Wednesday, 16 July 2014

Guru yang Dinanti

Berbicara masalah guru memang tak pernah ada habisnya. Selalu saja ada kisah menariknya. Salah satunya kisah seorang guru yang saya dapati dari seorang teman. Teman saya menceritakan kisah seorang temannya ketika ia masih duduk di bangku SMA. Ketika jam pelajaran pertama baru di mulai, sang teman dengan tenangnya melipat kedua tangannya dan merebahkan kepalanya di atas kedua tangan yang terlipat itu. Ia tidur. Padahal, hari masih pagi sekali.

Seperti biasanya, setelah sang guru menyapa anak didiknya dan mengabsen mereka satu persatu, sang guru baru memulai pembelajaran. Tak ada yang berbeda pada pagi itu. Sang guru dengan segenap teori yang telah ia miliki mulai menjelaskan tentang topik yang akan dipelajari pada hari itu. Pada saat tiba giliran sang guru melemparkan pertanyaanya kepada siswanya dengan tujuan apakah para siswa telah mengerti tentang apa yang telah dijelaskan barulah sang guru tahu ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menarik perhatiannya. Salah seorang anak didiknya tengah tertidur pulas di saat ia tengah sengit-sengitnya menjelaskan segenap teori.

Si pendidik berjalan pelan menuju bangku siswa yang tengah tertidur pulas itu. Langkah sang guru yang berjalan menuju bangku siswa yang tengah terlelap puas itu membuat siswa lainnya melahirkan segenap pernyataan di benaknya masing-masing. Pasti dia (siswa yang tengah pulas) dimarahi. Saat sang guru tiba di bangku si siswa yang tengah terlelap itu, dengan penuh keibuan tangan sang guru mengelus-elus pundak si murid yang tengah terlelap. Semua mata siswa yang berada di kelas tersebut tertuju pada adegan yang tengah berlangsung. Harapan siswa lain bahwa si siswa itu akan dihujani amarah sang guru ternyata tidak tepat.

Elusan tangan guru yang mengajarkan mata pelajaran ilmu berhitung itu ternyata membuat si siswa yang terlelap terjaga. Dengan nada yang amat rendah, sang guru bertanya pada siswa mengapa ia tertidur saat pelajaran baru dimulai. Dengan tenang dan penuh kejujuran si siswa menjawab bahwa ia amat terkantuk. Semalam ia harus membantu ibunya membuat kue untuk dijual.

Sang guru langsung mengangguk. Paham. Ia kembali mengelus pundak anak didiknya itu seraya mengajaknya untuk tidak tidur lagi. Dengan penuh keikhlasan, si anak didik pun mengikuti apa yang dikatakan sang guru. Dan pembelajaran kembali berjalan dengan lancar.

Dari kisah singkat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika mengajak seseorang, apalagi anak didik,  ke arah yang baik dengan menggunakan hati nurani, atau kelembutan, maka orang yang diajak itu pasti akan mengikutinya dengan penuh keiklasan. Artinya, tidak mesti harus selalu mengajak atau menasehati orang lain (apalagi anak didik) dengan kekerasan.

Pribadi yang selalu dinanti

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru memiliki pengertian sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, atau profesinya) mengajar. Sebagai seorang yang pekerjaannya mendidik atau mengajar, menekuni peran menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebab, sebagai seorang pendidik atau pengajar, saban hari kesabaran seorang pendidik itu selalu diuji oleh anak didiknya. Hal tersebut disebabkan oleh macam-ragam karakter yang dimiliki oleh anak didik. Maka, disaat kesabaran sedang diuji, kesabaran harus dijaga agar tidak berubah menjadi omelan yang akan menyakitkan telinga anak didiknya. Dengan demikian, bermacam cara pun harus digunakan oleh guru untuk menjaga kesabarannya itu.

Tidak bisa dipungkiri memang, ada guru yang langsung menyiram anak didiknya dengan hujan amarah, ketika kesabarannya telah mencapai titik didih. Ada pula guru yang tetap menggunakan kesabaran (hati nurani) untuk menghadapi tingkah-polah anak didiknya. Berdasarkan cara yang digunakan oleh sang pendidik dalam menghadapi tingkah-polah anak didiknya itu, maka dengan sendirinya akan lahir kesimpulan pada diri anak didik itu sendiri akan pribadi guru yang mengajarinya itu. Dari kesimpulan itulah akan lahir sesosok orang dalam diri si anak didik akan guru yang dinanti (karena kesabaran yang dimilikinya) dan guru yang dibiarkan datang dan pergi, ka tamong ka tamong, han ka tamong beu bek keudeh (engkau masuk, masuklah, tidak engkau masuk pun tidak apa-apa).   

Guru tidak hanya berperan sebagai orang yang mentrasnferkan ilmu bagi manusia yang tengah dicerdaskan yakni siswa. Namun, jauh dari itu guru juga dituntut untuk mengubah/memperbaiki perilaku atau sikap manusia tersebut. Coba bayangkan saja jika dalam sebuah kelas ada siswa sebanyak empat puluh orang, berarti seorang guru harus menghadapi emput puluh buah kepala. Dalam satu kepala ada satu sikap/perilaku. Berarti ada empat puluh sikap/perilaku yang berbeda-beda yang harus diluruskan oleh seorang guru setiap harinya. Dalam sehari seorang guru kadang-kadang harus masuk ke dalam tiga kelas. Dengan demikian bisa dibayangkan bukan, berapa buah kepala beserta sikap/perilakunya yang harus dihadapi oleh seorang guru dalam sehari? Nah, apakah ini sebuah pekerjaan yang mudah?

Tentang hal ini, ada ungkapan menarik yang dipaparkan oleh Henry Adam. “A teacher effect eternity. He can never tell where his influence stops. Yang artinya ‘guru itu berdampak abadi. Ia tidak pernah tahu di mana pengaruhnya itu berhenti’. Harus diakui memang, seperti apa yang diutarakan Adam, dampak atau pengaruh yang diberikan oleh seorang guru itu menjadi sesuatu yang berharga dan abadi. Misalkan saja manusia yang tidak bisa membaca dan menulis diajarkan dengan tulus hingga bisa membaca dan menulis. Manusia yang tidak bisa berhitung diajarkan cara berhitung agar tidak ditipu oleh orang lain. Jika ruang yang gelap itu diibaratkan seorang murid, lampu (penerang) adalah gurunya. Artinya, guru, dengan segenap kemampuan yang ia miliki berusaha membuka mata anak didiknya yang selama ini “buta” menjadi bisa “melihat”. Maka dari itu, apa jadinya jika di muka bumi ini tak ada guru?

Sosok seorang guru itu selalu menyiratkan pengaruh yang luar biasa terhadap anak didiknya. Sehingga baik tidaknya murid sangat ditentukan oleh guru. Ibarat pepatah lama mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Artinya, kelakuan seorang murid atau anak didik, selalu mencontoh guru. Guru yang lengkungan senyumannya selalu ke atas akan selalu disukai dan dikenang oleh anak didik setiap saat. Begitu juga sebaliknya, guru yang lengkungan senyumnya selalu ke bawah akan selalu dibenci atau tidak disukai oleh anak didiknya saban hari.

Sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan, keberadaan guru sangat mempengaruhi hasil proses belajar mengajar di sekolah. Keberadaannya memiliki relasi yang sangat dekat dengan peserta didiknya. Relasi antara guru dan peserta didik, adalah relasi kewibawaan. Relasi kewibawaan bukan menimbulkan rasa takut pada peserta didik, akan tetapi relasi yang membutuhkan kesadaran pribadi untuk belajar. Kewibawaan tumbuh karena kemampuan guru menampakkan kebulatan pribadinya, sikap yang mantap karena kemampuan profesional yang dimilikinya, sehingga relasi kewibawaan itu menjadi katalisator peserta didik mencapai kepribadiannya sebagai manusia secara utuh atau bulat.

Selanjutnya, menjadi seorang guru yang selalu dinanti anak didik bukan berarti antara guru dan anak didik tiada tabir pembatas (antara posisi sebagi guru dan posisi sebagai anak didik). Itu ada dan harus selalu dijaga. Tujuannya agar si anak didik tidak melampaui batas (nga' bek ji ek ateuh ulee artinya, 'agar tidak naik atas kepala’) ketika ia telah begitu dekat dengan kita. Kita juga berhak membentak mereka, mengeluarkan mereka ketika jam pelajaran sedang berlangsung atau bahkan  ketika ujian sedang berlangsung, memberi mereka hukuman, atau sebagainya asalkan sesuai dengan alasan atau kesalahan yang mereka lakukan.

