Thursday, 25 December 2014

Perempuan Pengantar Pizza



Seperti hujan malam kemarin, malam ini rintiknya juga masih sama, tak terlalu lebat. Hawa dinginnya merayap perlahan-lahan menaiki dinding rumah dan berakhir di tubuhku. Tak tahan dengan hawa dinginnya yang terus menusuk tubuh, aku pun menghangatkan diri di depan perapian. Aku sangat membutuhkan hangat api untuk kali ini. Seiring dengan kebutuhan akan kehangatan, ketakutanku pun mulai merongrong tubuhku. 

Ketakutanku pada malam ini sangat beralasan, sebab malam masih terlalu panjang sedangkan kayu untuk kucampakkan pada api yang masih menyala hebat itu hanya tersisa dua bongkahan kecil. Harus dengan apa kuhangatkan tubuhku ini nantinya??? Selimut tebal masih dalam cengkraman ember di kamar mandi. Sarung yang kupakai sehari-hari tak kutahu lagi di mana keberadaannya. Ah, aku semakin takut saja!

Sambil membenarkan letak kayu yang tengah dilahap si jago merah, tanpa sengaja besi yang kupakai untuk membenarkan letak kayu di dalam tungku mengeluarkan arang yang masih bersarang api di dalamnya. Bara api itu tercampak tepat di bawah letak bingkai foto yang berisi gambar istriku. Tak ingin bingkai foto tersebut  disentuh oleh bara api yang masih menyala, cepat-cepat kutumpahkan kopi ke atas bara yang masih membara. Bara padam. Lalu kupunggut dan kucampakkan kembali dalam tungku. 

Aku kembali pada bingkai foto yang berisi gambar istriku. Saat hendak kuambil foto tersebut, tangan yang hendak meraih bingkai foto istriku itu tertahan oleh getaran handphone dalam saku celana. Sebuah pesan singkat menghiasi layar handphone-ku. Pesan singkat itu mengabarkan bahwa seseorang yang mengantarkan pizza telah berdiri tegak di depan pintu rumahku. Aku bergerak ke sana.

Selepas kubuka pintu, tampaklah si pengantar pizza yang terbalut dengan mantel hujan. Ia menyerahkan pesanan dan menyebutkan harga yang harus kubayar untuk pesanan tersebut. Aku sibuk merogeh saku celana mengeluarkan uang dan si pengantar pizza asik membenarkan mantel hujannya. Saat kuserahkan uang pada si pengantar pizza raut wajahku langsung berubah. Aku menatap si pengantar pesananku dengan terpukau. Seorang perempuan cantik dan berprofesi sebagai pengantar pizza. Aku mengenal perempuan ini. 

Ah, tanpa kuperintah, pikiranku langsung berpikir liar. 

Perempuan cantik. Malam yang dihiasi hujan. Lalu aku pun berpikir semakin liar bahwa perempuan cantik dan hujan adalah dua hal yang sangat indah dan sangat didambakan oleh semua kaum adam sepertiku. Harus diakui perempuan cantik dan hujan mampu melahirkan keindahan yang tak pernah mampu kita bayangkan!

Kami sama-sama terpaku dan saling menatap bola mata. Tangan si perempuan pengantar Pizza dan tanganku terpaku pada pecahan lima puluh ribu. Dengan tingkah yang asing, aku pun menyudahi tatapan yang sangat bermakna dengan cara melihat ke kiri dan ke kanan lalu berucap padanya, “Ini uangnya!” Perempuan pengantar pizza mengambil uang tersebut dan berlalu dari hadapanku setelah mengucapkan terima kasih. 

Aku masih menatap perempuan pengantar pizza itu. Entah kenapa baru kali ini aku ingin berlama-lama menatap perempuan. Padahal pada hari-hari biasanya aku sangat sering bersemuka dengan perempuan-perempuan cantik dan takkan ada pandangan yang akan berlangsung lama seperti ini. Tapi kali ini lain sekali. Lantas, aku pun mulai mendukung pernyataan liarku tadi tentang hujan dan perempuan cantik!

Di bawah rintik hujan, perempuan pengantar pizza itu menutup pagar depan rumahku dengan amat hati-hati seraya menatapku dengan tatapan yang dalam dan penuh makna. Sebuah tatapan yang harus benar-benar kumaknai dengan sangat cermat.  Kini ia telah berada di atas motor dan hendak pergi, tapi gerakkan tangannya yang meraba-raba saku baju dan celana menandakan bahwa ada sesuatu yang hilang. Aku semakin kasihan padanya dan rintik hujan pun mulai melebat. 

Aku masih terpaku di depan pintu menatap perempuan pengantar pizza  yang belum menemukan sesuatu yang hilang. Tanpa sengaja saat aku hendak berbalik masuk ke dalam rumah, kakiku menyepak sebuah kunci motor. Tak salah lagi, perempuan itu pasti kehilangan benda yang mampu menyalakan motornya. 
“Nona, pasti kau tengah mencari benda ini, bukan?” ucapku setengah teriak. 

Perempuan pengantar pizza itu langsung mengiyakannya dan beranjak kembali padaku untuk mengambil benda yang telah kutunjukkan padanya. Aku pun menyerahkan kunci tersebut padanya seraya menatap bola mata dan raut rupanya yang indah.

“Terima kasih,” ucap perempuan pengantar pizza padaku. Aku tak membalas ucapan terima kasihnya. Pikiranku semakin liar dan hujan semakin melebat.

“Aku belum pernah melihat perempuan secantik dirimu yang mau melakoni pekerjaan seperti ini.”
Perempuan pengantar pizza terdiam dan menatapku aneh. 

“Terima kasih atas pujiannya,” ujar perempuan pengantar pizza untuk yang kedua kalinya. 
Aku tak membalas ucapan terima kasihnya untuk yang kedua kali. Aku malah melontarkan pertanyaan gila padanya.

“Maukahkah kau menemaniku untuk malam ini? Aku akan membayarmu berapapun harganya! Aku tahu ini pertanyaan gila, tetapi aku membutuhkan jawabanmu sekarang!”

“Maaf!!!  A a a ku bukan perempuan yang seperti kau ….”
Belum selesai ia menyempurnakan kalimatnya, tanganku dengan sebilah benda yang sangat menakutkan telah berada di salah satu bagian tubuhnya. 

Hujan akhirnya menyempurnakan malam. Ia melebatkan rintiknya. Hawa dingin semakin menari-nari memeluk tubuh-tubuh yang kesepian. Di rumahku, tepatnya di depan tungku perapian, kini hanya ada aku dan si perempuan pengantar pizza. Dan kini, tak ada lagi ketakutan yang bersemayam di tubuhku karena aku telah mendapatkan dua kehangatan yang berbeda. Hujan pun semakin lebat!

“Telah lama sekali aku mencari dan mengikuti jejak langkahmu dan pada akhirnya aku menemukanmu juga, nona. Kau tahu, aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa suatu saat aku pasti akan menikmati tubuhmu dan ini adalah balasan atas apa yang telah engkau lakukan padaku, nona,” ucapku pada perempuan pengantar pizza itu seraya menggerak-gerakkan tubuhku di atas tubuhnya.  

“Andai saja kau mau menerima lamaranku dulu, nona, maka hal ini takkan pernah terjadi. Tapi saat itu kau menolaknya serta berkata dengan sangat angkuh padaku. Sekarang nikmatilah saat-saat yang indah ini meskipun kau terpaksa!”

Hujan kian melebat, di depan tungku perapian, kami pun mendesah semakin hebat. Aku semakin gila seraya menatap raut mukanya yang indah bersahaja. Aku merindukan kata-kata dari perempuan pengantar pizza saat itu, tapi mulutnya terus terkatup dan mata tertutup. Perempuan pengantar pizza itu menikmati persetubuhan ini dengan penuh paksaan dan itu berakhir hingga pagi buta.

Di depan meja kerja, perempuan tambun yang lehernya dililit mutiara ternama, menerima karyawannya. Ada percakapan yang menakutkan di sana. 

“Mulai hari ini saya berhenti bekerja!”

Perempuan tambun pemiliki usaha makanan Italia itu pun terkejut bukan kepalang. Baru mengawali pagi sudah ada karyawan yang ingin berhenti. 

