Bila mendengar suara priiittt yang tergambar di pikiran kita tentunya itu adalah suara yang keluar dari peluit yang ditiup oleh tukang parkir dan hakim di lapangan hijau kala pertandingan sepak bola berlangsung. Namun, kali ini Hamba Ganteng tak membicarakan suara priiittt yang keluar dari peluit tukang parkir, yang jika sekali priiittt bayar Rp1.000/2.000, melainkan suara priiitt yang lahir dari peluit hakim di lapangan hijau alias wasit. Wasit yang yang dibicarakan di sini pun bukan orang yang memakai seragam pendek warna hijau stabilo, berkaus kaki panjang, memakai jam tangan digital, headseat yang tergantung di telinga, sepatu bergambir yang bermerek (Adidas/Nike), dan berlari mengejar bola atau mengejar pemain ke setiap sudut lapangan seperti orang gila. Wasit yang dibicarakan di sini adalah lelaki yang tanpa headseat di telinga, tidak berlari-lari seperti orang gila, tidak memakai jam tangan digital, tidak memakai seragam pendek warna hijau stabilo, dan tidak memakai sepatu bergambir. Wasit yang dibicarakan di sini adalah orang baik, hanya meniup peluit, menanyakan nomor punggung berapa, lalu mencatat kesalahannya apa untuk diberikan kartu, apakah kuning, merah, atau pink.
Adalah puluhan pemain yang terseleksi ketat yang berasal dari segenap daerah terpencil di Indonesia untuk bertanding di stadion Sandiago Russalamo el-Kipo (nama stadion sengaja disamarkan mengingat satu dan lain hal) pada sebuah hari, Kamis 27 Februari 2014. Pemain hebat yang menamai diri mereka GPP FC (kepanjangan dari Ga Pa Pa Football CLub) dengan jumlahnya tak terhingga kala itu (ada yang Junior (sd), madya (smp), dan juga senior (sma) di sana) datang ke stadion tempat perhelatan pertandingan akbar itu dengan semangat ‘47. Mereka pandai semua. Mereka tahu posisinya apa dan di mana berdirinya. Jika diprediksikan sebelum bigmacth berlangsung, ada yang berani menebak GPP FC akan membantai FC Setting dengan skor 6 - 0 tanpa balas, FC Setting 2 – 9 GPP FC, 10 - 0 menang GPP FC, dan tebakan-tebakan skor lainnya yang Hamba Ganteng tak mungkin sebutkan lebih rinci lagi. Namun, cerita mengejutkan pun terjadi (ini akan dicerita nanti, sabar dikit ya).
Sejumlah pemain yang kala itu tidak didampingi oleh pelatih utama Fi Fio’o (mengingat pelatih utama melanjutkan sekolah kepelatihan di luar kota), melainkan didampingi oleh asisten utama, DrogDar Bee. Ada beberapa nama yang diturunkan oleh asisten pelatih kala itu. Asisten pelatih menurunkan nama-nama tersebut Hamba Ganteng yakin sekali karena mereka adalah pemain-pemain hayeu, yang menurut kepala DrogDar Bee, mereka pasti mampu menenggelamkan FC Setting dengan skor yang telah Hamba Ganteng sebutkan di atas. Meskipun sebagiannya harus menjadi cadangan (berada di luar ruangan kala itu), namun pemain GPP FC itu tetap sabar menunggu hasil dari asisten pelatih, DrogDar Bee.