Dalam hal ini, kadang kala kita patut juga menyadarkan diri kita sendiri dalam bentuk memosisikan diri menjadi seorang siswa. Pasti kita akan merasa sangat kecewa jika ada seorang guru yang tak mau mendengar alasan-alasan anak didiknya sebagai bentuk pembelaan diri karena telah melakukan satu kesalahan. Kita misalkan saja peristiwa di atas tadi, saya yakin, tak banyak guru yang akan mendengar atau mau menerima alasan siswanya itu bahwa ia harus bergadang untuk membantu ibunya maka ia tertidur. Saya sangat yakin pilihan yang akan dipilih sang guru adalah mengeluarkan si siswa dari kelas beserta setumpuk omelan. Maka dari itu, mari menghadapi hal-hal yang seperti itu dengan menggunakan sudut hati nurani kita.  

Guru sebagai salah satu komponen di sekolah menempati profesi yang memainkan peranan penting dalam proses belajar mengajar. Kunci keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan di sekolah ada di tangan guru. Ia mempunyai peranan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan siswanya, pengetahuan, ketrampilan, kecerdasan dan sikap serta pandangan hidup siswa. Oleh karenanya, masalah sosok guru yang dibutuhkan adalah guru dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan siswa sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan pada setiap jenjang sekolah.

Ketika seorang guru sudah mampu membaca setiap karakter anak didiknya dan mampu menggunakan sudut hati nuraninya dalam menghadapi berbagai persoalan anak didiknya, niscaya orang yang dididik itu akan selalu mengaguminya dan segenap ilmu yang ia sampaikan itu pun akan tersampaikan dengan mudah dan melekat pada diri anak didik layaknya lem. Untuk itu, kepada seluruh guru di seluruh Indonesia, Aceh khususnya, marilah menjadi guru yang selalu dinanti oleh anak didik. Guru yang selalu menggunakan sudut hati nuraninya dalam menghadapi ragam persoalan anak didiknya. Karena disaat seorang anak didik yang tengah atau sedang menanti guru (yang ia kagumi) untuk mengajarinya, itu pasti karena ada sesuatu yang ia inginkan darinya kita 
   
Azmi Labohaji, guru dan juga penikmat sastra

Tuesday, 15 July 2014

Reaktif, Salah Satu Ciri Khas Orang Aceh

Istilah reaktif dapat disamakan dengan responsif yang bermakna cepat merespon, bersifat menanggapi, dan tergugah hati. Baik istilah reaktif maupun responsif dipandang sebagai istilah positif dalam tindakan manusia. Seseorang dikatakan berwatak reaktif jika dia segera bereaksi atau menanggapi sesuatu yang muncul atau timbul. Orang Aceh sangat dikenal dengan wataknya yang keras klo tulo. Namun, di balik sifat klo tulo-nya itu, orang Aceh juga memiliki sifat baik hati dan pemurah. Sifat yang demikian, akan diunjuk kepada siapa saja oleh orang Aceh. Sifat reaktif merupakan salah satu sifat orang Aceh di samping sifat militan, optimis, konsisten, dan loyal. 
Sifat reaktif itu dimiliki oleh setiap orang Aceh dalam hal menjaga harga diri. Harga diri bagi orang Aceh adalah sesuatu yang tidak boleh diusik. Harga diri merupakan sesuatu yang sangat berharga dan mahal harganya bagi orang Aceh. Jika harga dirinya telah diusik, maka sifat reaktif orang Aceh yang telah mendarah daging itu pun akan diunjuk.
Sebagai etnis yang memiliki sifat reaktif yang kuat dalam menjaga harga diri, orang Aceh juga dikenal dengan sifatnya yang ramah tamah dan baik hati kepada orang lain, misalnya dalam menjamu tamu. Salah satu pertanyaan atau ajakan yang pertama kali diajukan oleh orang Aceh sebagai pemilik rumah adalah kaleuh bu? ‘sudah makan? Ini sudah menjadi kebiasaan bagi orang Aceh. Orang Aceh tak mahu tahu apakah si tamu itu datang berniat baik atau buruk, yang penting bu ‘nasi’ adalah tawaran pertama yang harus diajukan kepada si tamu.
 Sifat baik hati dan ramah tamah ini tak akan diunjuk kepada mereka yang telah melukai hati atau harga diri orang Aceh. Hal ini tampak sekali dalam hadih maja berikut: meunyoe ate hana teupeh/ aneuk kreh jeuet ta raba/ meunyoe ate ka teupeh/ bu leubeh han jipeutaba/ (kalau hati tidak tersinggung, buah pelir boleh diraba, kalau hati telah tersinggung, nasi lebih pun takkan ditawarkannya). 
Dalam hadih maja di atas, sifat reaktif orang Aceh sangat tampak jelas pada baris terakhir, bu leubeh han jipeutaba. Orang Aceh tak akan berbagi nasi lebih kepada mereka yang telah melukai hatinya, meskipun si pengusik itu telah berhari-hari tak makan nasi. Biar ada efek jeranya. Oleh sebab itu, jangan sesekali mengusik harga diri atau hati orang Aceh, agar sewaktu bertamu akan ada nasi lebih yang akan ditawarkan.
Jika hati/harga dirinya tidak diusik, sifat reaktif orang Aceh yang berdampak negatif tak akan ditunjukkan kepada orang yang melakukan sesuatu padanya, meski buah pelir (zakar) yang dipegangnya. Hal ini tampak dalam hadih maja di atas, aneuk kreh jeuet ta raba. Jika ditilik dari segi kewajaran, memegang anak pelir (zakar) seseorang adalah suatu perbuatan yang kurang wajar. Aneuk kreh jeuet ta raba dalam hadih maja di atas, sebagai tamsilan (saja) bahwa betapa orang Aceh takkan bereaksi negatif meskipun yang dipegang adalah buah pelir. Akan tetapi, jikalau hatinya telah tersakiti dan mencoba meraba buah pelirnya, mereka tak segan-segan untuk memukul si pengusik bahkan mau untuk membunuh si pengusik. 
Di samping itu, sifat reaktif orang Aceh secara kelompok juga akan ditunjukkan kepada orang lain (baik kepada individu maupun kelompok atau juga pemerintah). Misalnya, menguburkan jenazah dari keluarga seseorang yang di dalam masyarakat keluarga tersebut dicap sebagai keluarga penyantet. Maka sifat reaktif kelompok orang Aceh yang akan ditunjukkan adalah dengan tidak menguburkan jenazah tersebut. Meskipun dalam agama hal yang demikian dilarang.      
Begitu juga sifat reaktif orang Aceh terhadap pemerintah, khususnya pemerintah Indonesia. Sifat reaktif orang Aceh dalam membantu Indonesia tampak jelas tatkala orang Aceh menyumbang semua harta bendanya demi membeli dua buah pesawat terbang (seulawah RI). Masa itu memang harus diakui hati/harga diri orang Aceh belum terusik.    
Selain sifat ramah dan baik hati yang dimiliki oleh orang Aceh, sifat pendendam dan pemarah juga mendarah daging dalam diri orang Aceh. Sifat pemarah dan pendendam tersebut lahir dari sifat reaktif yang diperlihatkan orang Aceh tatkala mereka telah diusik. Muenyoe ka teupeh, dong beukong ‘kalau sudah diganggu, maka siap-siaplah’.
Orang yang telah melukai hati/ harga diri orang Aceh tak lagi dianggap sebagai sahabat, tamu, keluarga, musafir, dan orang yang dihormati. Orang Aceh akan menganggap mereka sebagai MUSUH yang harus “dibumihanguskan”.
Sifat reaktif orang Aceh terhadap musuh akan tampak sekali dalam hadih maja berikut; jirhom geutanyoe ngon ek leumo ta rhom jih ngon ek guda, ‘dilempar kita dengan tahi lembu, kita lempar dia dengan tahi kuda’. Inti dari hadih maja di atas adalah orang Aceh akan membalas perbuatan si pengusik dengan … “ta rhom jih ngon ek guda” (secara alamiah, tahi kuda lebih keras dibandingkan tahi lembu). Demi mempertahankan harga diri, orang Aceh rela berperang hingga titik darah penghabisan. Hal tersebut telah diamanahkan oleh endatu-endatu orang Aceh, bahwa menjaga harga diri adalah suatu hal yang sangat diutamakan, bahle matee daripada malee. 
Sifat reaktif orang Aceh dalam bentuk protektif (memberi perlindungan, baik kepada keluarga, teman, dan juga sahabat) akan sangat tampak tatkala salah satu dari mereka (keluarga, teman sahabat) diusik. Orang Aceh-lah yang akan pertama sekali tajo u likeu (menghadapi si pengusik) bukan yang terkena usik. Meski orang Aceh memiliki watak keras bak karang di lautan , namun sifat lembut orang Aceh juga akan tampak seperti pada kasus di atas (dalam hal memberi perlindungan).
Jika ada orang dari luar Aceh yang datang ke Aceh dan bersahabat/bergaul dengan orang Aceh, tatkala ia kembali ke daerah atau negara asalnya ada satu hal yang akan melekat di hati si pendatang yakni orang Aceh selalu menawarkan bu, bu, dan bu kepada tamunya. Maka dari itu, sering-seringlah main ke Aceh biar Anda selalu ditawari bu, bu, dan bu. Satu hal pula yang harus diingat, ketika Anda telah lama berada di Aceh, makan nasi orang Aceh, minum air orang Aceh, bergaul dengan pemuda dan pemudi Aceh, dan menghirup udara di tanah Aceh, saat Anda kembali ke kampung asal jangan pernah menyebut-menyebut “Aceh itu kampung saya” karena itu sangat berbahaya. Tetapi boleh Anda berkata, “saya dulu pernah tinggal di Aceh”. Hidup bangsa Aceh, bangsa teuleubeh ateuh rung donya!
--------------
                