“Kamu kenapa? Kok tiba-tiba ingin berhenti bekerja? Kamu itu salah satu karyawan terbaik di sini dan saya tak menginginkan kamu melakukan hal tersebut. Ada apa denganmu??”

Sambil mengeluarkan bulir bening dari kedua bola matanya yang indah, perempuan pengantar pizza itu berucap apa adanya.

“Suamimu telah meniduriku semalam saat aku mengantarkan pizza padanya. Bila saya tak mau melakukannya, maka sebilah belati yang ada di tangannya siap untuk mengeluarkan usus-usus saya!”

“Bejaaat!!!!” teriak perempuan tambun yang lehernya dililit mutiara ternama seraya menumpahkan segenap benda yang ada di atas meja kerjanya. Perempuan tambun itu pun meraih kunci mobil dan berlari keluar ruangan. 

Di sana, di atas sofa yang empuk sang suami bersama gelas kopi paginya asik tersenyum seorang diri mengingat peristiwa yang terjadi semalam. Namun, sang suami tak menyadari bahwa senyumannya itu takkan bertahan lama karena sebentar lagi raksasa yang telah memberinya kemewahan itu akan menghancurkannya tanpa ampun!  

------------     
Darussalam, November 2014

Oleh: Azmi Labohaji


Dimuat di Harian Serambi Indonesia, Minggu 7 Desember 2014

Monday, 24 November 2014

Terima Kasih, Bu Wardiati Guruku!

Aku menyukainya dan mencintai pelajaran Bahasa Indonesia bersebab karena seorang perempuan yang cantik, baik hati, bersahaja, dan lemah lembut sifatnya itu. Dialah guruku, guru bahasa Indonesiaku, pada saat aku mengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah, Wardiati namanya!

Guru, sosok orang yang harus digugu dan ditiru. Kata itulah yang selalu tergambar di kepalaku saat mendengar kata guru; sosok yang selalu ditiru dan selalu menyampaikan kebenaran dan kebaikan. Mengapa hanya ada nama (buk) Wardiati yang hanya kusebutkan di kalimat awal pembuka kisah ini? Itu punya alasan. Sebab atau alasannya adalah guru yang bernama Wardiati itu adalah seorang guru yang sangat berarti bagiku. Ia adalah ibu kedua bagiku setelah ibu kandungku!
 

Sebagai orang yang berarti dan telah mengajariku dan teman-temanku tentang pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, tentu memiliki guru seperti Bu Wardiati adalah anugerah Tuhan yang sangat berharga. Sungguh sangat berharga! Sebagai sesuatu yang sangat berharga tentu itu semua harus dijaga dengan baik bukan??? Salah satu cara menjaga sesuatu yang sangat berharga itu dengan baik adalah dengan cara mengingatnya! Ya, dengan cara mengingatnya, bila tak setiap waktu, setiap setahun sekali pun tak apa yang penting ada mengingatnya!
 

Bu Wardiati mengajariku dan teman-temanku yang batat tiada tara itu dengan tingkatan ikhlas yang sangat luar biasa dan penuh senyum. Saat beliau berada di kelas dan hendak mengajari kami tentang bahasa Indonesia, selalu saja ada ulah yang kami ciptakan. Dan dalang serta aktor pencipta ulah adalah orang-orang yang sekujur tubuhnya setiap hari dicium oleh rol kuning. Dan itu terjadi saban hari setiap ia masuk ke kelas kami. Bila suasana kelas sedang memanas, Bu Wardiati yang sangat kami sayangi itu tak akan memulai pembelajaran. Ia memandang tajam ke arah kami dengan bola matanya yang bulat itu. Pandangannya dengan bola mata yang bulat itu tak juga membuat kami meredakan aksi. Padahal, itu adalah pandangan yang menyiratkan kemarahan yang luar biasa. Setelah lima menit berlalu, baru aksi gaduh kami itu beranjak pergi ketika kapur berwarna putih berterbangan ke segenap penjuru kelas. Mengenai setiap wajah-wajah pembuat gaduh.
 

Saat-saat seperti itu, aku dan teman-temanku terdiam dan kami saling memandang. Ketika adegan pandang memandang berlangsung, laku diamlah yang kami lakonkan dan itu hanya bertahan selama lima menit. Selepas itu, kami kembali tertawa terpingkal-pingkal ketika seorang teman bengalku berkata tanpa takut pada Bu Wardiati.
 

Njan, ka dikhem Ibuk, ka dikhem,” ucapnya seraya tertawa terbahak-bahak. Dan benar seperti ucapan temanku itu. Bu Wardiati tak dapat menahan amarahnya. Kata-kata yang diucapkan oleh teman bengalku itu bagaikan tangan yang menggelitik tubuh. Bu Wardiati pun turut tertawa dan larut tertawa bersama kami! Setelah lelah tertawa bersama, seperti dikomandoi saja, kami langsung membuka buku pelajaran bahasa Indonesia dan mengikuti dengan sepenuh hati apa yang diajarkanoleh Bu Wardiati dan tak akan membuat ulah sampai bel akhir pelajaran berbunyi.
 

Begitulah saban hari yang kami lewati di sekolah sepuluh tahun yang lalu. Bila mengenang itu semua saat hendak beranjak tidur dengan istri tercinta, kadang-kadang tawa lahir dengan sendiri. Itu adalah kenangan yang sangat manis dan tak mungkin terulang lagi! Bila Bu Wardiati telah geram tiada tara, jari-jari lentiknya akan mencubit-cubit bagian tubuh kami dengan amat kuat! Saat itu terjadi, kami tak melawan sama sekali. Kami malah membiarkan bagian tubuh kami yang dicubit oleh sang guru tercinta sebagai bentuk pelampiasan kekesalannya. Dan cubitan Bu Wardiati adalah bagian terindah yang harus kami nikmati. Selepas cubitan sayang itu, beramai-ramailah kami membuka baju lalu memeriksa jumlah warna merah yang ada di bagian tubuh kami itu! Dan itu sungguh sangat menyenangkan! Apakah kalian pernah merasakannya???

Buku yang Belum Sempat Kukirimkan untuknya!Sebagai seorang guru yang sangat penyayang dan mengajari kami dengan penuh keikhlasan, Bu Wardiati seperti tak pernah kehabisan semangat untuk mengajar dan mendidik kami menjadi orang yang berguna. Segala apa yang diajarkan kami terima tanpa pernah ada kata bantahan. Karena membantah apa yang beliau kata, durkaha jadinya dan nerakalah tempatnya! Kalau urusan yang satu ini kami tak pernah melakukannya.
 

Saat itu kelas sedang sangat hening. Semua kepala serius mengikuti pelajaran. Pelajaran bahasa Indonesia yang akan kami pelajari pada hari itu adalah tentang Kalimat Majemuk. Ini adalah materi yang sulit bagi kami karena pada materi ini akan dibicarakan anak kalimat dan induk kalimat. Untuk itu, konsentrasi penuh adalah langkah pertama yang harus kami lakukan.
 

Ketika telah tiba pada penentuan anak kalimat dan induk kalimat dalam kalimat majemuk, Bu Wardiati terdiam. Kami pun terpaku menatap papan tulis hitam yang telah dicoreti kapur dan terpaku menatapnya juga! Diam Bu Wardiati dan diamnya kami bersebab kali ini kami harus mencari mana anak kalimat dan mana induk kalimat!
 

Kali ini kami sekelas tak ingin jahil. Padahal pertanyaan-pertanyaan jahil telah berontak di dalam kepala masing-masing hendak keluar untuk diutarakan pada Bu Wardiati. Salah satunya pertanyaan jahil yang waktu itu tak sempat diorbitkan adalah, “Bu, kapan si Kalimat itu menikah? Siapa suaminya? Kok tiba-tiba sudah punya anak? Atau jangan-jangan anak kalimat itu adalah anak haram?”
 

Aku yakin sekali, kelas akan meledak bila pertanyaan itu dilayangkan. Tapi pertanyaan itu kami urungkan!
 

Dalam keheningan itu, Bu Wardiati bertanya pada kami sekelas bahwa yang mana bagian induk kalimat dan yang mana bagian anak kalimat pada kalimat majemuk yang telah tertulis di papan tulis itu??? Kami terdiam bagai lilin yang dimatikan. Tak tahu mana yang ibu kalimat dan mana yang anak kalimat! Lama kami berdiam diri akibat pertanyaan tersebut hingga pertanyaan tentang yang mana ibu kalimat kembali dilontarkan oleh guruku itu, Bu Wardiati. Saat itu, diam adalah pilihan dan daripada asbun yang tak berarti.
 
