Tuesday, 15 July 2014

Reaktif, Salah Satu Ciri Khas Orang Aceh

Istilah reaktif dapat disamakan dengan responsif yang bermakna cepat merespon, bersifat menanggapi, dan tergugah hati. Baik istilah reaktif maupun responsif dipandang sebagai istilah positif dalam tindakan manusia. Seseorang dikatakan berwatak reaktif jika dia segera bereaksi atau menanggapi sesuatu yang muncul atau timbul. Orang Aceh sangat dikenal dengan wataknya yang keras klo tulo. Namun, di balik sifat klo tulo-nya itu, orang Aceh juga memiliki sifat baik hati dan pemurah. Sifat yang demikian, akan diunjuk kepada siapa saja oleh orang Aceh. Sifat reaktif merupakan salah satu sifat orang Aceh di samping sifat militan, optimis, konsisten, dan loyal. 
Sifat reaktif itu dimiliki oleh setiap orang Aceh dalam hal menjaga harga diri. Harga diri bagi orang Aceh adalah sesuatu yang tidak boleh diusik. Harga diri merupakan sesuatu yang sangat berharga dan mahal harganya bagi orang Aceh. Jika harga dirinya telah diusik, maka sifat reaktif orang Aceh yang telah mendarah daging itu pun akan diunjuk.
Sebagai etnis yang memiliki sifat reaktif yang kuat dalam menjaga harga diri, orang Aceh juga dikenal dengan sifatnya yang ramah tamah dan baik hati kepada orang lain, misalnya dalam menjamu tamu. Salah satu pertanyaan atau ajakan yang pertama kali diajukan oleh orang Aceh sebagai pemilik rumah adalah kaleuh bu? ‘sudah makan? Ini sudah menjadi kebiasaan bagi orang Aceh. Orang Aceh tak mahu tahu apakah si tamu itu datang berniat baik atau buruk, yang penting bu ‘nasi’ adalah tawaran pertama yang harus diajukan kepada si tamu.
 Sifat baik hati dan ramah tamah ini tak akan diunjuk kepada mereka yang telah melukai hati atau harga diri orang Aceh. Hal ini tampak sekali dalam hadih maja berikut: meunyoe ate hana teupeh/ aneuk kreh jeuet ta raba/ meunyoe ate ka teupeh/ bu leubeh han jipeutaba/ (kalau hati tidak tersinggung, buah pelir boleh diraba, kalau hati telah tersinggung, nasi lebih pun takkan ditawarkannya). 
Dalam hadih maja di atas, sifat reaktif orang Aceh sangat tampak jelas pada baris terakhir, bu leubeh han jipeutaba. Orang Aceh tak akan berbagi nasi lebih kepada mereka yang telah melukai hatinya, meskipun si pengusik itu telah berhari-hari tak makan nasi. Biar ada efek jeranya. Oleh sebab itu, jangan sesekali mengusik harga diri atau hati orang Aceh, agar sewaktu bertamu akan ada nasi lebih yang akan ditawarkan.
Jika hati/harga dirinya tidak diusik, sifat reaktif orang Aceh yang berdampak negatif tak akan ditunjukkan kepada orang yang melakukan sesuatu padanya, meski buah pelir (zakar) yang dipegangnya. Hal ini tampak dalam hadih maja di atas, aneuk kreh jeuet ta raba. Jika ditilik dari segi kewajaran, memegang anak pelir (zakar) seseorang adalah suatu perbuatan yang kurang wajar. Aneuk kreh jeuet ta raba dalam hadih maja di atas, sebagai tamsilan (saja) bahwa betapa orang Aceh takkan bereaksi negatif meskipun yang dipegang adalah buah pelir. Akan tetapi, jikalau hatinya telah tersakiti dan mencoba meraba buah pelirnya, mereka tak segan-segan untuk memukul si pengusik bahkan mau untuk membunuh si pengusik. 