Azmi Labohaji

Friday, 11 July 2014

Surat dari Kamar Jeumpa

Besok malam aku akan menjadi seorang anak manusia yang sangat bahagia. Sebab, hari ini aku baru saja menerima gaji dari hasil kerjaku yang begitu melelahkan. Ya, pekerjaan sebagai seorang marketing bank. Sungguh sebuah pekerjaan yang menuntut kesabaran tinggi dan tenaga yang ekstra. Dan buah dari kelelahan dan kesabaran itu akan kunikmati bersama mak malam esok.

Aku mulai mengemasi barang-barangku. Menyatukannya dalam sebuah koper yang berukuran sedang. Tak ada satu pun barang yang lupa kumasukkan ke dalamnya, mulai dari pasta gigi hingga kado buat mak. Penuh senyum saat kumasukkan semua benda itu ke dalam koper. Seraya memasukkannya, aku mulai menghayal senyum ibu yang akan mengembang di bibir manisnya. Menghayal akan tangan ibu yang akan lama-lama mengelus-elus kepalaku. Dan menghayal akan semua yang akan diberikan oleh ibu buatku.

Aku selesai mengemasi barang-barangku. Dan kini waktunya menghubungi mobil yang akan kutumpangi menuju Kuta Raja, tempat ibuku tinggal. Sesaat kemudian, orang mobil mengabariku bahwa mereka akan berangkat malam ini juga dan aku akan turut serta bersama mereka. 

Petang merangkak perlahan-lahan. Mengeserkan sang surya yang cayanya kian memuram. Aku baru saja selesai membersihkan diri. Seraya menunggu waktu keberangkatan, aku pun bersantai di depan di depan rumah kontrakanku dengan segelas kopi tubruk. Baru saja berapa teguk kuminum kopi ala Aceh Selatan itu, tiba-tiba seorang  memarkirkan  sepeda motornya tepat di halaman rumah kontrakanku.

“Saudara Muzakir?” tanya lelaki jangkung itu sambil membuka pintu pagar.

“Ya, benar saya Muzakir,” jawabku sambil meletakkan gelas kopi ke panteu tempat kududuk tad.

“Ini ada surat buat Anda.”

Tanganku meraih surat yang diberikan oleh lelaki jangkung itu sambil mengerutkan dahi.
    
Dalam keheranan itu aku pun menyempatkan diri bertanya pada lelaki jangkung itu,

“Surat dari siapa?”

“Emm, saya tidak tahu juga dari siapa. Yang saya tahu orang kantor  menyuruh saya mengantarkan surat ini ke alamat ini,” jawab lelaki jangkung itu sambil mengarahkan telunjuknya pada bidang papan yang terdapat nama jalan dan nomor rumah kontrakanku yang menempel tepat di tiang panteu.

Kami sama-sama terdiam. Aku terdiam dalam balutan keheranan dan si lelaki jangkung itu terdiam dalam kekusyukannya menatap jemariku yang begitu lincah menandatangani borang penerimaan surat. Ia beranjak dari hadapanku. Dan aku kembali ke panteu.

Aku mulai melafalkan empat kata yang tertulis pada amplop surat. Surat dari Kamar Jeumpa. Perlahan-lahan kubuka amplop tersebut dan kukeluarkan isi yang ada di dalamnya. Setelah membuka beberapa lipatannya, mataku menuju isi surat. Isinya hanya beberapa baris. Selanjutnya bola mataku pun mengarahkan tatapannya pada alamat surat yang tertulis di baris pertama surat. Ya, surat ini memang tertuju buatku.

“Kepada Muzakir, dari Mak di kamar Jempa rumah sakit Kesdam,” bacaku dalam hati. Suhu badanku langsung berubah ketika membaca tiga kata terakhir itu. Aku langsung memburu isi surat tersebut.

“Anakku tersayang, sudah seminggu Mak berada di rumah sakit Kesdam, tepatnya di kamar Jeumpa. Penyakit Mak kambuh lagi. Mak sengaja tidak memberitahu padamu tentang ini karena Mak pikir ini akan segera berakhir. Tetapi pikir Mak mu ini salah. Dan kini Mak begitu merindukanmu, maukah kamu cuti sebentar saja untuk menjengguk Mak mu ini? Mak begitu sangat merindukanmu, Zakir. Sungguh! Setidaknya sebelum Mak pergi, Mak sempat melihat wajahmu. Salam, Mak.”

Bola mataku memerah. Aku hendak menangis, namun kutahan. Segera kuhubungi Waklah, lelaki yang kegilaannya mengendarai sepeda motor sudah terkenal ke seantero kecamatan. Beberapa saat kemudian, ia muncul di hadapanku.

“Ada apa, Kir?” tanya Waklah.

“Sore ini aku membutuhkan jasamu. Sore ini kau harus mengantarkanku  ke Kuta Raja. Mak ku tengah sakit di sana.”

“Ta.. ta.. pi… Kuta Raja jauh sekali, Kir?”

“Berapa aku harus membayarmu? Berapa pun yang kau minta aku akan membayarnya.”

Hanya senyuman yang Waklah berikan padaku. Ia langsung menghidupkan sepeda motornya.

“Kau tunggu di sini sebentar, aku mau masuk ke dalam dulu mengambil uang dan sesuatu yang berharga.”

Aku mulai mengamankan diri di belakang Waklah. Untuk kali ini aku tak menganggapnya “gila” untuk urusan mengendarai sepeda motor. Dari belakang Waklah aku menyempatkan diri melihat jarum amper yang ada di atas stang motornya itu. kulihat jarum itu menari-nari pada angka 140 dan 150. Sungguh kencang! Sungguh gila! Tapi tak apa-apa karena keadaan genting.

Desa desa telah kami lalui. Kecamatan-kecamatan telah kami sebrangi. Kabupaten-kabupaten pun telah kami lewati. Satu jam lagi kami akan tiba di Kuta Raja. Tinggal menghitung detik. Tinggal menghitung menit. Roda kendaraan Waklah terus berguling menuju tempat tujuan. Dan akhirnya kami pun tiba di tempat tujuan. Rumah Sakit Kesdam.

Aku berlari-lari kecil menuju ke salah seorang tentara yang berada di pos penerima tamu. “Samlekom, Pak. Saya mau bertanya, Paviliun teuku Umar, kamar Jeumpa, ada di mana, Pak?” tanyaku terburu-buru.

Pak Tentara itu langsung menjelaskan padaku seraya mengarahkan telunjuknya ke koridor yang menuju ke kamar Jeumpa.
“Terima kasih banyak, Pak!”

Aku langsung memanggil Waklah yang kala itu tengah asyik ngobrol dengan seorang janda dan mengajaknya menuju kamar yang kumaksud. Aku tiba di kamar yang kumaksud. Setelah kuucapkan salam, langsung kubuka pintu kamar Jeumpa. Aku terdiam. Orang-orang yang berada di kamar Jeumpa bukanlah orang-orang yang kukenal. Bukan keluargaku. Dan yang terbaring di atas kasur pesakitannya bukan ibuku. Oh tuhan kemana ibuku?!

Langsung kutemui perawat yang berada di samping kamar Jeumpa. Aku menanyakan makku. Dan mereka langsung mencari nama mak di buku tamu.
“Pak, ibu Anda telah pergi seminggu yang lalu,” ucap perawat tersebut begitu santai.

Aku terdiam dan meneteskan air mata tanpa bertanya lagi pada si perawat maksud kata perginya itu; pergi ke Rahmatullah atau pergi pulang ke rumah. Aku meninggalkan perawat tersebut dengan jiwa yang dibalut kesedihan yang mendalam.

Sambil meneteskan air mata aku berkata pada Waklah, “Kita pulang ke rumahku sekarang.”

Kami pun tiba di rumahku. Dengan langkah yang begitu lunglai dan air mata yang terus bercucuran, aku kini telah berada tepat di depan pintu rumahku. Setelah mengucapkan salam seseorang membukakan pintu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah perempuan yang membukakan pintu untukku. 

“Maaaakkk????!!!”

Aku langsung memeluk mak begitu kuat. Seraya menangis hebat.
“Kenapa kamu menangis, Kir?”

“Kemarin Zakir menerima surat Mak. Di surat itu berkabar bahwa Mak sakit. Dan Zakir langsung kembali ke sini hendak menemui Mak. Ketika  Zakir berada di rumah sakit tempat Mak di rawat, kata mereka Mak telah pergi. Zakir begitu sedih Mak. Zakir kira Mak telah pergi ke pangkuang Ilahi,” jawabku sambil menyeka air mata.

“Betul, seminggu yang lalu Mak sakit dan Mak juga memesanmu. Tapi surat itu sudah seminggu yang lalu dikirim. Dan sekarang Mak sudah sehat-sehat wal afiat,” ucap Mak seraya mengembangkan senyumnya.

Aku terdiam. Mendengar penjelasan dari Mak ternyata surat tersebut telah dikirim Mak seminggu yang lalu. Dan dalam keterdiamanku itu aku menyesali orang yang telah berbuat salah dalam hal ini.

“Ah, untung saja Makku masih bisa kulihat, kalau tidak aku bersumpah akan menuntutnya sampai ke akar-akarnya,” ucapku dalam hati sambil tertawa geli.
Aku pun memanggil Waklah yang sedang asyik ngobrol dengan jandanya lewat telpon seluler dan mengajaknya masuk ke rumah. ***
    
Azmi Labohaji
Kesdam, Juli 2012     
  
-dimuat pada harian Serambi Indonesia     
       
   

Maryamah dan Kitab Diarinya

Jika ada terang bulan yang terang benderang dengan lingkarannya yang penuh nan juga indah, itu adalah kau, Maryamah. Jika ada lebah betina dengan pantat besarnya yang menyimpan setitik madu nan memabukkan, itu juga kau Maryamah. Bila ada kembang dari segala kembang yang mampu membuat segenap kumbang terpukau, hingga jatuh terkapar,  itu juga kau, Maryamah. Oh, Maryamah, gadis dengan sejuta keindahan. Kaukah yang banyak dirindukan kaum Adam?
 
Maryamah adalah gadis pendiam. Tak banyak bicara lagi suka menyendiri. Diam, bagi Maryamah, lebih berharga dari pada mengeluarkan sebaris kata. Maryamah tak memiliki sahabat. Sahabatnya hanyalah sebuah buku mungil yang saban hari ia tulis dengan kata-kata. Kata-kata yang ia dapati dari kesehariannya di sebuah pesantren dan juga merangkap sebagai sekolah.

Hari ini adalah hari ke-720 ia berada di pesantren Hijjah. Artinya Maryamah telah berada di pesantren tersebut lebih kurang dua tahun. Di pesantren tempat ia tinggal kini, tak ada satu pun teman yang bisa ia jadikan sahabat. Sebab, apa arti seorang sahabat jika mulutnya layak toa yang selalu mendengungkan permasalahan si Maryamah ke setiap telinga.

Kala itu, Fika adalah sahabat pertama Maryamah ketika ia baru masuk ke pesantren Hijjah. Begitu rapat dan dekat Maryamah bersahabat dengan Fika. Sekali waktu, tanpa sepengetahuan Maryamah, ternyata Fika mengabari seorang ustad di pesantren tersebut bahwa Maryamah menggunakan handphone. Tanpa butuh waktu lama, kamar Maryamah digrebek dan benda yang dikatakan Fika ternyata benar adanya.

Memiliki handphone di pesantren adalah petaka besar. Hukumannya sangat berat. Dan hukuman itu kini tengah dijalani Maryamah. Maryamah harus menghormat matahari selama enam puluh menit.

Satu detik berlalu. Menit bertukar. Dan hukuman Maryamah untuk menghormat matahari hanya tinggal lima menit lagi. Menit pertama berlalu kedua berlalu dan menit ketiga pun berakhir.. Tiba-tiba seluruh tubuh Maryamah menyentuh tanah. Maryamah pingsan tak sadarkan diri satu hari setengah.

Itulah sepengal kisah Maryamah tentang mengapa ia begitu membenci yang namanya sahabat.

***

Setelah kejadian tersebut, segenap kisah sehari-hari Maryamah tak pernah ia lisan lagi kepada orang lain, baik ustazah di pesantrennya juga kepada kedua orang tuanya. Tak pernah ia lisankan. Kisah-kisah kesehariannya selalu ia lisankan pada kitab diarinya. Sebuah buku mungil yang tak pernah lupa ia lukiskan kata-kata di atasnya sebelum ia terlelap malam. 

Pelajaran baru saja dimulai, namun sang guru belum tiba. Lima menit kemudian, masuklah sang guru beserta seorang pemuda kurus namun tampan bersama sang guru.

“Baiklah semuanya, mulai hari ini, mata pelajaran bahasa Indonesia akan diajarkan oleh Bapak Imza.” Gemuruh tepuk tangan pun membahana, memenuhi setiap sudut ruang kelas II. Sambutan yang sedikit menarik.

Hari-hari terus berlalu. Maryamah semakin tersipu. Guru bahasa Indonesia itu membuatnya kian membatu. Maryamah semakin diam. Diam yang memiliki makna. Hati Maryamah telah disiram dengan madu ketampanan sang guru bahasa Indonesianya itu. Hatinya tak berhenti berdetak ketika guru bahasa Indonesia itu masuk ke kelasnya. Detakan yang penuh makna. Dan tensi detak jantung Maryamah kian bertambah kala seonggok senyum dialamat sang guru bahasa Indonesia itu buatnya. 

Kaukah kumbang yang kan membawaku terbang di atas angin duhai pak Imza? Adakah kau tahu, di sini dan saat ini, ada sebait rasa di hatiku untukmu? Tolong aku. Rasa ini slalu menghentakkan hatiku kala daku menyaksikan sedikit keindahan Yusuf yang ada padamu itu. Pernah niatku untuk memadamkan rasa itu, namun keindahanmu kembali menyalakannya. Dan kini aku tengah dibakar oleh rasa itu duhai Pak Imza. Malam ini, di bawah pancaran sinar bulan yang begitu mendamaikan, aku ingin esok kau memberiku seonggok senyum. Sebuah senyum yang mungkin akan membuatku memberanikan diri untuk mengutarakan bait rasa itu.

Maryamah selesai menulisi diarinya. Kini ia beranjak tidur. Sebelum memejamkan mata, ia menyebut nama guru bahasa Indonesianya itu sebanyak tujuh kali. Dan matanya Maryamah pun terpejam menuju alam mimpi.

Pagi menjelma dengan hamparan jubah keemasannya. Sang guru bahasa Indonesia, pak Imza, masuk ke dalam kelas Maryamah. Semua mata terpesona dengan penampilan guru bahasa Indonesia itu. Ia masuk dengan gagah. Setelah mengucapkan salam, sang guru bahasa Indonesia langsung memulai pembelajarannya. Tidak seperti biasanya, sebelum mengajar pak Imza menyempatkan diri membuat siswa-siswa tertawa. Hari ini tidak ada hingga pelajaran berakhir.

Hari ini Maryamah tak mendapatkan senyum seperti yang ia harapkan semalam. Hati Maryamah sedih. Ingin menangis ia, namun apalah arti sebuah tetesan air matanya itu jika guru bahasa Indonesianya itu tak pernah paham akan rasa yang tengah membalut Maryamah.

Sudah seminggu Maryamah melewati malam dengan kelam. Sudah seminggu juga guru bahasa Indonesianya itu tak pernah lagi melayangkan senyum ke arahnya. Dan rasa itu kian menggila menghentak-hentak hati Maryamah.

Hari ini Maryamah masuk kelas seraya membawa kitab diarinya. Menjelang istirahat, Maryamah dipanggil ke kantor sang kepala sekolah. Ketika langkah pertama Maryamah memasuki ruang kepala sekolah, terdengarlah seuntai kalimat.

“Pak Kepala Sekolah, sepertinya saya akan berhenti mengajar di sekolah ini,” ucap sang guru bahasa Indonesia. Kalimat itu langsung membuat Maryamah berdiri tegak di depan guru bahasa Indonesianya.

“Bapak akan meninggalkan kami?”

“Ya, Maryamah. Bapak harus segera kembali ke kampung Bapak, Takengon.”

Mata Maryamah memerah. Ada bulir bening yang hendak terjun ke luar dari kelopak matanya. Akhirnya, bulir bening itu menetes jua dan mengenai ujung sepatu Pak Imza. Pak Imza tak menanyakan mengapa Maryamah harus menangisi kepergiannya.

Setelah berpamitan pada sang kepala sekolah, pak Imza langsung keluar menuju tempat parkiran. Kini tinggallah Maryamah dengan hati yang teriris-iris. Kekasih dalam hatinya itu telah pergi dan takkan pernah kembali lagi ke sekolahnya.

“Pak Imza,” ucap kepala sekolah, “Sepertinya Bapak tidak bisa meninggalkan sekolah ini sekarang, sebab kami sedang sangat membutuhkan Bapak.”

“Saya minta maaf, Pak, saya memang harus meninggalkan sekolah ini. Saya harus kembali ke kampung saya.”

“Pak, sekali lagi saya ulang, sekolah ini sedang sangat membutuhkan Bapak. Ini tentang hidup dan mati sekolah ini, Pak.”
“Maksud Bapak apa?”

“Bapak tahu Maryamah? Ia siswa yang cerdas di sekolah ini. Ialah yang akan mempresentasikan semua keunggulan sekolah ini esok hari pada pertemuan kepala dinas pendidikan seluruh Aceh. Jika Maryamah tak hadir pada acara pertemuan tersebut, sekolah ini selamanya akan berstatus seperti ini. Swasta. Dan Bapak tahu apa yang dilakukan Maryamah ketika ia tahu Bapak akan beranjak dari sekolah ini? Ia takkan menghadiri pertemuan tersebut.”

“Jadi apa hubungannya Maryamah dengan  saya?”

“Pertanyaan yang bagus,” sahut sang kepala sekolah, “Maryamah…”

“Maryamah mencintai Bapak?” ucap Maryamah memotong pembicaraan kepala sekolah.

“Maukah Bapak menerima rasa yang telah lama saya pendam ini? Jika Bapak mau merimanya, sekolah ini akan berubah statusnya menjadi Negeri, dan jika Bapak menolaknya, sekolah ini selamanya akan seperti ini.”

“Maaf, Maryamah, semua itu tak mungkin Bapak lakukan. Maaf, Bapak tak bisa menerima rasa yang kamu miliki itu.”

Maryamah berlari ke kamarnya dengan membawa segenap hati yang telah menjadi keping-keping. Rasa yang selama ini menghentakkan hatinya ternyata hanya mampu membuat Maryamah tersiksa. Maryamah semakin tersiksa. Hari-hari yang dilaluinya kini kian kelam.  Tak ada lagi semangat hidup. Ia telah pergi seiring langkah kaki sang guru bahasa Indonesia yang kembali ke kampung halamannya.

Malam ini aku akan menjumpai Tuhan. Abadi di sisinya adalah sebuah kenikmatan.

Maryamah terlelap panjang. Paginya, kala mentari pagi menggelar jubah keemasannya, berita duka tentang kepergian Maryamah pun merebak ke seluruh pesantren Hijjah. Maryamah tengah bersua Tuhan.
      

Azmi Labohaji
 

-dimuat pada Harian Serambi Indonesia

   

Kurma Rahman Buat Emak

Menikmati meugang serta puasa pertama bersama kedua orang tua merupakan sebuah kenikmatan dan kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Betapa tidak, ketika hari meugang tiba, sang ayah membawa pulang setumpuk daging dan sang ibu memasaknya. Dan kita sebagai penikmatnya. Sungguh sebuah kenikmatan yang hanya terjadi setahun sekali. Namun, kebahagiaan yang tak ternilai harganya itu tak dirasakan oleh Rahman, bocah yang telah ditinggal mati sang ayah. Ayahnya mati tanpa sebab dan alasan. Mereka, orang yang tak dikenal itu, langsung menyarangkan sebutir peluru AK 45 ke dalam tubuh sang ayah. Sang ayah terkapar ke tanah. Hingga kini perkara tersebut belum terungkap siapa pembunuhnya.

Ramadan telah memasuki hari kelima. Rahman yang berusia tujuh tahun itu sedang membantu sang emak menyiangi rumput di sawah peninggalan ayahnya. Karena waktu asar telah tiba, sang emak pun menyudahi pekerjaannya. Ia mengajak Rahman untuk kembali pulang.

Sebelum pulang, sang emak menyempatkan diri memetik gulai-gulai yang ada di pematang sawah. Melihat sang Emak tengah asyik memetik gulai, Rahman pun mendekati pohon pinang yang tak jauh dari sawah. Akhirnya, sang emak menyelesaikan pekerjaan memetik gulainya. Ketika hendak melangkah pulang, Rahman yang tadi berdiri di sampingnya kini tak ada lagi. Sang emak melihat ke sekeliling sawah, wajah sang buah hati tak ia dapati.

Tiba-tiba sebuah suara yang mengalihkan perhatian sang emak.

“Mak, Rahman di sini,” ucap Rahman seraya menggoyang-goyangkan tangannya ke udara.

“Nak, ayo kita pulang. Sedang apa kamu di situ?”

“Emak pulang saja dulu, Rahman ingin mengambil ticem tulo puteh ulee di atas pohon pinang ini.

 “Jangan Nak, nanti kamu jatuh.”

“Tidak, Mak, Rahman pandai kok memanjatnya.”

“Tapi Rahman janji ya, sehabis mengambil burung tersebut, Rahman langsung pulang ke rumah ya?”

“Ya, Mak, Rahman janji.”

Sang emak akhirnya menjajakan kaki mengikuti pematang sawah. Sedang sang buah hati sedang mempersiapkan diri memanjat pohon pinang yang ada di hadapannya.

Rahman mulai memanjat. Dengan lincah Rahman mendorong tubuhnya untuk sampai ke atas pohon pinang. Dan kini ia telah berada tepat di atas pohon pinang. Ternyata di atas pohon pinang tersebut tak ada ticem tulo puteh ulee seperti yang ia katakan pada emaknya.

Ia mulai menjatuhkan bertandan-tandan pinang masak. Ada empat tandan pinang yang masak dan semua telah dipisahkan oleh Rahman dari pohonnya.

Pohon pinang itu memang milik neneknya. Karena milik nenek, jadi siapa saja yang merasa menjadi cucu sang nenek boleh mengambil pinang tersebut dan menjualnya. Syaratnya hanya satu, siapa yang cepat dia yang dapat. Ketika pinang tersebut telah dijual, sang nenek, sebagai orang yang menanam pinang tersebut akan dihadiahi sekepal bakung leumak. Dan itu memang sudah menjadi aturannya.

 Rahman mulai memunggut pinang-pinang yang berceceran. Pinang telah terkumpulkan dan kini ia mulai memasukkannya ke dalam karung yang telah ia persiapkan. Langkah berikutnya adalah menjual pinang tersebut pada Mak Saleh, lelaki pembeli pinang yang menerima pinang baik yang telah dijemur maupun pinang yang masih basah.

Rahman memanggul pinang yang telah ia masukkan ke dalam karungnya dan menyusuri pematang sawah menuju kedai Mak salah yang ada di seberang jalan. Langkahnya begitu teratur dan lincah. Jika ia tidak berjalan dengan hati-hati di atas pematang tersebut, lumpur sawah telah siap menanti tubuh munggilnya itu.

Rahman sampai ke kedainya Mak Saleh. Segera ia turunkan pinang yang ia panggul. Dan memanggil Mak Saleh untuk menimbang pinangnya. Mak Saleh langsung memunggut karung yang di bawa Rahman dan menaruhnya di atas ceng. Dan timbangan tersebut menunjukkan angka empat.

“Pinang kamu semuanya empat kilo. Ini uangnya,” kata Mak Saleh seraya menyerahkan enam lembar pecahan dua ribu.

“Makasih, Pakcik.”

Rahman tersenyum lebar. Di tangannya kini ada uang dua belas ribu rupiah. Ia mulai mengipas-ngipas dirinya dengan uang pecahan dua ribu tersebut.  Segera ia menuju kedai yang menjual bakung leumak. Ia mulai mengeluarkan dua lembar pecahan dua ribu dan menyerahkan kepada pemilik kedai.

“Ouh, nenek pasti bahagia sekali nanti ketika aku memberikan bakung ini.  Semoga saja dengan memberikan bakung leumak  ini padanya, nenek tak lagi menyuruhku untuk memandikan kerbau,” ucap Rahman sambil memasukkan ke dalam kantong plastik.

Rahman berangkat pulang. Namun, langkahnya segera terhenti ketika sepasang matanya melihat buah kurma yang terpajang dalam lemari kaca di sebuah kedai di samping kedai penjual bakung leumak. Ia menghampiri kedai tersebut dan langsung menanyai harga kurma tersebut.

“Pakcik, berapa harga kurma itu?” tanya Rahman seraya mengarahkan telunjuknya ke buah kurma.

“O, itu harganya enam ribu satu bungkus.”

Rahman langsung menghitung sisa uang yang ada di saku celananya. Ternyata cukup. Ia langsung menyerahkan uang enam ribu tersebut dan mengambil kurmanya.

Kini Rahman pulang dengan kebahagiaan yang tak mampu untuk digambarkan. “Emak pasti sangat senang jika ia tahu aku membeli kurma ini buatnya. Pasti emak akan menciumku setelah buka puasa nanti. Karena aku telah mampu membelinya kurma buat berbuka puasa. Ouh senangnya hatiku. Terima kasih ya Tuhan.”

Sangkin gembiranya, Rahman langsung menyusuri jalan pulang. Ia telah tiba di persimpangan masuk ke kampungnya. Tanpa melihat kiri dan kanan, sambil menyanyikan lagu kesayangannya, Rahman pun langsung menyebrangi jalan. Ternyata tanpa disadari Rahman, dari arah kanannya sebuah mini bus dengan kecepatan tinggi  tak sempat lagi untuk menekan pedal rem. Palang minibus tersebut menghantam tubuh Rahman. Ia terlempar di atas aspal. Bakung leumak milik neneknya terlempar jauh. Dan kurma buat sang emak bertaburan di atas aspal panas. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang diberikan Rahman. Tubuhnya langsung memucat. Bibirnya terseyum manis seperti hendak melafazkan seuntai kalimat. Rahman tak dapat diselamatkan. Dan kurma yang ia beli tak sempat ia hadiahkan buat sang emak.
Azmi Labohaji

Gubuk, 4 Agustus 2011

-dimuat pada Harian Serambi Indonesia

Tong Wasiat

Namanya Teuku Mun. Orang-orang memanggilnya Tumun. Sebagian orang lagi memanggilnya juragan tanah lembek alias lelaki yang selalu membeli atau menerima setiap tanah sawah warga kampung baik yang dijual atau jua yang digadaikan padanya. Dan di kampung Kuta hampir setiap tanah sawah menjadi miliknya.

Ia lelaki yang hampir kaya hijau tapi tak jadi. Musababnya tak lain, karena suka main perempuan. Dan perempuan yang ia mainkan itu pun tak dipandang bulu, perawan, janda tetap dihajarnya asalkan si perempuan mau menerima pemberiannya dan mau memberi apa yang ia minta. Selain itu, kepelitannya juga terkenal ke seantero kampung. Ia mau berdakwa hanya karena uang seribu rupiah. Bahkan ia mau berkelahi hanya pasal uang lima ribu rupiah.

Lelaki itu kini telah memiliki empat orang anak. Dan keempat-empatnya telah mengecap pendidikan yang bermacam jenjang, mulai dari SD hingga SMA. Keempat anaknya itu begitu penurut dan berbudi baik. Ya, mereka mewarisi sifat sang emak bukan sifat Tumun.

Senja akan segera tiba. Tumun sedang menunggu kepulangan anaknya yang tua dari tempat latihan silat kampung. Tak lama kemudian, yang ditunggu pun muncul. Segera Tumun memanggilnya.

“Nak, dari mana kamu?” tanya Tumun pura-pura tidak tahu.

“Rahman baru pulang dari tempat latihan silat, Yah.”

“Bagus itu,” tambah Tumun, “oya, kalau kamu sudah sampai di rumah, bilang sama Emakmu kalau malam ini Ayah tidak pulang. Ayah bermalam di sawah malam ini, jaga air, agar tidak ada yang mencurinya. Kamu tahu sendiri kan kapan para pencuri laknat itu mencuri air sawah warga?”
“Baik, Yah.”

“Ya sudah, sekarang kamu pulang terus, Emak sedang menunggu kepulanganmu.”

Ayah dan anak itu akhirnya menelusuri jalan masing-masing. Dan sang ayah telah berhasil membohongi anaknya yang tua dan juga istrinya. Alasan menjaga air di sawah, padalah bermalam dengan seorang perawan yang ia temui siang tadi.

Tumun terus berjalan menuju tempat rahasianya. Kini ia tiba di tempat rahasianya itu. Kedatangan Tumun disambut dengan senyum manis sang perawan. Gadis yang baru berusia sembilan belas tahun itu ternyata telah lama menunggu kehadiran sang juragan tanah itu di jambo kebun kopinya.

Dan malam pun mulai menggelar jubah hitam pertamanya.

Dalam kegelapan malam yang belum begitu sempurna, Tumun dan gadis perawannya itu mulai menghidupkan pelita untuk menerangi kamar tempat mereka akan tidur nanti.

“Aku sudah tidak sabar lagi, Sayang,” bisik Tumun pada perawannya itu. “ Apa sudah bisa kita mulai sekarang, Sayang?” tanya Tumun lagi.

“Sudah. Tapi, surat-surat yang kuminta sebagai bayarannya apa sudah di bawa?” tanya sang perawan sambil mengelus-elus pipi sang juragan penuh manja.

Sang juragan pun tak kuasa dengan elusan yang diberikan sang perawan. Ia langsung mengeluarkan selembar surat tanah dari balik bajunya. “Ini, Sayang,” ucap Tumun sambil mendaratkan hidungnya pada pipi sang perawan yang begitu mulus.

Tak lama kemudian, dari balik kain sarungnya itu sang perawan mengeluarkan sepucuk surat yang lengkap dengan materai. Ia menyodorkan surat tersebut pada lelaki hidung belang yang akan menikmati tubuhnya malam ini. Tumun langsung membaca surat tersebut. Dan inti daripada surat tersebut tak lain, setelah menikmati tubuh sang perawan maka sepetak tanah yang tertera pada surat yang diberikan oleh Tumun secara sah menjadi milik si perawan. Tumun setuju dan langsung membubuhi tanda tangannya pada bagian surat yang telah disediakan.

Perjanjian pun selesai dilakukan. Kini tiba saatnya bagi sang juragan menikmati malam beserta dengan sepotong tubuh yang masih menyimpan sejuta kenikmatan.

***

Kebiasaan buruk yang dimiliki Tumun masih melekat erat di tubuhnya. Hari-harinya masih juga dilalui dengan menikmati setiap tubuh yang mau memberikan apa yang ia ingini. Dan ia tak menghirau sudah berapa banyak tanahnya yang hilang akibat perbuatannya itu. Ia tak peduli dan tak akan pernah peduli, baginya yang penting adalah kenikmatan dan kenikmatan.

Setiap kali ada perempuan yang menggodanya, Tumun langsung mengajak si perempuan untuk menikmati malam. Ketika si perempuan setuju, Tumun langsung mengeluarkan surat-surat tanahnya yang ia simpan dalam sebuah tong yang berada di bawah kolong tempat tidurnya. Dan kini dalam tong itu tak banyak lagi surat-surat tanah miliknya. Ya, semua surat tanah yang ia miliki telah berpindah pada perempuan-perempuan yang memberikan Tumun kenikmatan.

Perbuatannya itu kini menuai buah yang begitu menyakitkan. Tumun menderita Raja Singa. Mengetahui dirinya menderita penyakit yang mematikan, Tumun pun berobat ke segenap pengobat yang ahli-ahli. Sudah banyak tempat berobat ia singgahi dan sudah banyak pengobat yang mengobati, namun penyakit yang dideritanya itu tak jua kunjung  pergi dari tubuhnya yang kian hari kian ceking.

Tubuhnya yang kian hari kian ceking itu melahirkan segenap keheranan pada sang istri. Tak kuasa memendam rasa herannya itu, istrinya pun melahirkannya.

“Abang sebenarnya sakit apa?”

“Oh, Abang tidak tahu juga Mala. Sepertinya Abangmu ini diguna-gunai orang.”
Jawaban sang suami membuat Mala kian mengerutkan dahinya. “Lantas kenapa setiap  Mala mengajak Abang untuk  “mikmati malam” Abang selalu menolaknya?”

“Aku tidak suka “menikmati malam” bersamamu jika keadaan badanku seperti ini. sudahlah jangan banyak bertanya lagi, Mala.”

Begitulah jawaban yang selalu diberikan Tumun ketika istrinya menanyakan keadaan tubuhnya. Tumun kembali pada tong tempat ia menyimpan surat-surat berharganya. Betapa terkejut ia ketika melihat tong kesayangannya itu kini hanya berisi satu surat tanah lagi. Ia terduduk lesu di atas ranjang. Mungkin mulai menyesali perbuatannya. Dan surat tanah yang terakhir itu mau tidak mau ia harus mengambilnya. Sebab esok hari akan datang seorang tabib terkenal yang konon kata orang-orang mampu menyembuhkan segenap penyakit yang ada.

Hari yang dinanti pun tiba. Tabib yang terkenal kini telah berada di depan mata. Setelah menjelaskan penyakit yang diderita pada sang tabib, sang tabib pun berkata akan menyanggupi memulihkan penyakit yang diderita Tumun. Tapi, bayarannya sangat mahal. Tumun langsung menyodorkan surat tanahnya itu sebagai bayarannya. Akhirnya, proses obat mengobati pun selesai dilakukan. Sebagai obat sampingan, Tumun diberi ramuan-ramuan hasil racikan sang tabib. Sang tabib pun pergi beserta surat tanah yang terakhir milik Tumun.

Seperti perintah sang tabib, Tumun dengan rajinnya meminum obat yang diberikan oleh sang tabib. Namun, tanda-tanda akan kepulihannya tak kunjung tampak. Beberapa hari kemudian, tersiarlah kabar bahwa tabib yang pernah mengunjungi kampung mereka adalah seorang tabib palsu. Dan kabar itu juga sampa ke telinga Tumun.

Dengan penuh amarah, Tumun membakar segenap ramuan yang pernah diberikan oleh sang tabib padanya. Hari demi hari badan Tumun kian awoh* dan tanda-tanda ia akan disapa sang Izrail pun mulai tampak satu persatu. Mengetahui dirinya akan segera menjumpai sang Khalik, Tumun pun menuliskan wasiatnya pada secarik kertas. Setelah selesai menuliskan wasiat terakhirnya itu, Tumun memasukkan kertas yang berisi wasiat terakhirnya itu dalam tong tempat ia menyimpan surat-surat tanahnya dulu.

Hanya tinggal menghitung hari. Dan kematian Tumun pun kian terbaui. Akhirnya, Tumun menghela nafas terakhirnya tepat di saat malam menggelar jubah kesempurnaannya, tengah malam. Sebelum nafas dihela, tumun sempat berkata pada istrinya bahwa ia ada meninggalkan wasiatnya yang ia tulis pada secarik kertas. Dan wasiat itu ia taruh dalam Tong Wasiat yang berada di bawah kolong ranjang tidur mereka. Tumun selesai dikebumikan. Kini tiba waktunya bagi sang istri dan anak-anaknya membaca wasiat yang pernah ditulis oleh almarhum.

Anak-anakku tercinta. Kini Ayah telah tiada dan segenap harta yang ada Ayah serahkan pada kalian yang tinggal di dunia. Namun, harta seperti tanah-tanah yang pernah Ayah miliki kini telah tiada lagi. Mereka telah pergi bersama perempuan-perempuan yang pernah Ayah tiduri saat Ayah masih hidup dulu. Dan sekarang kalian yang Ayah tinggali janganlah berkecil hati, sebab harta yang berharga yang Ayah tinggali adalah kalian berempat wahai anak-anakku. Janganlah kalian ribut-ribu., Berbaiklah dengan sesama. Dan pesan terakhir Ayah buat kalian, jagalah Emakmu dengan baik. Salam cinta Ayah kalian, Teuku Mun.

 Rahman langsung merobek kertas wasiat yang ditulis oleh ayahnya itu dengan penuh amarah.

“Ayah kurang ajar! Semoga Kau di alam sana mendapat siksa yan berlipat ganda!” teriak Rahman penuh amarah. ***

Azmi Labohaji

awoh*: keadaan tubuh yang semakin hari kian kurus, ceking, tubuh yang tak kunjung sembuh 

-dimuat pada harian Serambi Indonesia

Nyanyian Pasien Dukun

Andai aku jadi orang berada/ pasti semua luka hilang segera/ tapi aku orang papa, menanggung sakit di lantai tua/ tak ada yang melirik ke lukaku/ sebab aku orang papa/ tak ada yang tertawa ke arahku/ sebab senyum terlalu mahal sebuah harga/ aku si sakit yang terus terhimpit//

Penyair muda sekaligus kumal itu langsung melipat dan menyembunyikan penggalan puisi yang baru selesai di tulisnya. Sudah dua minggu ia terbaring di jambo milik seorang dukon. Awalnya penyair muda itu telah diboyong ke rumah berobat, akan tetapi ia ditolak mentah-mentah. Janggutnya yang kotor dan juga telah menyentuh dadanya serta kumisnya yang sudah layak untuk bergantung setan, teIah lama tak dipangkas. Ia orang Aceh asli. Dan di-KTP yang dibuat beberapa tahun yang lalu, nama tempat kelahirannya sangat kental keacehannya; Kutabuloh. Namun keacehannya itu tak diakui pihak rumah berobat. Dan kini ia terpaksa berobat ke dukon yang bermuasal dari Aceh selatan, Nek Jen.

Beragam macam obat telah ditelan sang penyair atas perintah sang dukon. Tapi, penyakit itu masih menari-nari di tubuh kurusnya . Ia engan enyah dari tubuh sang penyair.  Dan obat yang harus dimakan oleh sang penyair tak ada unsur manis sedikit pun. Semuanya pahit. Bahkan pernah sekali sang penyair menolak untuk minum obat yang diberikan Nek Jen, karena pahit sekali. Tapi, untung sang dukon panjang akalnya. Ketika sang penyair silap selangkah, ia langsung menusuk pantat sang penyair dengan peuniti. Penyair meranggung hebat dan mulutnya terbuka lebar, ketika itulah Nek Jen memasukkan “pil” ramuannya ke dalam mulut sang penyair dan menekan mulut sang penyair dengan tangannya hingga pil tersebut benar-benar telah tertelan.

“Nek,” ucap sang penyair, “kalau begini cara minum obatnya, lebih baik saya mati saja”.

“Itu resiko berobat ke dukun, Nak. Ya, kalo yang gratis, murah,  dan alami tanpa efek samping, di sinilah tempatnya. Dan Nenek pikir cara seperti ini lebih bagus dari pada kamu disuntik. Belum lagi ongkosnya sebesar 20 atau 100 ribu per sekali suntik. Tapi, ini sekali telan langsung graaatiis!”

Sang penyair diam mengaku kalah. Rasa pahit telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Ingin sekali ia muntah, tapi sang dukon melarangnya. “Jika kamu memuntahkannya, maka silakan angkat kaki dari jamboku ini. Sekali kamu muntahkan itu obat, itu sama saja dengan kamu menolak uang pemberianku sebesar lima ratus ribu. Kamu faham?”

“Tidak, Nek.”

“Bodoh! Lima ratus ribu sama dengan harga sebutir pil yang kamu beli di apotek. Faham!!??”

Sang penyair langsung mengangguk seraya tercengang mendengar penjelasan sang dukon. “Sebutir ramuan yang hampir menyerupai pil itu seharga lima ratus ribu??”

“Ya, begitulah cara menghargai. Dan asal kamu tahu, sebenarnya jika orang-orang mau berobat dengan obat yang alami, maka orang-orang tak perlu bersusah payah mengantri, mengurus surat entah berantah , mengeluarkan uang hingga puluhan juta atau mengandalkan orang-orang terdekat supaya bisa berobat di rumah sakit. Kenyataan sekarang selalu mengabari kita secara tidak langsung bahwa hukum rimba telah mulai dijalani lagi oleh orang-orang sekarang. Siapa yang banyak uang penyakitnya akan segera melayang, siapa yang tak punya uang berdoa sajalah siang dan malam.”