Sampai bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, kami tak mampu menemukan si ibu kalimat. Begitu juga guruku, Bu Wardiati. Karena itulah, suatu saat aku berjanji dengan diriku nanti, bila aku menemukan buku tentang bagaimana mencari si ibu kalimat dan anaknya dalam kalimat majemuk, maka aku akan mengirimkannya buat guruku tersayang itu! Ya, itu akan kulakukan biar generasi berikutnya saat belajar Kalimat Majemuk tahu yang mana si ibu kalimat yang tak pernah menikah itu dan mana si anak kalimat yang tak pernah dilahirkan itu dalam kalimat majemuk!
                                                                               

                                                                                  ***
 

Bila mengenang itu semua, ingin rasanya kembali ke kelas yang berisi teman jahil, ingin belajar lagi di sekolah itu, dan tentunya ingin diajarkan lagi oleh guru yang sangat baik hati itu, namun waktu tak mungkin diputar untuk dikembalikan ke masa yang diinginkan. Sebagai seorang murid yang pernah memiliki seorang guru, mengenangnya adalah sebuah kewajiban. Apalagi di tanggal 25 November ini adalah hari untuk para guru yang ada di seluruh tanah air Indonesia. Maka, mengenang para guru yang telah berhasil mencerdaskan kita mungkin bukanlah pekerjaan yang berat. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk itu, semisal mendoakan guru-guru yang telah mendidik kita dulu agar selalu diberi kesehatan, dilimpahkan rezeki, diampuni dosanya, diterima amal ibadahnya, serta semoga dapat pergi ke tanah suci! Mudah bukan??? Maka, bial engkau pernah merasa memiliki guru, kenanglah ia di hari ini! 
 

Seperti mereka-mereka yang di sana yang mungkin pada hari ini mengenang guru-gurunya, aku juga sama. Aku juga mengenang guru-guruku dan ingin kuutarakan isi hati kecilku untuknya dan semoga ia membacanya!
 

“Bu War, anakmu yang dulu kecil kurus lagi nakal itu kini telah dewasa dan telah menyelesaikan kuliahnya. Ia akan menjadi guru seperti dirimu. Mengajar dan mendidik anak bangsa agar mereka pintar, cerdas, tidak dibodohi orang, dan tentu akan mengajarkan anak negeri tentang apa itu puisi, apa itu cinta, lewat pelajaran Bahasa Indonesia. Aku ingin mengajarkan mereka seperti engkau mengajarkanku dulu. Salam, siswamu Azmi Labohaji”

Selamat hari guru dan ingin kunyanyikan lagu ini untukmu, guruku!
….. namamu akan selalu hidup di dalam hatiku. Engkau sebagai pelita dalam kegelapan, engkau laksana embun penyejukkk, dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsaaa, tanpa tanda jasaaaa …..

oleh: Azmi Labohaji

Senin, 24 November 2014 

Thursday, 20 November 2014

Gigèh Meutakèh




Meunyoö hana tauseuha
panè atra rhöt di manyang
(kalau tidak berusaha
Manalah ada harta jatuh dari langit)




Inilah sepatah hadih maja yang dikutip dari buku Memahami Orang Aceh karya Dr. Mohd. Harun, M.Pd., yang  mungkin dapat memperjelas  perkara yang menyatakan bahwa orang Aceh malas. Di sana terdapat sebuah ungkapan yang layak kita cermati, yang berbunyi panè atra rhöt di manyang ‘manalah ada harta yang jatuh dari langit’ yang bermaksud bahwa rezeki seseorang manusia tidak akan datang begitu saja tanpa diusahakan (harta jatuh dari langit). Dari ungkapan itu, tampak jelas pesan yang tersirat, yakni selagi manusia masih membutuhkan makan dan minum, maka wajib baginya untuk berusaha. Meski usaha yang ditempuh dengan cara yang berbeda-beda; halal dan haram.  Yang penting usaha, perkara dosa dan segala macam itu hati nurani masing-masing yang harus memutuskan. 

Karena berusaha mencari rezeki hukumnya wajib, maka setiap insan dilarang untuk menghayal tanpa diiringi dengan ikhtiar. Mana mungkin dengan hayalan saja padi akan menjadi beras, perut yang lapar akan terasa kenyang! Dan mana mungkin pula dengan menghayal saja harta akan jatuh dari langit! Sungguh tidak mungkin. Tuhan pun takkan memberi jika kita tak berusaha.


Dalam pandangan islam, ada tiga macam rezeki, yaitu rezeki yang dijanjikan Allah, rezeki yang diberikan Allah, dan rezeki yang didapat karena Allah, (Harun, 2009:56). Rezeki yang dijanjikan Allah adalah rezeki yang dianugerahkan Allah kepada setiap makhluk hidup. Dengan kata lain, setiap makhluk hidup pasti ada rezekinya di dunia ini karena Allah telah menyediakannya. Namun, rezeki itu harus diusahakan, bukan dengan cara duduk dan menghayal. 

Orang Aceh pemalas?
Mungkin stempel pemalas layak dicap pada segelintir orang Aceh saja, tapi tak layak dicap bagi “orang” Aceh. Sebagaimana yang diutarakan Denni Iskandar (Serambi Indonesia, Selasa 7 Februari 2011), bahwa teori lain yang lebih netral mengatakan soal malas atau rajin itu sangat individualistik dan bergantung pada moral, motivasi, rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Dan sekarang, sila melangkah ke Aceh dan saksikan sendiri dari sebagian banyak orang Aceh, saya yakin stigma orang Aceh pemalas akan segera lenyap ketika anda dapati bahwa orang Aceh banyak yang gigèh-nya daripada yang beuoe-nya. 

Sangatlah tidak benar jika dikatakan orang Aceh itu pemalas. Bagaimana mereka bisa bermalas-malasan jika beras di rumah tak ada. Apalagi bagi mereka (orang Aceh) yang sudah berkeluarga. Dari mana uang yang mereka dapatkan untuk memberi jajan sekolah anaknya, mengirimi uang untuk anaknya yang kuliah, jika mereka tidak bekerja. Pasti mereka akan bekerja walau hasil yang didapatkan kelak tak banyak. 

Selain itu, memang tak dapat dipungkiri bahwa prinsip pajoh atra yang kana ‘menikmati yang sudah ada’ masih melekat erat pada segelintir orang Aceh. Maka, selagi atra yang kana (stok) masih banyak, mungkin sebagian dari mereka itu akan beristirahat atau bersantai untuk me-refresh badan yang lelah. Bisa jadi dalam jangka waktu tersebut sebagian orang menafsirkan orang Aceh malas. Ini seratus persen tidak benar. Dan prinsip pajoh atra yang kana pun tak terlepas dari banyak faktor. Salah satunya, orang Aceh banyak yang tak punya pekerjaan tetap. Misalnya, mereka yang bekerja sebagai kuli bangunan, yang kadang-kadang bekerja selama seminggu dan “nganggur” selama seminggu juga. Jadi, selagi ada pekerjaan yang baru, maka atra yang kana itulah yang akan dinikmati dulu.

Menyambil 
Pada kehidupan sehari-hari, banyak orang tua yang menasehati anaknya melalui ungkapan yang menjurus pada berusaha. Salah satunya  gigèh meutakèh, beuo meukeudo (gigih berkerak, malas berkeruh). Artinya, jika kita ulet, gigih dalam berusaha, maka kebutuhan-kebutuhan kita sehari akan terpenuhi. Begitu juga dengan keadaan perut, perut kita takkan keroncongan jika kita gigih dalam berusaha. Sebaliknya, jika beuo meukeudo maka keroncongan itu adalah sahabat yang tak pernah lekang dari perut kita. 

