutan keheranan dan si lelaki jangkung itu terdiam dalam kekusyukannya menatap jemariku yang begitu lincah menandatangani borang penerimaan surat. Ia beranjak dari hadapanku. Dan aku kembali ke panteu.
Aku mulai melafalkan empat kata yang tertulis pada amplop surat. Surat dari Kamar Jeumpa. Perlahan-lahan kubuka amplop tersebut dan kukeluarkan isi yang ada di dalamnya. Setelah membuka beberapa lipatannya, mataku menuju isi surat. Isinya hanya beberapa baris. Selanjutnya bola mataku pun mengarahkan tatapannya pada alamat surat yang tertulis di baris pertama surat. Ya, surat ini memang tertuju buatku.
“Kepada Muzakir, dari Mak di kamar Jempa rumah sakit Kesdam,” bacaku dalam hati. Suhu badanku langsung berubah ketika membaca tiga kata terakhir itu. Aku langsung memburu isi surat tersebut.
“Anakku tersayang, sudah seminggu Mak berada di rumah sakit Kesdam, tepatnya di kamar Jeumpa. Penyakit Mak kambuh lagi. Mak sengaja tidak memberitahu padamu tentang ini karena Mak pikir ini akan segera berakhir. Tetapi pikir Mak mu ini salah. Dan kini Mak begitu merindukanmu, maukah kamu cuti sebentar saja untuk menjengguk Mak mu ini? Mak begitu sangat merindukanmu, Zakir. Sungguh! Setidaknya sebelum Mak pergi, Mak sempat melihat wajahmu. Salam, Mak.”
Bola mataku memerah. Aku hendak menangis, namun kutahan. Segera kuhubungi Waklah, lelaki yang kegilaannya mengendarai sepeda motor sudah terkenal ke seantero kecamatan. Beberapa saat kemudian, ia muncul di hadapanku.
“Ada apa, Kir?” tanya Waklah.
“Sore ini aku membutuhkan jasamu. Sore ini kau harus mengantarkanku ke Kuta Raja. Mak ku tengah sakit di sana.”
“Ta.. ta.. pi… Kuta Raja jauh sekali, Kir?”
“Berapa aku harus membayarmu? Berapa pun yang kau minta aku akan membayarnya.”
Hanya senyuman yang Waklah berikan padaku. Ia langsung menghidupkan sepeda motornya.
“Kau tunggu di sini sebentar, aku mau masuk ke dalam dulu mengambil uang dan sesuatu yang berharga.”
Aku mulai mengamankan diri di belakang Waklah. Untuk kali ini aku tak menganggapnya “gila” untuk urusan mengendarai sepeda motor. Dari belakang Waklah aku menyempatkan diri melihat jarum amper yang ada di atas stang motornya itu. kulihat jarum itu menari-nari pada angka 140 dan 150. Sungguh kencang! Sungguh gila! Tapi tak apa-apa karena keadaan genting.
Desa desa telah kami lalui. Kecamatan-kecamatan telah kami sebrangi. Kabupaten-kabupaten pun telah kami lewati. Satu jam lagi kami akan tiba di Kuta Raja. Tinggal menghitung detik. Tinggal menghitung menit. Roda kendaraan Waklah terus berguling menuju tempat tujuan. Dan akhirnya kami pun tiba di tempat tujuan. Rumah Sakit Kesdam.
Aku berlari-lari kecil menuju ke salah seorang tentara yang berada di pos penerima tamu. “Samlekom, Pak. Saya mau bertanya, Paviliun teuku Umar, kamar Jeumpa, ada di mana, Pak?” tanyaku terburu-buru.
Pak Tentara itu langsung menjelaskan padaku seraya mengarahkan telunjuknya ke koridor yang menuju ke kamar Jeumpa.
“Terima kasih banyak, Pak!”
Aku langsung memanggil Waklah yang kala itu tengah asyik ngobrol dengan seorang janda dan mengajaknya menuju kamar yang kumaksud. Aku tiba di kamar yang kumaksud. Setelah kuucapkan salam, langsung kubuka pintu kamar Jeumpa. Aku terdiam. Orang-orang yang berada di kamar Jeumpa bukanlah orang-orang yang kukenal. Bukan keluargaku. Dan yang terbaring di atas kasur pesakitannya bukan ibuku. Oh tuhan kemana ibuku?!
Langsung kutemui perawat yang berada di samping kamar Jeumpa. Aku menanyakan makku. Dan mereka langsung mencari nama mak di buku tamu.
“Pak, ibu Anda telah pergi seminggu yang lalu,” ucap perawat tersebut begitu santai.
Aku terdiam dan meneteskan air mata tanpa bertanya lagi pada si perawat maksud kata perginya itu; pergi ke Rahmatullah atau pergi pulang ke rumah. Aku meninggalkan perawat tersebut dengan jiwa yang dibalut kesedihan yang mendalam.
Sambil meneteskan air mata aku berkata pada Waklah, “Kita pulang ke rumahku sekarang.”
Kami pun tiba di rumahku. Dengan langkah yang begitu lunglai dan air mata yang terus bercucuran, aku kini telah berada tepat di depan pintu rumahku. Setelah mengucapkan salam seseorang membukakan pintu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah perempuan yang membukakan pintu untukku.
“Maaaakkk????!!!”
Aku langsung memeluk mak begitu kuat. Seraya menangis hebat.
“Kenapa kamu menangis, Kir?”
“Kemarin Zakir menerima surat Mak. Di surat itu berkabar bahwa Mak sakit. Dan Zakir langsung kembali ke sini hendak menemui Mak. Ketika Zakir berada di rumah sakit tempat Mak di rawat, kata mereka Mak telah pergi. Zakir begitu sedih Mak. Zakir kira Mak telah pergi ke pangkuang Ilahi,” jawabku sambil menyeka air mata.
“Betul, seminggu yang lalu Mak sakit dan Mak juga memesanmu. Tapi surat itu sudah seminggu yang lalu dikirim. Dan sekarang Mak sudah sehat-sehat wal afiat,” ucap Mak seraya mengembangkan senyumnya.
Aku terdiam. Mendengar penjelasan dari Mak ternyata surat tersebut telah dikirim Mak seminggu yang lalu. Dan dalam keterdiamanku itu aku menyesali orang yang telah berbuat salah dalam hal ini.
“Ah, untung saja Makku masih bisa kulihat, kalau tidak aku bersumpah akan menuntutnya sampai ke akar-akarnya,” ucapku dalam hati sambil tertawa geli.
Aku pun memanggil Waklah yang sedang asyik ngobrol dengan jandanya lewat telpon seluler dan mengajaknya masuk ke rumah. ***
Azmi Labohaji
Kesdam, Juli 2012
-dimuat pada harian Serambi Indonesia
-dimuat pada harian Serambi Indonesia
No comments:
Post a Comment