Monday, 10 March 2014

Buraq LA dan Perjalanan ke Taman Surga


Bila petang menjelang kau datang dengan senyum indah merekah mendamaikan hati. Seindah matahari yang pergi tidur di sebalik belahan bumi yang lain. Sedamai burung laut yang pergi pulang ke sarangnya. Dengan segenap rasa aku menyambutmu layaknya seorang tamu yang datang dari negeri nun jauh di sana. Kau lelah dengan sejuta rasa. Aku tentunya, untuk menyambut kedatanganmu, telah mempersiapkan hati, jiwa, dan rumah-istana untuk kau berehat ria kelak.

(Mimpi)

Dari atas unta berwarna merah muda itu kau turun lalu mengucap salam lewat bibir yang merekah indah menarik ingin dengan suara nan merdu serupa suara Nabi Daud. Aku membalas salam lewat bibir yang merekah hitam dengan suara serak sungguh menyebalkan tetapi merdu kala melantun puisi.

“Selamat datang Tuan Putri dari dataran dingin di kediaman Hamba Ganteng yang meresahkan ini. Lama sudah Hamba Ganteng tak melihat rupa rupawan Tuan Putri, keelokan pipi, mata, jua hati yang selalu sedia menolong sahabat negeri. Sudilah Tuan Putri singgah di gubuk Hamba Ganteng ini. Ini kali  Hamba Ganteng ingin sungguh menjamu Tuan Putri yang telah jauh melangkah datang menjemput Hamba Ganteng.”

Lalu aku melangkah menuju gubuk diikuti Tuan Putri. Setiba di sana aku langsung menggelar tikar pandan yang sudah kupersiapkan. Aku menggelarnya di atas gubuk yang kubuat setahun lalu yang semua unsurnya adalah bambu. Seusai menggelar tikar, aku mengambil pengganan di tempat persembunyian untuk kami santap berdua nanti. Aku mondar-mandir bagai setrika, dari gubuk ke tempat persembunyian, dari tempat persembunyian ke gubuk. Tuan Puteri tersenyum hangat. Hanya tersenyum, tak mau membantu. (Entah kenapa ia tak mau membantu, mungkin karena ia tahu kalau saat itu ia menjadi seorang Tuan Putri, jadi ya sok-sok dikitlah).

Pengganan usai dihidang. Selepas mengucap Basmalah kami lalu menyantap hidangan tersebut. Angin sepoi-sepoi membelai rambut Tuan Putri nan harum sileumpah. Matahari saat itu seolah-olah tahu ke arah mana cahayanya itu harus disenter. Nuri yang masih terbang di awan tak pulang-pulang seperti tahu bahwa ada seorang jelita di gubuk Hamba Ganteng lalu ia pun hinggap di ranting pohon jambu yang dekat dengan gubuk. Di situ dengan tingkahnya yang menarik, ia bersiul seraya menari-nari, ia  hendak menjadi pengganti suara-suara sumbang dari musik MP3 yang dilantun oleh boyband-boyband yang laki-lakinya semua pakai bedak. Sungguh indah! Penuh kebahagiaan di sana. Sambil suap-menyuap. Sambil colek-mencolek dan sambil sambil lainnya. Tentunya pertemuan pada hari itu antara aku, Hamba Ganteng dengan Tuan Putri, dipayungi awan kebahagiaan yang akan dikenang seumur masa.

Perut kami kini terisi hidangan. Lalu, setelah aku memindahkan hidangan ke tempat persembunyian,  Tuan Putri mengajakku pergi ke suatu tempat nan sungguh indah.

“Aku akan mengajakmu pergi ke taman surga sekarang. Untuk bisa tiba di sana, syaratnya adalah kita harus mengendarai buraq hitammu itu. Hanya kendaraan itu yang mampu membawa kita ke sana! Apa kau bersedia, Hamba Ganteng?”

Aku langsung menjawab tanpa beban. “Sudah lama buraq itu tak kubawa. Dan Hamba Ganteng sengaja tak membawanya karena penumpang yang sangat pantas berada di belakangnya hanyalah Tuan Puteri. Atas nama ajakan Tuan Putri ke mana pun Hamba Ganteng bersedia pergi.”     

Tak lama kemudian, aku mengeluarkan buraq hitamku itu dari tempat persembunyiannya. Di bagian belakang terukir khat LA dengan ukirang yang indah dan menggoda mata. Aku menghidupkannya sambil memandang ke  arah Tuan Putri. Mata kami bertemu untuk waktu yang singkat. Sejurus kemudian, mata Tuan Putri memandang ke  arah pantat buraq.