Di sisi lain, jika kita mengamati orang Aceh yang berprofesi sebagai petani di pedalaman kampung sana, pekerjaan menyambil (seumambee) banyak mereka lakukan. Misalnya, di samping menanam padi, di setiap pematang sawahnya pasti ada beberapa batang jagung dan kacang panjang yang akan mereka tanami. Karena selain padi dipanen kelak, jagung dan kacang panjang pun ikut dipanen. Bahkan sebagian lagi ada yang memanfaatkan waktu sebaik mungkin; pagi ke sawah, siangnya mereka ke ladang. Dan ini merupaka bagian dari ke-gigèh-an seseorang. Walaupun itu pekerjaan sambilan, jika dilakukan dengan baik, ternyata mendatangkan manfaat yang baik pula. 

Selain itu, prinsip gaki jak urat meunari/ na tajak na raseuki (kaki berjalan urat menari/ ada berjalan ada rezeki)  masih dipegang teguh orang Aceh. Karena ketika kaki sudah melangkah, pasti ada rezeki yang akan kita peroleh. Walaupun tempat tujuan ia pergi itu ke warung kopi. Mungkin di sana akan ada teman yang akan menawarkan pekerjaan. 

Kemudian, endatu orang Aceh juga telah mengajarkan bahwa bermalas-malasan itu dilarang.  Sebab akhir dari bermalas-malasan itu pasti mengharap pada orang lain. Nah, jika kita mau membuka halaman sejarah, maka di sana akan tertulis bahwa Aceh pernah mengenyam predikat penghasil lada terbanyak di dunia. Jadi, jika orang Aceh distempel “pemalas” maka itu akan sangat bertentangan dengan apa yang tertulis dalam sejarah.  

Jadi, perlu dikaji ulang jika ingin men-stempel orang Aceh pemalas. Sebab tak semua orang Aceh pemalas. Meskipun hasil buminya melimpah, tapi mereka tak ingin dininabobokan  atau terlena dengan hasil bumi tersebut, karena hasil jerih payah sendiri rasanya akan sangat berbeda dengan hasil yang diberikan cuma-cuma. Maka, stempel yang layak dicap untuk orang Aceh adalah ureung Aceh lee nyang gigèh meutakèh (orang Aceh banyak yang gigih berkerak).


oleh: Azmi Labohaji
Kamis, 20 November 2014

Gigèh Meutakèh 'gigih Berkerak'

Saturday, 15 November 2014

Bingkeng



Kata bingkeng dalam bahasa Aceh mungkin bisa kita sejajarkan dengan kata judes atau kata temperamen dalam bahasa Indonesia. Kata ini (bingkeng) dalam tuturan sehari-hari bisa kita jumpai pada penutur bahasa Aceh wilayah selatan. Bingkeng dalam bahasa Aceh bisa diartikan lebih kurang  orang yang cepat marah atau orang yang cepat naik emosi. Begitu juga kata judes atau temperamen dalam bahasa Indonesia yang bermakna sifat batin yang tetap mempengaruhi perbuatan, perasaan, pikiran, dan pikiran seseorang. 

Bingkeng  termasuk ke dalam salah satu sifat manusia. Sifat bingkeng ini tidak disukai banyak orang. Sebab, orang yang memiliki sifat tersebut biasanya akan dijauhi oleh banyak orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang mau dekat atau mau bergaul dengan si manusia yang memiliki sifat tersebut. Orang-orang yang mau berteman atau berkawan dengan si manusia bingkeng itu pun karena ada tujuan tertentu. Kalau ia tak memiliki tujuan tertentu maka ia tak akan berteman dengan orang tersebut.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Orang yang memiliki sifat tersebut (bingkeng) jika ada sesuatu hal yang kurang berkenan atau kurang pas di matanya, emosinya langsung mendidih dan objek yang menjadi sasaran tempat ia ruahkan emosinya langsung disiram atau dihujani dengan kata-kata yang membuat telinga terasa panas.

Pernah suatu kali, di sebuah pertemuan perkuliahan, kala itu mata kuliahnya ialah mata kuliah yang mengkaji tentang fonem, bunyi, dan alat-alat ucap yang menghasilkan suara (fon). Di silabus perkuliahan mata kuliah tersebut diberi nama Bunyi. Kami semua telah berada di dalam kelas menunggu kehadiran sang dosen. Detik pun berlalu berganti menit. Lalu menit berganti jam. Akhirnya, sang dosen masuk ke dalam ruang kelas meski telah telat lima belas menit. Suasana kelas masih dibalut keriuhan. Seorang teman saya, Maun, duduk dengan seorang mahasiswa yang berasal dari Singkil, Udin. Maun ternyata terpesona dengan sapu tangan yang baru saja di beli si mahasiswa yang berasal dari Singkil itu. Maun langsung mengambilnya dan mengelap keningnya yang tak berkeringat.

Ternyata apa yang dilakukan Maun dilihat sang dosen. Tanpa butuh waktu lama, sang dosen langsung menyiram Maun dengan kata-kata dan sindiran-sindiran yang begitu “mematikan”. Wajah Maun langsung berubah seratus derajat. Kupingnya memerah. Bola matanya memerah. Maun kalah, malu, salah tingkah, dan langsung keluar kelas. Padahal sang dosen tidak menyuruh ia keluar.  

Sejenak kami tertawa dengan apa yang telah diperbuat Maun. Namun, lama kelamaan, seiring tidak kembalinya Maun ke dalam kelas, kami mulai membenci sang dosen. Ia bukan lagi mengajar, melainkan berceramah. Ceramah yang menurut kami tak patut untuk didengar. 

Hari berlalu berganti minggu. Mata kuliah Bunyi kembali diikuti. Maun, dengan setelan baju yang begitu menarik duduk di samping Udin. Kini ia tak lagi meminta sapu tangan pada Udin, sebab ia takut kejadian minggu lalu akan terulang kembali. Kini Maun hanya duduk diam tanpa banyak kata. 

Perkuliahan pun telah berjalan tiga puluh menit. Sang dosen menjelaskan dengan berapi-api. Kala sang dosen berhenti dari menjelaskan tentang materi yang baru saja ia berikan, Maun mengacungkan jemari telunjuknya. Maun bertanya. Begitu santun bahasa bertanya Maun. Kalimatnya teratur. Diksinya pas. Dan Maun pun selesai bertanya. Gemuruh tepuk tangan dari kawan-kawan memenuhi ruangan. Gemuruh itu menghilang. Kini tinggal menunggu jawaban dari sang dosen

Sang dosen menatap Maun. Suasana hening sejenak. “Kamu pungo atau gila?” tanya sang dosen pada Maun. Spontan Maun terhentak.  Bukan jawaban yang ia inginkan yang ia dapatkan malah pertanyaan beserta ejekan yang ia terima. “Saya kan belum mempersilahkan kamu dan yang lainnya untuk bertanya! Kamu ini begok atau Pa’ak?” Sang dosen kembali menyiram Maun. Mata, muka, dan telinga Maun memerah. Kata-kata sang dosen ibarat bensin dan pemantik api. Dan hati Maun adalah kayu bakarnya. Hati Maun kini terbakar hebat.

Hati telah terbakar. Harga diri telah dipijak. Maun berdiri dengan tegapnya dan jemari telunjuknya menunjuk wajah sang dosen. “Hoi!” ucap Maun pada sang dosen,”Seorang dosen yang baik tak memiliki mulut seperti Anda dan juga tak memiliki sifat bingkeng seperti Anda. Seorang dosen yang baik itu bukan seperti Anda, mencerca anak didiknya. Dosen yang baik itu selalu menjawab pertanyaan anak didiknya meski waktu bertanya belum diberikan. Anda ini terlalu bingkeng! Kalau tidak sanggup menjadi dosen, jak woe keudeh jak mita boh-boh sidom (pulang sana cari telur semut). Karena di sini bukan tempat  orang-orang sperti Anda. Alah hai dosen Bingkeng!” 

Sang dosen terdiam tanpa kata. Pukulan Maun ternyata amat telak. Muka sang dosen memerah, telinganya memerah, tangannya dikepal kuat. Namun semua itu tak membuat Maun menggigil atau takut. Ia langsung meraih tasnya. “Bingkeng? Ke laut ajaaa!” ucap Maun dengan nada mengejek dan berlalu keluar kelas. 

Sang dosen malu bukan main. Hari ini karena sifatnya yang bingkeng itu, ia telah dipermalukan oleh mahasiswanya sendiri. Dan Maun, setelah hari tersebut, ia tak pernah lagi masuk ke dalam kelas dosen yang mengasuh mata kuliah Bunyi.

