Istilah
reaktif dapat disamakan dengan responsif yang bermakna cepat merespon, bersifat
menanggapi, dan tergugah hati. Baik istilah reaktif maupun responsif dipandang sebagai
istilah positif dalam tindakan manusia. Seseorang dikatakan berwatak reaktif
jika dia segera bereaksi atau menanggapi sesuatu yang muncul atau timbul. Orang
Aceh sangat dikenal dengan wataknya yang keras klo tulo. Namun, di balik sifat klo
tulo-nya itu, orang Aceh juga memiliki sifat baik hati dan pemurah. Sifat
yang demikian, akan diunjuk kepada siapa saja oleh orang Aceh. Sifat reaktif merupakan
salah satu sifat orang Aceh di samping sifat militan, optimis, konsisten, dan
loyal.
Sifat
reaktif itu dimiliki oleh setiap orang Aceh dalam hal menjaga harga diri. Harga
diri bagi orang Aceh adalah sesuatu yang tidak boleh diusik. Harga diri merupakan
sesuatu yang sangat berharga dan mahal harganya bagi orang Aceh. Jika harga
dirinya telah diusik, maka sifat reaktif orang Aceh yang telah mendarah daging
itu pun akan diunjuk.
Sebagai
etnis yang memiliki sifat reaktif yang kuat dalam menjaga harga diri, orang
Aceh juga dikenal dengan sifatnya yang ramah tamah dan baik hati kepada orang
lain, misalnya dalam menjamu tamu. Salah satu pertanyaan atau ajakan yang
pertama kali diajukan oleh orang Aceh sebagai pemilik rumah adalah kaleuh bu? ‘sudah makan? Ini sudah
menjadi kebiasaan bagi orang Aceh. Orang Aceh tak mahu tahu apakah si tamu itu
datang berniat baik atau buruk, yang penting bu ‘nasi’ adalah tawaran pertama yang harus diajukan kepada si tamu.
Sifat
baik hati dan ramah tamah ini tak akan diunjuk kepada mereka yang telah melukai
hati atau harga diri orang Aceh. Hal ini tampak sekali dalam hadih maja berikut:
meunyoe ate hana teupeh/ aneuk kreh jeuet
ta raba/ meunyoe ate ka teupeh/ bu leubeh han jipeutaba/ (kalau hati tidak
tersinggung, buah pelir boleh diraba, kalau hati telah tersinggung, nasi lebih
pun takkan ditawarkannya).
Dalam hadih maja di atas, sifat reaktif
orang Aceh sangat tampak jelas pada baris terakhir, bu leubeh han jipeutaba. Orang Aceh tak akan berbagi nasi lebih kepada
mereka yang telah melukai hatinya, meskipun si pengusik itu telah berhari-hari
tak makan nasi. Biar ada efek jeranya. Oleh sebab itu, jangan sesekali mengusik
harga diri atau hati orang Aceh, agar sewaktu bertamu akan ada nasi lebih yang
akan ditawarkan.
Jika hati/harga dirinya tidak diusik, sifat
reaktif orang Aceh yang berdampak negatif tak akan ditunjukkan kepada orang
yang melakukan sesuatu padanya, meski buah pelir (zakar) yang dipegangnya. Hal ini
tampak dalam hadih maja di atas, aneuk
kreh jeuet ta raba. Jika ditilik dari segi kewajaran, memegang anak pelir (zakar)
seseorang adalah suatu perbuatan yang kurang wajar. Aneuk kreh jeuet ta raba dalam hadih maja di atas, sebagai tamsilan
(saja) bahwa betapa orang Aceh takkan bereaksi negatif meskipun yang dipegang
adalah buah pelir. Akan tetapi, jikalau hatinya telah tersakiti dan mencoba
meraba buah pelirnya, mereka tak segan-segan untuk memukul si pengusik bahkan
mau untuk membunuh si pengusik.
Di
samping itu, sifat reaktif orang Aceh secara kelompok juga akan ditunjukkan kepada
orang lain (baik kepada individu maupun kelompok atau juga pemerintah).