“Mari Tuan Putri, apalagi yang dinanti? Hamba Ganteng sudah siap sedia menuju Taman Surga tempat Tuan Putri inginkan.”

Tuan Putri masih berdiam diri di tempat semula. Matanya masih seperti sedia kala, menatap pantat buraq. Lantas, saat itu juga pandangan Tuan Putri terjawab. Yang ia pandang ternyata khat LA yang ada di pantat buraq.

“Apa itu LA?” tanya Tuan Putri lembut.

“O, itu kepanjangan dari Leumo Agam, Tuan Putri.”

Rasa penasaran telah terjawab, Tuan Putri langsung melangkah ke atas buraq. Dengan penuh kepercayaan diri Hamba Ganteng mulai mengambil ancang-ancang membawa buraq menuju Taman Surga.

“Peganglah Hamba Ganteng yang erat, Tuan Putri, sebab buraq ini tak ada seatbelt-nya.”

Tuan Putri melaksanakan perintah Hamba Ganteng. Tak lama kemudian, buraq yang dikemudi oleh Hamba Ganteng melaju secepat kilat di angkasa.

(Di perjalanan Menuju Taman Surga)

Buraq yang dikendarai Hamba Ganteng kini berada di luar angkasa. Buraq itu melesat sungguh cepat, mengelak meteor-meteor yang berterbangan di angkasa, bintang  berekor, bintang berkepala, melewati bulan, matahari, planet-planet, dan bintang yang sedang berkelip-kelip. Terpukau akan keindahan Tuhan yang mahadahsyat itu, Tuan Putri lalu berseru pada Hamba Ganteng.

“Hai Hamba Ganteng, bisakah kau kurangi sedikit kecepatan buraq ini? Aku ingin sekali menikmati pemandangan ini.”

“Maaf seribu maaf Tuan Putri. Kecepatan buraq ini memang sudah seperti ini tidak bisa diubah-ubah lagi.”

Tuan Putri terdiam mendengar penjelasan Hamba Ganteng dan memakluminya. Lalu, selang beberapa menit kemudian, dengan segenap keberanian, Hamba Ganteng pun bertanya pada Tuan Putri.

“Maaf seribu maaf Tuan Putri, kalau saya boleh tahu apa yang akan Tuan Putri lakukan kelak jika telah tiba di Taman Surga?    

“Terima Kasih Hamba Ganteng telah bersedia menanyakan hal itu pada saya. Saya merindukan kekasih saya. Dalam mimpi semalam, ia berseru kepadaku, bahwa di salah satu sudut Taman Surga ia meletakkan sebuah puisi yang sangat indah. Sungguh sangat indah. Karena sungguh dan sangat indah, aku tak berani membacanya. Aku sungguh takut. Maka dari itu, aku mencari seseorang yang suaranya merdu untuk membacakan puisi tersebut, yaitu Kau, Hamba Ganteng.”

Aku terdiam mendengar penjelasan Tuan Putri Jelita itu.

“Katanya, dalam mimpiku semalam, puisi itu bercerita tentang keindaha-keindahan yang sungguh indah. Dan pula puisi itu harus dibaca oleh orang yang bersuara merdu.”

“Maukah kau membacakan puisi kekasihku, Azmi Labohaji, itu untukku, wahai Hamba Ganteng?”

“Sungguh-sungguh sangat mau Duhai Tuan Putri jelita.”

Mereka pun tiba di Taman Surga.

Tuan Putri pun pergi menuju sudut Taman Surga tempat disimpannya sebuah puisi indah milik kekasihnya itu. Tuan Putri mendapatkannya lalu membuka kertas yang berisi untaian kata-kata indah itu. Seketika itu, semerbak kasturi pun keluar dari kertas yang dipegang Tuan Putri Jelita itu menyusuri lubang hidung mereka. Sungguh wangi yang tak mampu diungkapkan dengan kata kata.

Dan Hamba Ganteng dengan penuh keberanian mulai membaca baris-baris puisi tersebut.

“………..”

                                             

   (sory, puisinya pada cerita selanjutnya ya. Hehehe)


[Azmi Labohaji]

1 comment:

  1. Hamba Ganten tulisanmu mengingatkan ku 10 tahun yang lalu..... terasa ada seseorang permaisuri yang sedang hadir dan memeluk jiwaku, tapi dia sudah "tiada".

    ReplyDelete