Hari berlalu bertukar dengan minggu. Minggu bertukar dengan bulan hingga nilai mata kuliah bunyi pun diumumkan. Maun datang melihatnya. Di ujung namanya, terteralah sebuah huruf E _apital. Maun tidak lulus. Namun, ia tidak tinggal diam. Segera diraih balpoin dan ditulislah beberapa kata di bawah nama dosen yang mengasuh mata kuliah tersebut. ORANG BINGKENG LAGI PENDENDAM AKAN MASUK NERAKA. ITU PASTI KATA TUHAN. TERIMA KASIH PAK BINGKENG ATAS NILAINYA!

Maun pergi meninggalkan tempat pengumuman nilai seraya bersiul-siul menang. Tak lama kemudian atas tulisan yang telah ditulis Maun pada lembar pengumuman nilai, ia menjadi terkenal. Dan sang dosen tersebut hingga seterusnya dipanggil dengan sebutan Pak BINGKENG. Tak ada penyesalan dalam diri Maun, karena kini ia merasa telah menang.      
***
(Minggu, 16 November 2014)
oleh: Azmi Labohaji

Wednesday, 8 October 2014

Rel Takdir


Setiap satu perbuatan yang kita lakukan di satu masa akan menjelma menjadi rel takdir yang akan kita lalui di masa yang akan datang. Kelak di masa yang telah digariskan itu akan kita alami peristiwa-peristiwa yang tak pernah kita tahu seperti apa dahsyatnya!” (Azmi Labohaji). 

Di sini aku tak akan menguraikan apa maksud dari ungkapan yang kuawali dalam tulisan ini. Ungkapan tersebut memiliki banyak makna dan bisa kita contohkan pada apa saja yang ada di alam ini. Itu semua tergantung pada diri masing-masing mau mencontohkannya pada objek apa. 

Aku mencoba mengutarakan sedikit peristiwa hidup yang tengah kualami. Sesuai dengan ungkapan di awal tulisanku ini, mungkin ini adalah contoh daripada ungkapan itu sendiri yang kuambil dari kisah hidupku. Mengenai benar atau tidaknya ini semua, kuserahkan pada diri kalian masing-masing sebagai pembaca untuk menilainya.

Kejadian yang kualami untuk saat ini adalah sebuah rangkaian peristiwa yang pernah kutulis dalam cerpenku yang berjudul “Parang Warisan” pada empat tahun silam, Juni 2010. Apa yang tertulis lengkap di dalam tulisan tersebut kemudian menjelma nyata terjadi di tahun ini. Dan ini semua tak pernah terduga sebelumnya. Sebuah peristiwa ngeri lagi menyesakkan! 

Semua peristiwa yang kukisah dalam cerpen tersebut tak sedikit pun terpikir olehku akan menjadi nyata di tahun 2014 ini. Aku hanya menulisnya saja tanpa harus berpikir itu akan menjadi nyata di suatu masa. Setelah melewati masa kontemplasi yang cukup, menghubungkan antara tulisan yang pernah kutulis dengan kejadian yang tengah kualami saat ini, baru kemudian aku sadar ternyata kisah yang kutulis dalam cerpen tersebut adalah rel takdir yang harus kulalui di mana sebuah peristiwa besar telah menanti kedatanganku! Sebuah peristiwa besar yang amat ngeri lagi menyesakkan, yaitu perpisahan! Ya, sebuah perpisahan dengan orang yang sangat kucintai. Ia adalah kekasihku!

Dan kalian tahu apa yang kulakukan sekarang setelah aku tiba di peristiwa yang telah “digariskan Tuhan” untukku itu??? Sekarang yang kulakukan adalah merasakan setiap jengkal peristiwa yang termaktub dalam cerita tersebut. Percayalah! 

Tetapi meskipun itu telah terjadi, satu hal yang ingin kuungkapkan di sini adalah apapun yang kalian alami kelak, yakin dan percayalah bahwa ada satu hikmah besar yang sedang menanti kehadiran kalian. Sebuah hikmah besar yang mahadahsyat yang pemilik sahnya adalah kalian sendiri! Bukan orang lain. Lalu kalian akan tertawa menang saat kalian berhasil memecahkan teka-teki tentang mengapa kalian harus melewati rel takdir itu. Bila telah berhasil, jangan lupa ungkapkan sebentuk pujian seperti ini. “Terima kasih Allah. Thanks God.” 

Berbicara masalah sebuah tulisan yang mana tulisan itu sendiri adalah rel takdir yang kelak akan kita lewati, aku sangat yakin kalian tentunya telah banyak menulis tentang banyak hal. Tentang apa saja. Mungkin kalian juga pernah menulis setiap kisah yang kalian alami dalam hidup dengan warna kisah atau kejadian yang berbeda. Kisah sedih, kisah senang, ataupun kisah ngeri yang akan melekat erat diingatan kalian. Aku sangat yakin kalian pasti pernah menuliskannya, apalagi bila ia adalah perempuan. Kalian pasti pernah menulis baik kisah yang sedang kalian alami, kisah yang sudah kalian alami, ataupun kisah (mendatang) yang  akan kalian alami. 

Mengapa kita perlu menuliskan semua kisah tersebut (kisah yang sudah kita alami, yang sedang kita alami, atau kisah yang akan kita alami)? Tentu jawabannya agar kelak saat memori di kepala kita teringat akan kisah tersebut, kita dapat memutar kembali kisah tersebut dengan detailnya lewat tulisan yang pernah kita tulis. Bukankah seperti itu??? 

Petuah-petuah zaman dahulu kala yang terbit lewat mulut-mulut endatu-endatu kita kadang-kadang ada benarnya dan harus benar-benar kita amalkan. Mengapa demikian? Tentu karena di dalam petuah-petuah tersebut banyak termaktub pesan dahsyat yang syufaatnya luar biasa. Petuah-petuah tersebut semisal, petuah tentang pentingnya merenung (kontemplasi) dalam menjalani hidup atau dalam rangka mengungkap takdir Tuhan. 

Banyak jenis perenungan yang bila kita mau melakukannya akan mendapatkan hikmah yang luar biasa darinya. Semisal, merenungi nasib, merenungi jodoh, merenungi rupa (mengapa saya tampan atau mengapa saya jelek), dan merenungi hal-hal yang perlu direnungi dalam rangka mencari hikmah Tuhan. Bila kita mau menyelisik lebih jauh lagi, sebetulnya hanya lewat proses merenunglah kita akan mendapatkan hikmah yang luar biasa dahsyatnya.  
Untuk itu, marilah kita merenung agar mendapatkan hikmah seperti yang telah aku utarakan di atas. Kemudian tuliskan semua kisah yang patut kalian tulis sebagai rel takdir yang kelak akan kalian lintasi di mana sebuah peristiwa-peristiwa dahsyat yang hikmah di dalamnya telah menunggu kedatangan kalian untuk kalian miliki seutuhnya! Selamat merenung, menulis dan mengikuti rel takdir yang kalian ukir!
***

*Beberapa hari setelah tulisan ini aku terbitkan, maka akan menyusul cerpen “Parang Warisan” yang berisi kisah-kisah seperti yang kuutarakan di atas! Selamat membaca.    

oleh: Azmi Labohaji

Saturday, 13 September 2014

Menjemput Jodoh

Benar bahwa jodoh itu ada di tangan Tuhan. Lalu, untuk mendapatkannya kita harus menjemputnya dengan sepenuh hati. Biarkan dia di sana di dalam genggaman nyaman Tuhan karena di sana ia sangat aman, nyaman, dan damai. Bila tiba waktunya, tepatnya saat engkau hendak menjemputnya, pastikan dirimu telah menyiapkan segenap keperluan. Mulai dari kata-kata indah, serangkai kuntum indah dan pasti menyejukkan matanya bila dipandang,cincin cantik untuk engkau lingkarkan di jari manisnya, dan tentunya penampilan menarik yang membuat matanya takkan berkedip untuk waktu yang lama.

Mengapa itu semuanya kukatakan harus engkau persiapkan? Itu semua punya alasan dan maksud sendiri. Penjelasannya seperti ini. Bayangkan bila engkau adalah orang yang akan pergi menjemput jodohmu sendiri. Setiba di tempat tujuan, tepatnya di “istana jodoh” yang telah disediakan Tuhan, jodohmu telah menunggu kehadiranmu di gerbang istana. Lalu tanpa basa-basi, engkau langsung meraih tangannya dan lantas langsung membawanya pergi menuju kediaman yang telah engkau tentukan. Jika seperti itu yang engkau lakukan, percayalah, niscaya engkau adalah “si penjemput jodoh bodoh yang tak punya sisi keindahan di dalam dirimu”. Itu semua bila dikenang suatu saat akan menjadi kenangan yang sangat tak berarti, hambar, layaknya gulai yang dimasak oleh manusia setengah wanita setengah pria (banci). Masakan yang sangat hambar, tak berasa apa-apa. Percayalah!

Sekali lagi percayalah!!! Jika seperti itu caramu menjemput jodoh, aku berani bertaruh demi langit dan bumi, kau takkan mendapatkan pelukan hangat dari jodohmu saat engkau menjemputnya. Kasihan jika itu terjadi, kawan.

Bandingkan saat engkau menjemput jodoh dengan segenap persiapan yang telah matang. Kala waktu menjemput jodoh itu telah tiba engkau pergi dengan penuh semangat, dengan penampilan yang sungguh menarik. Tentu saat berada di hadapannya langsung engkau pun berseru dengan penuh percaya diri.

“Aku begini karenamu. Dan aku begini hanya untukmu.”

Lalu kedipkan kedua matamu untuknya. Aku yakin sekali, kawan, bila itu yang engkau lakukan, jantungnya akan berdetak kencang. Sungguh detak jantung yang sungguh-sungguh sangat bermakna. Bukankah itu yang engkau inginkan???

Lalu, kata-kata indah, semisal puisi, telah engkau persiapkan dengan sangat matang. Puisi yang kelak akan engkau bacakan saat tanganmu pertama sekali meraih tangan jodohmu itu. Semisal puisinya seperti ini (sebenarnya ini adalah puisi yang akan kuucapkan pada saat aku akan menjemput jodohku kelak. Tetapi karena waktu untuk menjemput jodoh bagiku masih sangat lama, puisi ini kuhadiahkan saja untukmu, kawan).

duhai permata Tuhan
ini adalah hari yang telah ditentukan.
hari seperti yang telah termaktub dalam Kitab Janji
hari ini aku akan menjemputmu dengan sepenuh hati
engkau akan kumiliki sepenuhnya.
engkau akan kujaga selamanya. Engkau akan kucintai sepanjang usia bumi
Sekarang aku telah di hadapmu.
duhai permata Tuhan
izinkan aku mencium lembut tanganmu sebagai salam pertama
duhai permata Tuhan yang memancarkan cahaya segala cahaya
kini akulah lelaki pemilik sah cahaya itu.
terangi aku dengan cintamu, kasihmu, dan sayangmu.
Sekarang, peluklah aku selembut jiwamu
Lalu mari kita pergi ke sebuah istana yang telah kuukir untukmu …


Setelah engkau bacakan puisi ini di hadapannya, balikkanlah badanmu. Bukakan tasmu, keluarkan kuntum indah itu. Serahkan padanya dengan wajah tertunduk indah.

“Kuntum ini hanya kuperuntukkan buatmu, sayang!”

Aku yakin sekali, kali ini “Permata Tuhan mu  itu” ingin sekali segera memelukmu. Tapi jangan biarkan hal itu terjadi dulu. Biarkan dia bahagia larut dalam lakon yang baru saja engkau persembahkan untuknya. Biarkan saja. Yakinlah, “Permata Tuhan mu itu” pasti akan memandangmu dalam waktu yang cukup lama dengan laku yang bahagia; ia menggigit bibirnya sendiri, menggoyang-goyangkan tubuhnya sembari memegang kuntum yang engkau berikan, dan tentunya dengan senyuman genit yang engkau inginkan.

Setelah itu, berilah ia kejutan berikutnya. Balikkan badanmu. Bukakan tasmu. Lalu keluarkan cincin indah yang bersemayam di dalam kotak yang berwarna merah muda itu. Balikkan badanmu menghadapnya, bukakan kotak yang berisi cincin itu seraya berkata.

“Izinkan aku melingkarkan cincin indah ini di jemari indahmu, sayang!!!”

Di sini engkau tak perlu menunggu persetujuannya untuk mengatakan “ya” atau menunggunya mengulurkan tangannya untukmu. Segera raih tangannya. Pilih jari manisnya lalu sematkan cincin itu di jemarinya!

Selamat kawan. Ia tak tahan lagi. Ini kali, biarkan ia meloncat ke atas tubuhmu. Ia ingin memelukmu dengan sepenuh hati dan cinta. Kini engkaulah yang harus berdiam diri. Rasakan hangat, lembut pelukannya. Dengarkan desah nafasnya. Biarkan ia merajai tubuhmu. Biarkan ia sendiri yang melepaskan pelukan itu saat ia sudah benar-benar puas memelukmu. Bila ia tak puas dengan memelukmu dan ingin menghadiahimu gerakan yang lain, semisal ia ingin memberimu ciuman indah di bibirmu, katakan dengan lembut seperti ini.

“Jangan di sini, sayang! Aku menginginkan itu, tapi mari kita melakukannya di istana yang telah aku persiapkan untukmu. Aku tak mau melakukan ini di kediaman Tuhan yang Mahasuci ini.”

Selepas engkau menyelasaikan kalimat tersebut, raihlah tangannya dan bawalah ia ke istana yang telah engkau persiapkan.

Ya, itu saja kawan! Itu saja petuah menjemput jodoh yang mampu aku ikrarkan untukmu. Maka, lakukanlah dengan benar setiap langkahnya. Jangan ada yang tertinggal, apalagi salah. Lakukan dengan penuh penjiwaan, niscaya engkau akan dicap sebagai “Si Penjemput Jodoh dari Negeri Kayangan”.

“Lalu bila kau akan menjemput jodohmu, penulis???”

“Aku akan menjemput jodohku saat mawar yang kutanam, kala hujan menyiram bumi, telah memberi kuntum yang indah. Kuntum yang akan memercikan semerbak aroma wewangian surga delapan. Itu tepatnya saat angka 35 telah menghampiri tubuhku!!!”


                                                                                                 ------Kediaman Tuhan--------


Oleh: Azmi Labohaji

Wednesday, 16 July 2014

Guru yang Dinanti

Berbicara masalah guru memang tak pernah ada habisnya. Selalu saja ada kisah menariknya. Salah satunya kisah seorang guru yang saya dapati dari seorang teman. Teman saya menceritakan kisah seorang temannya ketika ia masih duduk di bangku SMA. Ketika jam pelajaran pertama baru di mulai, sang teman dengan tenangnya melipat kedua tangannya dan merebahkan kepalanya di atas kedua tangan yang terlipat itu. Ia tidur. Padahal, hari masih pagi sekali.

Seperti biasanya, setelah sang guru menyapa anak didiknya dan mengabsen mereka satu persatu, sang guru baru memulai pembelajaran. Tak ada yang berbeda pada pagi itu. Sang guru dengan segenap teori yang telah ia miliki mulai menjelaskan tentang topik yang akan dipelajari pada hari itu. Pada saat tiba giliran sang guru melemparkan pertanyaanya kepada siswanya dengan tujuan apakah para siswa telah mengerti tentang apa yang telah dijelaskan barulah sang guru tahu ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menarik perhatiannya. Salah seorang anak didiknya tengah tertidur pulas di saat ia tengah sengit-sengitnya menjelaskan segenap teori.

Si pendidik berjalan pelan menuju bangku siswa yang tengah tertidur pulas itu. Langkah sang guru yang berjalan menuju bangku siswa yang tengah terlelap puas itu membuat siswa lainnya melahirkan segenap pernyataan di benaknya masing-masing. Pasti dia (siswa yang tengah pulas) dimarahi. Saat sang guru tiba di bangku si siswa yang tengah terlelap itu, dengan penuh keibuan tangan sang guru mengelus-elus pundak si murid yang tengah terlelap. Semua mata siswa yang berada di kelas tersebut tertuju pada adegan yang tengah berlangsung. Harapan siswa lain bahwa si siswa itu akan dihujani amarah sang guru ternyata tidak tepat.