Di samping itu, sifat reaktif orang Aceh secara kelompok juga akan ditunjukkan kepada orang lain (baik kepada individu maupun kelompok atau juga pemerintah). Misalnya, menguburkan jenazah dari keluarga seseorang yang di dalam masyarakat keluarga tersebut dicap sebagai keluarga penyantet. Maka sifat reaktif kelompok orang Aceh yang akan ditunjukkan adalah dengan tidak menguburkan jenazah tersebut. Meskipun dalam agama hal yang demikian dilarang.      
Begitu juga sifat reaktif orang Aceh terhadap pemerintah, khususnya pemerintah Indonesia. Sifat reaktif orang Aceh dalam membantu Indonesia tampak jelas tatkala orang Aceh menyumbang semua harta bendanya demi membeli dua buah pesawat terbang (seulawah RI). Masa itu memang harus diakui hati/harga diri orang Aceh belum terusik.    
Selain sifat ramah dan baik hati yang dimiliki oleh orang Aceh, sifat pendendam dan pemarah juga mendarah daging dalam diri orang Aceh. Sifat pemarah dan pendendam tersebut lahir dari sifat reaktif yang diperlihatkan orang Aceh tatkala mereka telah diusik. Muenyoe ka teupeh, dong beukong ‘kalau sudah diganggu, maka siap-siaplah’.
Orang yang telah melukai hati/ harga diri orang Aceh tak lagi dianggap sebagai sahabat, tamu, keluarga, musafir, dan orang yang dihormati. Orang Aceh akan menganggap mereka sebagai MUSUH yang harus “dibumihanguskan”.
Sifat reaktif orang Aceh terhadap musuh akan tampak sekali dalam hadih maja berikut; jirhom geutanyoe ngon ek leumo ta rhom jih ngon ek guda, ‘dilempar kita dengan tahi lembu, kita lempar dia dengan tahi kuda’. Inti dari hadih maja di atas adalah orang Aceh akan membalas perbuatan si pengusik dengan … “ta rhom jih ngon ek guda” (secara alamiah, tahi kuda lebih keras dibandingkan tahi lembu). Demi mempertahankan harga diri, orang Aceh rela berperang hingga titik darah penghabisan. Hal tersebut telah diamanahkan oleh endatu-endatu orang Aceh, bahwa menjaga harga diri adalah suatu hal yang sangat diutamakan, bahle matee daripada malee. 
Sifat reaktif orang Aceh dalam bentuk protektif (memberi perlindungan, baik kepada keluarga, teman, dan juga sahabat) akan sangat tampak tatkala salah satu dari mereka (keluarga, teman sahabat) diusik. Orang Aceh-lah yang akan pertama sekali tajo u likeu (menghadapi si pengusik) bukan yang terkena usik. Meski orang Aceh memiliki watak keras bak karang di lautan , namun sifat lembut orang Aceh juga akan tampak seperti pada kasus di atas (dalam hal memberi perlindungan).
Jika ada orang dari luar Aceh yang datang ke Aceh dan bersahabat/bergaul dengan orang Aceh, tatkala ia kembali ke daerah atau negara asalnya ada satu hal yang akan melekat di hati si pendatang yakni orang Aceh selalu menawarkan bu, bu, dan bu kepada tamunya. Maka dari itu, sering-seringlah main ke Aceh biar Anda selalu ditawari bu, bu, dan bu. Satu hal pula yang harus diingat, ketika Anda telah lama berada di Aceh, makan nasi orang Aceh, minum air orang Aceh, bergaul dengan pemuda dan pemudi Aceh, dan menghirup udara di tanah Aceh, saat Anda kembali ke kampung asal jangan pernah menyebut-menyebut “Aceh itu kampung saya” karena itu sangat berbahaya. Tetapi boleh Anda berkata, “saya dulu pernah tinggal di Aceh”. Hidup bangsa Aceh, bangsa teuleubeh ateuh rung donya!
--------------
                
Azmi Labohaji

1 comment: