Seperti hujan malam kemarin, malam ini rintiknya juga masih sama, tak terlalu lebat. Hawa dinginnya merayap perlahan-lahan menaiki dinding rumah dan berakhir di tubuhku. Tak tahan dengan hawa dinginnya yang terus menusuk tubuh, aku pun menghangatkan diri di depan perapian. Aku sangat membutuhkan hangat api untuk kali ini. Seiring dengan kebutuhan akan kehangatan, ketakutanku pun mulai merongrong tubuhku.
Ketakutanku pada malam ini sangat beralasan, sebab malam masih terlalu panjang sedangkan kayu untuk kucampakkan pada api yang masih menyala hebat itu hanya tersisa dua bongkahan kecil. Harus dengan apa kuhangatkan tubuhku ini nantinya??? Selimut tebal masih dalam cengkraman ember di kamar mandi. Sarung yang kupakai sehari-hari tak kutahu lagi di mana keberadaannya. Ah, aku semakin takut saja!
Sambil membenarkan letak kayu yang tengah dilahap si jago merah, tanpa sengaja besi yang kupakai untuk membenarkan letak kayu di dalam tungku mengeluarkan arang yang masih bersarang api di dalamnya. Bara api itu tercampak tepat di bawah letak bingkai foto yang berisi gambar istriku. Tak ingin bingkai foto tersebut disentuh oleh bara api yang masih menyala, cepat-cepat kutumpahkan kopi ke atas bara yang masih membara. Bara padam. Lalu kupunggut dan kucampakkan kembali dalam tungku.
Aku kembali pada bingkai foto yang berisi gambar istriku. Saat hendak kuambil foto tersebut, tangan yang hendak meraih bingkai foto istriku itu tertahan oleh getaran handphone dalam saku celana. Sebuah pesan singkat menghiasi layar handphone-ku. Pesan singkat itu mengabarkan bahwa seseorang yang mengantarkan pizza telah berdiri tegak di depan pintu rumahku. Aku bergerak ke sana.
Selepas kubuka pintu, tampaklah si pengantar pizza yang terbalut dengan mantel hujan. Ia menyerahkan pesanan dan menyebutkan harga yang harus kubayar untuk pesanan tersebut. Aku sibuk merogeh saku celana mengeluarkan uang dan si pengantar pizza asik membenarkan mantel hujannya. Saat kuserahkan uang pada si pengantar pizza raut wajahku langsung berubah. Aku menatap si pengantar pesananku dengan terpukau. Seorang perempuan cantik dan berprofesi sebagai pengantar pizza. Aku mengenal perempuan ini.
Ah, tanpa kuperintah, pikiranku langsung berpikir liar.
Perempuan cantik. Malam yang dihiasi hujan. Lalu aku pun berpikir semakin liar bahwa perempuan cantik dan hujan adalah dua hal yang sangat indah dan sangat didambakan oleh semua kaum adam sepertiku. Harus diakui perempuan cantik dan hujan mampu melahirkan keindahan yang tak pernah mampu kita bayangkan!
Kami sama-sama terpaku dan saling menatap bola mata. Tangan si perempuan pengantar Pizza dan tanganku terpaku pada pecahan lima puluh ribu. Dengan tingkah yang asing, aku pun menyudahi tatapan yang sangat bermakna dengan cara melihat ke kiri dan ke kanan lalu berucap padanya, “Ini uangnya!” Perempuan pengantar pizza mengambil uang tersebut dan berlalu dari hadapanku setelah mengucapkan terima kasih.
Aku masih menatap perempuan pengantar pizza itu. Entah kenapa baru kali ini aku ingin berlama-lama menatap perempuan. Padahal pada hari-hari biasanya aku sangat sering bersemuka dengan perempuan-perempuan cantik dan takkan ada pandangan yang akan berlangsung lama seperti ini. Tapi kali ini lain sekali. Lantas, aku pun mulai mendukung pernyataan liarku tadi tentang hujan dan perempuan cantik!
Di bawah rintik hujan, perempuan pengantar pizza itu menutup pagar depan rumahku dengan amat hati-hati seraya menatapku dengan tatapan yang dalam dan penuh makna. Sebuah tatapan yang harus benar-benar kumaknai dengan sangat cermat. Kini ia telah berada di atas motor dan hendak pergi, tapi gerakkan tangannya yang meraba-raba saku baju dan celana menandakan bahwa ada sesuatu yang hilang. Aku semakin kasihan padanya dan rintik hujan pun mulai melebat.
Aku masih terpaku di depan pintu menatap perempuan pengantar pizza yang belum menemukan sesuatu yang hilang. Tanpa sengaja saat aku hendak berbalik masuk ke dalam rumah, kakiku menyepak sebuah kunci motor. Tak salah lagi, perempuan itu pasti kehilangan benda yang mampu menyalakan motornya.