Elusan tangan guru yang mengajarkan mata pelajaran ilmu berhitung itu ternyata membuat si siswa yang terlelap terjaga. Dengan nada yang amat rendah, sang guru bertanya pada siswa mengapa ia tertidur saat pelajaran baru dimulai. Dengan tenang dan penuh kejujuran si siswa menjawab bahwa ia amat terkantuk. Semalam ia harus membantu ibunya membuat kue untuk dijual.

Sang guru langsung mengangguk. Paham. Ia kembali mengelus pundak anak didiknya itu seraya mengajaknya untuk tidak tidur lagi. Dengan penuh keikhlasan, si anak didik pun mengikuti apa yang dikatakan sang guru. Dan pembelajaran kembali berjalan dengan lancar.

Dari kisah singkat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika mengajak seseorang, apalagi anak didik,  ke arah yang baik dengan menggunakan hati nurani, atau kelembutan, maka orang yang diajak itu pasti akan mengikutinya dengan penuh keiklasan. Artinya, tidak mesti harus selalu mengajak atau menasehati orang lain (apalagi anak didik) dengan kekerasan.

Pribadi yang selalu dinanti

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru memiliki pengertian sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, atau profesinya) mengajar. Sebagai seorang yang pekerjaannya mendidik atau mengajar, menekuni peran menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebab, sebagai seorang pendidik atau pengajar, saban hari kesabaran seorang pendidik itu selalu diuji oleh anak didiknya. Hal tersebut disebabkan oleh macam-ragam karakter yang dimiliki oleh anak didik. Maka, disaat kesabaran sedang diuji, kesabaran harus dijaga agar tidak berubah menjadi omelan yang akan menyakitkan telinga anak didiknya. Dengan demikian, bermacam cara pun harus digunakan oleh guru untuk menjaga kesabarannya itu.

Tidak bisa dipungkiri memang, ada guru yang langsung menyiram anak didiknya dengan hujan amarah, ketika kesabarannya telah mencapai titik didih. Ada pula guru yang tetap menggunakan kesabaran (hati nurani) untuk menghadapi tingkah-polah anak didiknya. Berdasarkan cara yang digunakan oleh sang pendidik dalam menghadapi tingkah-polah anak didiknya itu, maka dengan sendirinya akan lahir kesimpulan pada diri anak didik itu sendiri akan pribadi guru yang mengajarinya itu. Dari kesimpulan itulah akan lahir sesosok orang dalam diri si anak didik akan guru yang dinanti (karena kesabaran yang dimilikinya) dan guru yang dibiarkan datang dan pergi, ka tamong ka tamong, han ka tamong beu bek keudeh (engkau masuk, masuklah, tidak engkau masuk pun tidak apa-apa).   

Guru tidak hanya berperan sebagai orang yang mentrasnferkan ilmu bagi manusia yang tengah dicerdaskan yakni siswa. Namun, jauh dari itu guru juga dituntut untuk mengubah/memperbaiki perilaku atau sikap manusia tersebut. Coba bayangkan saja jika dalam sebuah kelas ada siswa sebanyak empat puluh orang, berarti seorang guru harus menghadapi emput puluh buah kepala. Dalam satu kepala ada satu sikap/perilaku. Berarti ada empat puluh sikap/perilaku yang berbeda-beda yang harus diluruskan oleh seorang guru setiap harinya. Dalam sehari seorang guru kadang-kadang harus masuk ke dalam tiga kelas. Dengan demikian bisa dibayangkan bukan, berapa buah kepala beserta sikap/perilakunya yang harus dihadapi oleh seorang guru dalam sehari? Nah, apakah ini sebuah pekerjaan yang mudah?

Tentang hal ini, ada ungkapan menarik yang dipaparkan oleh Henry Adam. “A teacher effect eternity. He can never tell where his influence stops. Yang artinya ‘guru itu berdampak abadi. Ia tidak pernah tahu di mana pengaruhnya itu berhenti’. Harus diakui memang, seperti apa yang diutarakan Adam, dampak atau pengaruh yang diberikan oleh seorang guru itu menjadi sesuatu yang berharga dan abadi. Misalkan saja manusia yang tidak bisa membaca dan menulis diajarkan dengan tulus hingga bisa membaca dan menulis. Manusia yang tidak bisa berhitung diajarkan cara berhitung agar tidak ditipu oleh orang lain. Jika ruang yang gelap itu diibaratkan seorang murid, lampu (penerang) adalah gurunya. Artinya, guru, dengan segenap kemampuan yang ia miliki berusaha membuka mata anak didiknya yang selama ini “buta” menjadi bisa “melihat”. Maka dari itu, apa jadinya jika di muka bumi ini tak ada guru?

Sosok seorang guru itu selalu menyiratkan pengaruh yang luar biasa terhadap anak didiknya. Sehingga baik tidaknya murid sangat ditentukan oleh guru. Ibarat pepatah lama mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Artinya, kelakuan seorang murid atau anak didik, selalu mencontoh guru. Guru yang lengkungan senyumannya selalu ke atas akan selalu disukai dan dikenang oleh anak didik setiap saat. Begitu juga sebaliknya, guru yang lengkungan senyumnya selalu ke bawah akan selalu dibenci atau tidak disukai oleh anak didiknya saban hari.

Sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan, keberadaan guru sangat mempengaruhi hasil proses belajar mengajar di sekolah. Keberadaannya memiliki relasi yang sangat dekat dengan peserta didiknya. Relasi antara guru dan peserta didik, adalah relasi kewibawaan. Relasi kewibawaan bukan menimbulkan rasa takut pada peserta didik, akan tetapi relasi yang membutuhkan kesadaran pribadi untuk belajar. Kewibawaan tumbuh karena kemampuan guru menampakkan kebulatan pribadinya, sikap yang mantap karena kemampuan profesional yang dimilikinya, sehingga relasi kewibawaan itu menjadi katalisator peserta didik mencapai kepribadiannya sebagai manusia secara utuh atau bulat.

Selanjutnya, menjadi seorang guru yang selalu dinanti anak didik bukan berarti antara guru dan anak didik tiada tabir pembatas (antara posisi sebagi guru dan posisi sebagai anak didik). Itu ada dan harus selalu dijaga. Tujuannya agar si anak didik tidak melampaui batas (nga' bek ji ek ateuh ulee artinya, 'agar tidak naik atas kepala’) ketika ia telah begitu dekat dengan kita. Kita juga berhak membentak mereka, mengeluarkan mereka ketika jam pelajaran sedang berlangsung atau bahkan  ketika ujian sedang berlangsung, memberi mereka hukuman, atau sebagainya asalkan sesuai dengan alasan atau kesalahan yang mereka lakukan.

Dalam hal ini, kadang kala kita patut juga menyadarkan diri kita sendiri dalam bentuk memosisikan diri menjadi seorang siswa. Pasti kita akan merasa sangat kecewa jika ada seorang guru yang tak mau mendengar alasan-alasan anak didiknya sebagai bentuk pembelaan diri karena telah melakukan satu kesalahan. Kita misalkan saja peristiwa di atas tadi, saya yakin, tak banyak guru yang akan mendengar atau mau menerima alasan siswanya itu bahwa ia harus bergadang untuk membantu ibunya maka ia tertidur. Saya sangat yakin pilihan yang akan dipilih sang guru adalah mengeluarkan si siswa dari kelas beserta setumpuk omelan. Maka dari itu, mari menghadapi hal-hal yang seperti itu dengan menggunakan sudut hati nurani kita.  

Guru sebagai salah satu komponen di sekolah menempati profesi yang memainkan peranan penting dalam proses belajar mengajar. Kunci keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan di sekolah ada di tangan guru. Ia mempunyai peranan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan siswanya, pengetahuan, ketrampilan, kecerdasan dan sikap serta pandangan hidup siswa. Oleh karenanya, masalah sosok guru yang dibutuhkan adalah guru dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan siswa sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan pada setiap jenjang sekolah.

