Berbicara masalah guru memang tak pernah ada habisnya. Selalu saja ada kisah menariknya. Salah satunya kisah seorang guru yang saya dapati dari seorang teman. Teman saya menceritakan kisah seorang temannya ketika ia masih duduk di bangku SMA. Ketika jam pelajaran pertama baru di mulai, sang teman dengan tenangnya melipat kedua tangannya dan merebahkan kepalanya di atas kedua tangan yang terlipat itu. Ia tidur. Padahal, hari masih pagi sekali.
Seperti biasanya, setelah sang guru menyapa anak didiknya dan mengabsen mereka satu persatu, sang guru baru memulai pembelajaran. Tak ada yang berbeda pada pagi itu. Sang guru dengan segenap teori yang telah ia miliki mulai menjelaskan tentang topik yang akan dipelajari pada hari itu. Pada saat tiba giliran sang guru melemparkan pertanyaanya kepada siswanya dengan tujuan apakah para siswa telah mengerti tentang apa yang telah dijelaskan barulah sang guru tahu ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menarik perhatiannya. Salah seorang anak didiknya tengah tertidur pulas di saat ia tengah sengit-sengitnya menjelaskan segenap teori.
Si pendidik berjalan pelan menuju bangku siswa yang tengah tertidur pulas itu. Langkah sang guru yang berjalan menuju bangku siswa yang tengah terlelap puas itu membuat siswa lainnya melahirkan segenap pernyataan di benaknya masing-masing. Pasti dia (siswa yang tengah pulas) dimarahi. Saat sang guru tiba di bangku si siswa yang tengah terlelap itu, dengan penuh keibuan tangan sang guru mengelus-elus pundak si murid yang tengah terlelap. Semua mata siswa yang berada di kelas tersebut tertuju pada adegan yang tengah berlangsung. Harapan siswa lain bahwa si siswa itu akan dihujani amarah sang guru ternyata tidak tepat.
Elusan tangan guru yang mengajarkan mata pelajaran ilmu berhitung itu ternyata membuat si siswa yang terlelap terjaga. Dengan nada yang amat rendah, sang guru bertanya pada siswa mengapa ia tertidur saat pelajaran baru dimulai. Dengan tenang dan penuh kejujuran si siswa menjawab bahwa ia amat terkantuk. Semalam ia harus membantu ibunya membuat kue untuk dijual.
Sang guru langsung mengangguk. Paham. Ia kembali mengelus pundak anak didiknya itu seraya mengajaknya untuk tidak tidur lagi. Dengan penuh keikhlasan, si anak didik pun mengikuti apa yang dikatakan sang guru. Dan pembelajaran kembali berjalan dengan lancar.
Dari kisah singkat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika mengajak seseorang, apalagi anak didik, ke arah yang baik dengan menggunakan hati nurani, atau kelembutan, maka orang yang diajak itu pasti akan mengikutinya dengan penuh keiklasan. Artinya, tidak mesti harus selalu mengajak atau menasehati orang lain (apalagi anak didik) dengan kekerasan.
Pribadi yang selalu dinanti
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru memiliki pengertian sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, atau profesinya) mengajar. Sebagai seorang yang pekerjaannya mendidik atau mengajar, menekuni peran menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebab, sebagai seorang pendidik atau pengajar, saban hari kesabaran seorang pendidik itu selalu diuji oleh anak didiknya. Hal tersebut disebabkan oleh macam-ragam karakter yang dimiliki oleh anak didik. Maka, disaat kesabaran sedang diuji, kesabaran harus dijaga agar tidak berubah menjadi omelan yang akan menyakitkan telinga anak didiknya. Dengan demikian, bermacam cara pun harus digunakan oleh guru untuk menjaga kesabarannya itu.
Tidak bisa dipungkiri memang, ada guru yang langsung menyiram anak didiknya dengan hujan amarah, ketika kesabarannya telah mencapai titik didih. Ada pula guru yang tetap menggunakan kesabaran (hati nurani) untuk menghadapi tingkah-polah anak didiknya. Berdasarkan cara yang digunakan oleh sang pendidik dalam menghadapi tingkah-polah anak didiknya itu, maka dengan sendirinya akan lahir kesimpulan pada diri anak didik itu sendiri akan pribadi guru yang mengajarinya itu. Dari kesimpulan itulah akan lahir sesosok orang dalam diri si anak didik akan guru yang dinanti (karena kesabaran yang dimilikinya) dan guru yang dibiarkan datang dan pergi, ka tamong ka tamong, han ka tamong beu bek keudeh (engkau masuk, masuklah, tidak engkau masuk pun tidak apa-apa).
Guru tidak hanya berperan sebagai orang yang mentrasnferkan ilmu bagi manusia yang tengah dicerdaskan yakni siswa. Namun, jauh dari itu guru juga dituntut untuk mengubah/memperbaiki perilaku atau sikap manusia tersebut. Coba bayangkan saja jika dalam sebuah kelas ada siswa sebanyak empat puluh orang, berarti seorang guru harus menghadapi emput puluh buah kepala. Dalam satu kepala ada satu sikap/perilaku. Berarti ada empat puluh sikap/perilaku yang berbeda-beda yang harus diluruskan oleh seorang guru setiap harinya. Dalam sehari seorang guru kadang-kadang harus masuk ke dalam tiga kelas. Dengan demikian bisa dibayangkan bukan, berapa buah kepala beserta sikap/perilakunya yang harus dihadapi oleh seorang guru dalam sehari? Nah, apakah ini sebuah pekerjaan yang mudah?