Mata sang penyair langsung terkantuk-kantuk setelah menelan pil ala dukonnya itu. Setelah beberapa menit berlalu, sang penyair tertidur. Tiba-tiba muntah pun keluar berhamburan dari mulutnya tanpa disengaja. Sang penyair takut bukan kepalang. Nek Jen yang menyaksikannya, pura-pura marah kepada si penyair. Si penyair langsung bereaksi atas amarah yang baru ia terima itu. Segera ia punggut kembali muntah yang telah berhamburan di lantai jambo dan dimakannya lagi. Sebuah perjuangan bagi orang tak beruang. Sang penyair terkulai lemas dan langsung ia rebahkan diri ke pangkuan sang dukon.
Sang dukon merebahkan tubuh si penyair ke bantal. Ia pergi mengambil air dan membasuh mulut si penyair yang telah dilumuri oleh muntah. Kembali sang dukon memangkunya.

“Kamu seorang penyair kan?” tanya dukon. “Ya” jawab si penyair lemas. “Mungkin, sebelum kamu meninggalkan bumi ini dan sebagai bayaran atas obat-obat yang telah  Nenek berikan kepadamu, bagaimana kalau kamu bacakan untuk Nenek sebuah puisi?”

“Baiklah akan kubacakan,  Nek, agar ketika aku telah pergi tak ada lagi hutang piutang di antara kita. Tapi, maukah Nenek mengambilkan sajakku di bawah bantal tidurku itu?”

Sang dukon langsung mengambil dan menyerahkan kepada si penyair. Meski kondisi tubuhnya teramat lemas, tapi suara kepenyairannya tetap ia unjuk. Si penyair langsung membacanya.

Andai aku jadi orang berada/
pasti semua luka hilang segera/
tapi aku orang papa, menanggung sakit di lantai tua/
tak ada yang melirik ke lukaku/
sebab aku orang papa/
tak ada yang tertawa ke arahku/
sebab senyum terlalu mahal sebuah harga/
aku si sakit yang terus terhimpit//

Terima kasih anakku atas pembacaan sajakmu itu. Sebenarnya Nenek ingin sekali kamu cepat sembuh. Dan pil yang Nenek berikan kepadamu tadi, memang menyebabkan kamu muntah. Dan dengan itu, maka segala racun yang telah bersemayam dalam tubuh dan membuat kamu sakit, telah dikeluarkan bersama muntah tadi. Percayalah pada Nenek, dua atau tiga hari lagi kamu akan sembuh. Dan maafkan Nenek telah menakut-nakutimu tadi. Sekarang tidurlah dengan tenang, Nenek mau mencari obat buatmu.

Si penyair pun terlelap dalam kebahagiaan. Ternyata masih ada yang mau mengobatinya dengan setulus hati tanpa mengharap, tanpa harus menunjukkan identitas diri terlebih dahulu, dan tanpa harus mengurus surat entah berantah. “Terima kasih, Nek Jen, semoga engkau diletakkan di surga-Nya kelak,” ucap si penyair sembari ia memejamkan mata.
Azmi Labohaji 
Kebon Raja, Januari 2011

-dimuat pada Harian Serambi Indonesia  

Malaikat Tidur di Malam Hari

   
Gema batuk itu memenuhi ruangan yang dindingnya terbuat dari bambu. Hampir genap satu bulan perempuan tua itu menanggung sakit. Setiap ia batuk selalu ada cairan merah yang keluar dari mulutnya dan kini tubuhnya hanya tinggal tulang. Makanan yang selalu disuapkan oleh bocah kecil yang baru berumur tujuh tahun itu selalu tak habis di makan. Bocah itu adalah anaknya yang baru saja masuk Sekolah Dasar. Penuh iba ia  memandang wajah perempuan yang telah melahirkannya itu. Namun, saat perempuan itu melihat wajah anaknya kian melayu, dengan segera ia mengembangkan senyum di raut wajahnya yang mulai keriput itu. Dalam hatinya hanya ada satu kata, “Tenang sayang, Ibu akan baik-baik saja.”

    Batuk perempuan itu kian menjadi-jadi. Saat malam telah kian larut, batuk itu selalu singgah di tubuh perempuan yang kian kuyu itu. Sudah dua puluh satu malam buah hatinya yang kecil itu tak pernah memejamkan matanya. Rasa kantuk seolah-olah hilang dari kelopak matanya yang mungil itu. Ia selalu menemani ibunya mulai dari senja hingga terbit fajar. Padahal keesokan harinya ia harus ke sekolah. Setiap malam sang ibu selalu menina-bobokkan dia, tapi mata yang lucu itu tak pernah terpejam.

    Ia sungguh tak kuasa melihat ibunya melawan batuk seorang diri. Saat  ibu mulai batuk, ia segera berlari ke dapur mengambilkan segelas air putih dan diberikan kepada sang ibu. Oh, betapa ia mencintai ibunya.

    Ini adalah malam kedua puluh dua dimana ia belum juga memejamkan matanya. Namun, malam ini tetangga sebelah datang ke rumahnya dengan membawa obat-obatan untuk sang ibu. Saat itulah ibu mulai bercerita  perihal tentang si buah hatinya yang tak pernah lagi tidur malam karena selalu menemaninya saat ia sedang batuk.

    “Nak, kemari dekat Pakcik,” ucap lelaki pembawa obat itu dengan nada yang begitu lembut. Bocah kecil yang baru masuk SD itu pun mendekat. “Sekarang kamu sudah bisa tidur ya, ini kan sudah pukul sebelas. Apa besok kamu tidak sekolah?” tanya lelaki tersebut. “Saya sekolah besok. Besok kami akan belajar membaca” ucap bocah kecil dengan polos. “Ya, kalau begitu kamu sudah boleh tidur ya” bujuk lelaki itu lagi. “Saya ngak mau tidur Pakcik, saya takut Malaikat mengambil ibu saya nanti saat saya sedang tidur” jawab bocah itu begitu lugu.

    Lelaki itu pun tersentak saat mendengar jawaban dari bocah lugu itu. “Nak, dengarkan Pakcik, kamu jangan takut  ya, ibumu akan baik-baik saja. Apakah di tempat kamu mengaji tak diajarkan oleh teungku bahwa kalau malam hari malaikat itu tidur?” ucap lelaki pembawa obat. Bocah lugu itu terdiam tanpa kata mendengarkan penjelasan dari lelaki tersebut. “Tidak pernah diajarkan Pakcik” jawabnya. “O, mungkin malam esok akan di ajarkan. Malam esok kamu pergi mengajikan? Kalau ia, coba kamu tanyakan sama teungku, apa benar malaikat tidur di malam hari?” tambah lelaki itu. “Baik Pakcik, akan saya tanyakan.”

    Akhirnya bocah kecil itu pergi tidur. Betapa senangnya ia mendengarkan penjelasan dari Pakcik tetangganya itu, bahwa malaikat takkan mengambil ibunya saat malam hari karena di waktu malam malaikat tidur.

    Bocah itu benar-benar terlelap, terbuai dalam mimpi indah. Sang ibu yang melihatnya pun tersenyum lebar, karena baru malam ini bocah kecil kesayangannya itu bisa terlelap. Dan malam ini, batuk itu tak menghampiri sang ibu.

       Pagi kembali tiba dengan rona keindahan sang surya. Bocah kecil itu terjaga. Ia sangat terkejut dan hampir menangis karena ibu yang sangat dicintainya itu tak berada di sampingnya. Kemana ibu pikirnya. Apakah malaikat telah mengambilnya saat ia tertidur semalam? Apakah Pakcik tetangga sebelah itu telah membohonginya? Apakah ibu, apakah dan apakah? Seribu tanya menyerbu benaknya.

    Bocah kecil itu akhirnya tak kuasa menahan tangisnya. Ibu telah pergi meninggalkannya. Tak ada lagi yang bisa ia cintai selain ibu. Tak ada lagi gema batuk yang memenuhi ruangan itu. Oh, ia semakin mengucurkan air mata. Ia sangat sedih di pagi yang cerah itu.

    Tiba-tiba sang ibu kembali masuk ke rumah. Ia baru saja membuang hajat di kamar kecil. “Kenapa kamu menangis sayangku?” tanya sang ibu. Tanpa menjawab pertanyaan ibunya, ia langsung memeluk erat perempuan yang telah melahirkannya itu. “Amir pikir ibu telah diambil malaikat semalam, makanya Amir menangis, Bu.” Sebuah senyum mengembang di raut wajah yang kian keriput itu. “Tidak kok sayangku, sekarang kamu langsung mandi ya, biar cepat ke sekolah. Katanya hari ini kamu akan belajar membaca. Apa kamu mau tak bisa membaca nanti? Ibu baik-baik saja kok, kamu jangan khawatir ya” bujuk ibu. Bocah lugu itupun akhirnya menuruti perkataan ibunya….
   
Azmi Labohaji
Cerpen Pertama saya yang dimuat di Media_Harian Aceh