Ketika seorang guru sudah mampu membaca setiap karakter anak didiknya dan mampu menggunakan sudut hati nuraninya dalam menghadapi berbagai persoalan anak didiknya, niscaya orang yang dididik itu akan selalu mengaguminya dan segenap ilmu yang ia sampaikan itu pun akan tersampaikan dengan mudah dan melekat pada diri anak didik layaknya lem. Untuk itu, kepada seluruh guru di seluruh Indonesia, Aceh khususnya, marilah menjadi guru yang selalu dinanti oleh anak didik. Guru yang selalu menggunakan sudut hati nuraninya dalam menghadapi ragam persoalan anak didiknya. Karena disaat seorang anak didik yang tengah atau sedang menanti guru (yang ia kagumi) untuk mengajarinya, itu pasti karena ada sesuatu yang ia inginkan darinya kita 
   
Azmi Labohaji, guru dan juga penikmat sastra

Tuesday, 15 July 2014

Reaktif, Salah Satu Ciri Khas Orang Aceh

Istilah reaktif dapat disamakan dengan responsif yang bermakna cepat merespon, bersifat menanggapi, dan tergugah hati. Baik istilah reaktif maupun responsif dipandang sebagai istilah positif dalam tindakan manusia. Seseorang dikatakan berwatak reaktif jika dia segera bereaksi atau menanggapi sesuatu yang muncul atau timbul. Orang Aceh sangat dikenal dengan wataknya yang keras klo tulo. Namun, di balik sifat klo tulo-nya itu, orang Aceh juga memiliki sifat baik hati dan pemurah. Sifat yang demikian, akan diunjuk kepada siapa saja oleh orang Aceh. Sifat reaktif merupakan salah satu sifat orang Aceh di samping sifat militan, optimis, konsisten, dan loyal. 
Sifat reaktif itu dimiliki oleh setiap orang Aceh dalam hal menjaga harga diri. Harga diri bagi orang Aceh adalah sesuatu yang tidak boleh diusik. Harga diri merupakan sesuatu yang sangat berharga dan mahal harganya bagi orang Aceh. Jika harga dirinya telah diusik, maka sifat reaktif orang Aceh yang telah mendarah daging itu pun akan diunjuk.
Sebagai etnis yang memiliki sifat reaktif yang kuat dalam menjaga harga diri, orang Aceh juga dikenal dengan sifatnya yang ramah tamah dan baik hati kepada orang lain, misalnya dalam menjamu tamu. Salah satu pertanyaan atau ajakan yang pertama kali diajukan oleh orang Aceh sebagai pemilik rumah adalah kaleuh bu? ‘sudah makan? Ini sudah menjadi kebiasaan bagi orang Aceh. Orang Aceh tak mahu tahu apakah si tamu itu datang berniat baik atau buruk, yang penting bu ‘nasi’ adalah tawaran pertama yang harus diajukan kepada si tamu.
 Sifat baik hati dan ramah tamah ini tak akan diunjuk kepada mereka yang telah melukai hati atau harga diri orang Aceh. Hal ini tampak sekali dalam hadih maja berikut: meunyoe ate hana teupeh/ aneuk kreh jeuet ta raba/ meunyoe ate ka teupeh/ bu leubeh han jipeutaba/ (kalau hati tidak tersinggung, buah pelir boleh diraba, kalau hati telah tersinggung, nasi lebih pun takkan ditawarkannya). 
Dalam hadih maja di atas, sifat reaktif orang Aceh sangat tampak jelas pada baris terakhir, bu leubeh han jipeutaba. Orang Aceh tak akan berbagi nasi lebih kepada mereka yang telah melukai hatinya, meskipun si pengusik itu telah berhari-hari tak makan nasi. Biar ada efek jeranya. Oleh sebab itu, jangan sesekali mengusik harga diri atau hati orang Aceh, agar sewaktu bertamu akan ada nasi lebih yang akan ditawarkan.
Jika hati/harga dirinya tidak diusik, sifat reaktif orang Aceh yang berdampak negatif tak akan ditunjukkan kepada orang yang melakukan sesuatu padanya, meski buah pelir (zakar) yang dipegangnya. Hal ini tampak dalam hadih maja di atas, aneuk kreh jeuet ta raba. Jika ditilik dari segi kewajaran, memegang anak pelir (zakar) seseorang adalah suatu perbuatan yang kurang wajar. Aneuk kreh jeuet ta raba dalam hadih maja di atas, sebagai tamsilan (saja) bahwa betapa orang Aceh takkan bereaksi negatif meskipun yang dipegang adalah buah pelir. Akan tetapi, jikalau hatinya telah tersakiti dan mencoba meraba buah pelirnya, mereka tak segan-segan untuk memukul si pengusik bahkan mau untuk membunuh si pengusik. 
Di samping itu, sifat reaktif orang Aceh secara kelompok juga akan ditunjukkan kepada orang lain (baik kepada individu maupun kelompok atau juga pemerintah). Misalnya, menguburkan jenazah dari keluarga seseorang yang di dalam masyarakat keluarga tersebut dicap sebagai keluarga penyantet. Maka sifat reaktif kelompok orang Aceh yang akan ditunjukkan adalah dengan tidak menguburkan jenazah tersebut. Meskipun dalam agama hal yang demikian dilarang.      
Begitu juga sifat reaktif orang Aceh terhadap pemerintah, khususnya pemerintah Indonesia. Sifat reaktif orang Aceh dalam membantu Indonesia tampak jelas tatkala orang Aceh menyumbang semua harta bendanya demi membeli dua buah pesawat terbang (seulawah RI). Masa itu memang harus diakui hati/harga diri orang Aceh belum terusik.    
Selain sifat ramah dan baik hati yang dimiliki oleh orang Aceh, sifat pendendam dan pemarah juga mendarah daging dalam diri orang Aceh. Sifat pemarah dan pendendam tersebut lahir dari sifat reaktif yang diperlihatkan orang Aceh tatkala mereka telah diusik. Muenyoe ka teupeh, dong beukong ‘kalau sudah diganggu, maka siap-siaplah’.
Orang yang telah melukai hati/ harga diri orang Aceh tak lagi dianggap sebagai sahabat, tamu, keluarga, musafir, dan orang yang dihormati. Orang Aceh akan menganggap mereka sebagai MUSUH yang harus “dibumihanguskan”.
Sifat reaktif orang Aceh terhadap musuh akan tampak sekali dalam hadih maja berikut; jirhom geutanyoe ngon ek leumo ta rhom jih ngon ek guda, ‘dilempar kita dengan tahi lembu, kita lempar dia dengan tahi kuda’. Inti dari hadih maja di atas adalah orang Aceh akan membalas perbuatan si pengusik dengan … “ta rhom jih ngon ek guda” (secara alamiah, tahi kuda lebih keras dibandingkan tahi lembu). Demi mempertahankan harga diri, orang Aceh rela berperang hingga titik darah penghabisan. Hal tersebut telah diamanahkan oleh endatu-endatu orang Aceh, bahwa menjaga harga diri adalah suatu hal yang sangat diutamakan, bahle matee daripada malee. 
Sifat reaktif orang Aceh dalam bentuk protektif (memberi perlindungan, baik kepada keluarga, teman, dan juga sahabat) akan sangat tampak tatkala salah satu dari mereka (keluarga, teman sahabat) diusik. Orang Aceh-lah yang akan pertama sekali tajo u likeu (menghadapi si pengusik) bukan yang terkena usik. Meski orang Aceh memiliki watak keras bak karang di lautan , namun sifat lembut orang Aceh juga akan tampak seperti pada kasus di atas (dalam hal memberi perlindungan).
Jika ada orang dari luar Aceh yang datang ke Aceh dan bersahabat/bergaul dengan orang Aceh, tatkala ia kembali ke daerah atau negara asalnya ada satu hal yang akan melekat di hati si pendatang yakni orang Aceh selalu menawarkan bu, bu, dan bu kepada tamunya. Maka dari itu, sering-seringlah main ke Aceh biar Anda selalu ditawari bu, bu, dan bu. Satu hal pula yang harus diingat, ketika Anda telah lama berada di Aceh, makan nasi orang Aceh, minum air orang Aceh, bergaul dengan pemuda dan pemudi Aceh, dan menghirup udara di tanah Aceh, saat Anda kembali ke kampung asal jangan pernah menyebut-menyebut “Aceh itu kampung saya” karena itu sangat berbahaya. Tetapi boleh Anda berkata, “saya dulu pernah tinggal di Aceh”. Hidup bangsa Aceh, bangsa teuleubeh ateuh rung donya!
--------------
                
Azmi Labohaji