Pertandingan pun akan berlangsung. Gemuruh ratusan ribu suara suporter membahana, mengisi setiap sudut ruang stadion Sandiago Russalamo el-Kipo. Suara seurune kale pengganti vuvuzula membuat suasana stadion Sandiago Russalamo el-Kipo riuh sekali. Suara genderang rapa’i dengan yel-yel “Pop Pop Moto Ijo” yang mereka kumandangkan pun tak kalah ributnya dengan suara seurune kale pengganti vuvuzula. Mereka semua sungguh bersemangat. Mereka merelakan diri untuk menonton perhelatan yang memukau itu sampai habis. Mengantisipasi perut yang lapar saat menonton laga yang panas itu, para suporter pun memesan kupi mix, kupi itam, kupi pancong, teh hangat, lontong, mie gureng, pakpong, pangsit, dan pengganan lainnya. Di stadion itu pun para suporter bermacam ragam. Mulai dari suporter fanatik, suporter ecek-ecek, hingga suporter abal-abal.
Seremoni berlangsung hangat. Pemilihan lapangan berlangsung dengan penuh semangat. Menit-menit pertama, kedua, ketiga, hingga menit-menit kedua puluh, bola dikuasai oleh FC Setting. Ball position kala itu dikuasai penuh oleh FC Setting. GPP FC tak sekali pun diberi celah untuk mendapatkan bola apalagi untuk menguasainya. Karena tak mendapat bola, permainan pun semakin memanas. Para pemain GPP FC semakin tak sabar menunggu, mengejar, hingga waktu untuk mendapatkan bola pun tiba.
Waktu itu pun akhirnya tiba. Kini bola sepenuhnya dikuasai oleh GPP FC. Mereka tak melepaskan angin lagi bagi FC Setting untuk menguasai bola. Jangankan dikuasai, untuk disentuh pun mereka tak memberikan peluangnya.Adalah seorang pemain GPP FC (yang Hamba Ganteng lupa namanya) mulai menggiring bola, mengecoh para pemain FC Setting satu per satu hingga bola tiba di mulut gawang. Saat hendak menendang bola ke gawang FC Setting, tiba-tiba wasit meniup peluitnya. Pemain GPP FC diganjar kartu kuning. Selidik punya selidik ternyata pemain GPP FC rasis terhadap seorang pemain FC Setting dengan mengata-ngatai pemain FC Setting “man, santai sekali kok!”. Entah salah mendengar/menanggapi (karena suara di stadion dipenuhi oleh suara seurune kale dan rapa’i) pemain FC Setting mengadu kepada wasit. Lalu terjadilah kejadian tersebut. Akhirnya, pemain GPP FC bermain lebih hati-hati lagi dan kemudian ditarik oleh DrogDar Bee digantikan dengan pemain lainnya.
Pada menit ke-69 selepas kejadian rasis itu, bola berhasil disarangkan ke gawang GPP FC oleh seorang pemain FC Setting. Luka semakin lengkap. Pilu semakin mendayu. Lesu terus menyergap. Stadion tak lagi bergemuruh. Tak ada suara lagi seurune kale, rapa’i, dan yel-yel Pop Pop Moto Ijo. Gol yang diciptakan oleh FC Setting membuat mulut pada supporter GPP FC macam terkunci. 1-0 pertandingan dimenangi oleh FC Setting untuk menit ke-69. Laga semakin panas. Pemain saling berebut bole. Duel udara, duel darat, pun semakin menghiasi jalannya pertandingan.
Pada menit ke-80, tepatnya pada saat bole yang tengah digiring oleh salah seorang pemain GPP FC, Lam baa Sapdi, menuju mulut gawang rasis kembali terjadi. Seharusnya bole yang digiring oleh Lam baa Sapdi akan berbuah gol. Namun, saat hendak menendang, ucap Lam baa Sapdi, ia mendengar kata-kata rasis dari pemain FC Setting. Tendangan pun ia batalkan mengingat ia tak mau menerima rasis itu. Lam baa Sapdi pun mengadu kepada wasit.
“Sit, pemain FC Setting rasis pada saya.”“Dia bilang apa, baa?” tanya wasit.“Lepsi. (Sedikit Hamba Ganteng jelaskan, kata Lepsi kepanjangan dari Leupah Seksi. Kata-kata ini sangat tidak boleh diucapkan saat pertandingan berlangsung). Dia mengatai saya Lepsi, Sit! Pokoknya saya tidak terima rasis itu. Berikan dia kartu, Sit!” bujuk baa.“Ah, mungkin kamu salah dengar itu. Ayo, lanjutkan lagi pertandingannya.”“Kiban le wasit njoe. Brat siblah. Hana hayeu ta maen bole lagee njoe,” dongkol baa.