Misalnya, menguburkan jenazah dari keluarga seseorang yang di dalam masyarakat
keluarga tersebut dicap sebagai keluarga penyantet. Maka sifat reaktif kelompok
orang Aceh yang akan ditunjukkan adalah dengan tidak menguburkan jenazah
tersebut. Meskipun dalam agama hal yang demikian dilarang.
Begitu
juga sifat reaktif orang Aceh terhadap pemerintah, khususnya pemerintah
Indonesia. Sifat reaktif orang Aceh dalam membantu Indonesia tampak jelas tatkala
orang Aceh menyumbang semua harta bendanya demi membeli dua buah pesawat
terbang (seulawah RI). Masa itu memang harus diakui hati/harga diri orang Aceh
belum terusik.
Selain
sifat ramah dan baik hati yang dimiliki oleh orang Aceh, sifat pendendam dan
pemarah juga mendarah daging dalam diri orang Aceh. Sifat pemarah dan pendendam
tersebut lahir dari sifat reaktif yang diperlihatkan orang Aceh tatkala mereka
telah diusik. Muenyoe ka teupeh, dong
beukong ‘kalau sudah diganggu, maka siap-siaplah’.
Orang
yang telah melukai hati/ harga diri orang Aceh tak lagi dianggap sebagai
sahabat, tamu, keluarga, musafir, dan orang yang dihormati. Orang Aceh akan menganggap
mereka sebagai MUSUH yang harus “dibumihanguskan”.
Sifat
reaktif orang Aceh terhadap musuh akan tampak sekali dalam hadih maja berikut; jirhom geutanyoe ngon ek leumo ta rhom jih
ngon ek guda, ‘dilempar kita dengan tahi lembu, kita lempar dia dengan tahi
kuda’. Inti dari hadih maja di atas adalah orang Aceh akan membalas perbuatan
si pengusik dengan … “ta rhom jih ngon ek
guda” (secara alamiah, tahi kuda lebih keras dibandingkan tahi lembu). Demi
mempertahankan harga diri, orang Aceh rela berperang hingga titik darah
penghabisan. Hal tersebut telah diamanahkan oleh endatu-endatu orang Aceh,
bahwa menjaga harga diri adalah suatu hal yang sangat diutamakan, bahle matee daripada malee.
Sifat
reaktif orang Aceh dalam bentuk protektif (memberi perlindungan, baik kepada
keluarga, teman, dan juga sahabat) akan sangat tampak tatkala salah satu dari
mereka (keluarga, teman sahabat) diusik. Orang Aceh-lah yang akan pertama
sekali tajo u likeu (menghadapi si
pengusik) bukan yang terkena usik. Meski orang Aceh memiliki watak keras bak
karang di lautan , namun sifat lembut orang Aceh juga akan tampak seperti pada
kasus di atas (dalam hal memberi perlindungan).
Jika ada orang dari luar Aceh yang datang
ke Aceh dan bersahabat/bergaul dengan orang Aceh, tatkala ia kembali ke daerah
atau negara asalnya ada satu hal yang akan melekat di hati si pendatang yakni orang
Aceh selalu menawarkan bu, bu, dan bu
kepada tamunya. Maka dari itu, sering-seringlah main ke Aceh biar Anda selalu
ditawari bu, bu, dan bu. Satu hal
pula yang harus diingat, ketika Anda telah lama berada di Aceh, makan nasi orang
Aceh, minum air orang Aceh, bergaul dengan pemuda dan pemudi Aceh, dan menghirup
udara di tanah Aceh, saat Anda kembali ke kampung asal jangan pernah
menyebut-menyebut “Aceh itu kampung saya” karena itu sangat berbahaya. Tetapi boleh
Anda berkata, “saya dulu pernah tinggal di Aceh”. Hidup bangsa Aceh, bangsa
teuleubeh ateuh rung donya!
--------------
Azmi Labohaji
ah masa, gk percaya aku,
ReplyDelete