Tentang hal ini, ada ungkapan menarik yang dipaparkan oleh Henry Adam. “A teacher effect eternity. He can never tell where his influence stops. Yang artinya ‘guru itu berdampak abadi. Ia tidak pernah tahu di mana pengaruhnya itu berhenti’. Harus diakui memang, seperti apa yang diutarakan Adam, dampak atau pengaruh yang diberikan oleh seorang guru itu menjadi sesuatu yang berharga dan abadi. Misalkan saja manusia yang tidak bisa membaca dan menulis diajarkan dengan tulus hingga bisa membaca dan menulis. Manusia yang tidak bisa berhitung diajarkan cara berhitung agar tidak ditipu oleh orang lain. Jika ruang yang gelap itu diibaratkan seorang murid, lampu (penerang) adalah gurunya. Artinya, guru, dengan segenap kemampuan yang ia miliki berusaha membuka mata anak didiknya yang selama ini “buta” menjadi bisa “melihat”. Maka dari itu, apa jadinya jika di muka bumi ini tak ada guru?
Sosok seorang guru itu selalu menyiratkan pengaruh yang luar biasa terhadap anak didiknya. Sehingga baik tidaknya murid sangat ditentukan oleh guru. Ibarat pepatah lama mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Artinya, kelakuan seorang murid atau anak didik, selalu mencontoh guru. Guru yang lengkungan senyumannya selalu ke atas akan selalu disukai dan dikenang oleh anak didik setiap saat. Begitu juga sebaliknya, guru yang lengkungan senyumnya selalu ke bawah akan selalu dibenci atau tidak disukai oleh anak didiknya saban hari.
Sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan, keberadaan guru sangat mempengaruhi hasil proses belajar mengajar di sekolah. Keberadaannya memiliki relasi yang sangat dekat dengan peserta didiknya. Relasi antara guru dan peserta didik, adalah relasi kewibawaan. Relasi kewibawaan bukan menimbulkan rasa takut pada peserta didik, akan tetapi relasi yang membutuhkan kesadaran pribadi untuk belajar. Kewibawaan tumbuh karena kemampuan guru menampakkan kebulatan pribadinya, sikap yang mantap karena kemampuan profesional yang dimilikinya, sehingga relasi kewibawaan itu menjadi katalisator peserta didik mencapai kepribadiannya sebagai manusia secara utuh atau bulat.
Selanjutnya, menjadi seorang guru yang selalu dinanti anak didik bukan berarti antara guru dan anak didik tiada tabir pembatas (antara posisi sebagi guru dan posisi sebagai anak didik). Itu ada dan harus selalu dijaga. Tujuannya agar si anak didik tidak melampaui batas (nga' bek ji ek ateuh ulee artinya, 'agar tidak naik atas kepala’) ketika ia telah begitu dekat dengan kita. Kita juga berhak membentak mereka, mengeluarkan mereka ketika jam pelajaran sedang berlangsung atau bahkan ketika ujian sedang berlangsung, memberi mereka hukuman, atau sebagainya asalkan sesuai dengan alasan atau kesalahan yang mereka lakukan.
Dalam hal ini, kadang kala kita patut juga menyadarkan diri kita sendiri dalam bentuk memosisikan diri menjadi seorang siswa. Pasti kita akan merasa sangat kecewa jika ada seorang guru yang tak mau mendengar alasan-alasan anak didiknya sebagai bentuk pembelaan diri karena telah melakukan satu kesalahan. Kita misalkan saja peristiwa di atas tadi, saya yakin, tak banyak guru yang akan mendengar atau mau menerima alasan siswanya itu bahwa ia harus bergadang untuk membantu ibunya maka ia tertidur. Saya sangat yakin pilihan yang akan dipilih sang guru adalah mengeluarkan si siswa dari kelas beserta setumpuk omelan. Maka dari itu, mari menghadapi hal-hal yang seperti itu dengan menggunakan sudut hati nurani kita.
Guru sebagai salah satu komponen di sekolah menempati profesi yang memainkan peranan penting dalam proses belajar mengajar. Kunci keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan di sekolah ada di tangan guru. Ia mempunyai peranan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan siswanya, pengetahuan, ketrampilan, kecerdasan dan sikap serta pandangan hidup siswa. Oleh karenanya, masalah sosok guru yang dibutuhkan adalah guru dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan siswa sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan pada setiap jenjang sekolah.
Ketika seorang guru sudah mampu membaca setiap karakter anak didiknya dan mampu menggunakan sudut hati nuraninya dalam menghadapi berbagai persoalan anak didiknya, niscaya orang yang dididik itu akan selalu mengaguminya dan segenap ilmu yang ia sampaikan itu pun akan tersampaikan dengan mudah dan melekat pada diri anak didik layaknya lem. Untuk itu, kepada seluruh guru di seluruh Indonesia, Aceh khususnya, marilah menjadi guru yang selalu dinanti oleh anak didik. Guru yang selalu menggunakan sudut hati nuraninya dalam menghadapi ragam persoalan anak didiknya. Karena disaat seorang anak didik yang tengah atau sedang menanti guru (yang ia kagumi) untuk mengajarinya, itu pasti karena ada sesuatu yang ia inginkan darinya kita
Azmi Labohaji, guru dan juga penikmat sastra