Kata-kata itu ternyata cukup jelas didengar oleh wasit meskipun suara seurune kale, rapai’i¸dan yel-yel Pop Pop Moto Ijo sudah kembali meriuhkan stadion. Baru saja wasit hendak berlari melanjutkan pertandingan, tiba-tiba ia kembali lagi pad baa. Resah pun menyelimuti pemain yang berasal dari Kalimantan Barat itu.
“Kamu telah menghina wasit. Selesai pertandingan ini nanti kamu buat surat pernyataan bertanda tangan di atas materai 6000 yang menyatakan bahwa kamu berjanji tidak akan menghina wasit lagi,” ucap wasit sambil mengeluarkan kartu merah dan menghadapkannya ke wajah Lam baa Sapdi.Lam baa Sapdi keluar lapangan dengan wajah yang penuh amarah, palak, gram, sambil menyepak-nyepak rumput lapangan. Di luar lapangan, tepatnya di bench, DrogDar Bee memukul jidat sambil berkata, “Peu ka jipeuget lom aneuk buah ke??? Saket ulee teuh meuno!”
Kekurangan pemain sangat dimanfaatkan oleh para pemain FC Setting. Gol demi gol pun mereka lesakkan ke dalam gawang GPP FC. Di papan skor electronic terpampang angka yang sangat memalukan untuk dilihat. 8-0. DrogDar Bee semakin terpuruk duduk di bench. Ia tak lagi menyaksikan pertandingan. Wajahnya telah ia tutupi dengan kupiah jak beut. Pertandingan yang hasilnya sungguh memalukan.
Tiba-tiba suara seurune kale, rapa’i, dan yel-yel Pop Pop Moto Ijo kembali meriuhkan stadion Sandiago Russalamo el-Kipo. Di tengah lapangan sana ternyata seorang pemain GPP FC tengah menggiring bola seorang diri menuju gawang FC Setting tanpa ada lawan yang mengejar. DrogDar Bee pun terjaga dari duduknya. Kupiah jak beut ia campak begitu saja. Ia terus menyoraki, menyemangati pemainnya yang bernomor punggung 13. Dengan skill di atas rata-rata, pemain On Ly Fa ini pun berhasil mengecoh kiper FC Setting, Minggan Saer. Bola pun gol. On Ly Fa melakukan selebrasi yang juga diikuti oleh pemain yang lainnya. Namun, saat itu juga raut wajah On Ly Fa berubah menjadi keheranan. “Kenapa para suporter tak berteriak dan membunyi seurune kale dan rapa’i?” tanya On Ly Fa dalam hati. Seketika itu juga pertanyaan On Ly Fa terjawab.
Di tengah lapangan sana, sang wasit berdiri tegak dengan tangan kanan terangkat tinggi-tinggi dan di ujungnnya ada selembar kartu berwarna kuning. On Ly Fa dari sudut korner berlari sangat kencang menuju ke tempat wasit berdiri. Pemain-pemain yang lainnya dan juga para pemain cadangan menampakkan wajah kesal sambil komat-kamit. Di bench sang entrenador, DrogDar Bee, kembali menutup wajahnya dengan kupiah jak beut. Ia palak sijuta.
“Gol kamu saya anulir,” ucap wasit pada On Ly Fa.“Sa …” belum habis bertanya, wasit kembali bertanya pada On Ly Fa.“Nomor punggung berapa?”“sa … lah say a ap …?”“Soe nan?” tanya wasit lagi sambil menorehkan tintanya pada secarik kertas.
Bersambungggg …..
No comments:
Post a Comment