“Nona, pasti kau tengah mencari benda ini, bukan?” ucapku setengah teriak.
Perempuan pengantar pizza itu langsung mengiyakannya dan beranjak kembali padaku untuk mengambil benda yang telah kutunjukkan padanya. Aku pun menyerahkan kunci tersebut padanya seraya menatap bola mata dan raut rupanya yang indah.
“Terima kasih,” ucap perempuan pengantar pizza padaku. Aku tak membalas ucapan terima kasihnya. Pikiranku semakin liar dan hujan semakin melebat.
“Aku belum pernah melihat perempuan secantik dirimu yang mau melakoni pekerjaan seperti ini.”
Perempuan pengantar pizza terdiam dan menatapku aneh.
“Terima kasih atas pujiannya,” ujar perempuan pengantar pizza untuk yang kedua kalinya.
Aku tak membalas ucapan terima kasihnya untuk yang kedua kali. Aku malah melontarkan pertanyaan gila padanya.
“Maukahkah kau menemaniku untuk malam ini? Aku akan membayarmu berapapun harganya! Aku tahu ini pertanyaan gila, tetapi aku membutuhkan jawabanmu sekarang!”
“Maaf!!! A a a ku bukan perempuan yang seperti kau ….”
Belum selesai ia menyempurnakan kalimatnya, tanganku dengan sebilah benda yang sangat menakutkan telah berada di salah satu bagian tubuhnya.
Hujan akhirnya menyempurnakan malam. Ia melebatkan rintiknya. Hawa dingin semakin menari-nari memeluk tubuh-tubuh yang kesepian. Di rumahku, tepatnya di depan tungku perapian, kini hanya ada aku dan si perempuan pengantar pizza. Dan kini, tak ada lagi ketakutan yang bersemayam di tubuhku karena aku telah mendapatkan dua kehangatan yang berbeda. Hujan pun semakin lebat!
“Telah lama sekali aku mencari dan mengikuti jejak langkahmu dan pada akhirnya aku menemukanmu juga, nona. Kau tahu, aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa suatu saat aku pasti akan menikmati tubuhmu dan ini adalah balasan atas apa yang telah engkau lakukan padaku, nona,” ucapku pada perempuan pengantar pizza itu seraya menggerak-gerakkan tubuhku di atas tubuhnya.
“Andai saja kau mau menerima lamaranku dulu, nona, maka hal ini takkan pernah terjadi. Tapi saat itu kau menolaknya serta berkata dengan sangat angkuh padaku. Sekarang nikmatilah saat-saat yang indah ini meskipun kau terpaksa!”
Hujan kian melebat, di depan tungku perapian, kami pun mendesah semakin hebat. Aku semakin gila seraya menatap raut mukanya yang indah bersahaja. Aku merindukan kata-kata dari perempuan pengantar pizza saat itu, tapi mulutnya terus terkatup dan mata tertutup. Perempuan pengantar pizza itu menikmati persetubuhan ini dengan penuh paksaan dan itu berakhir hingga pagi buta.
Di depan meja kerja, perempuan tambun yang lehernya dililit mutiara ternama, menerima karyawannya. Ada percakapan yang menakutkan di sana.
“Mulai hari ini saya berhenti bekerja!”
Perempuan tambun pemiliki usaha makanan Italia itu pun terkejut bukan kepalang. Baru mengawali pagi sudah ada karyawan yang ingin berhenti.
“Kamu kenapa? Kok tiba-tiba ingin berhenti bekerja? Kamu itu salah satu karyawan terbaik di sini dan saya tak menginginkan kamu melakukan hal tersebut. Ada apa denganmu??”
Sambil mengeluarkan bulir bening dari kedua bola matanya yang indah, perempuan pengantar pizza itu berucap apa adanya.
“Suamimu telah meniduriku semalam saat aku mengantarkan pizza padanya. Bila saya tak mau melakukannya, maka sebilah belati yang ada di tangannya siap untuk mengeluarkan usus-usus saya!”
“Bejaaat!!!!” teriak perempuan tambun yang lehernya dililit mutiara ternama seraya menumpahkan segenap benda yang ada di atas meja kerjanya. Perempuan tambun itu pun meraih kunci mobil dan berlari keluar ruangan.
Di sana, di atas sofa yang empuk sang suami bersama gelas kopi paginya asik tersenyum seorang diri mengingat peristiwa yang terjadi semalam. Namun, sang suami tak menyadari bahwa senyumannya itu takkan bertahan lama karena sebentar lagi raksasa yang telah memberinya kemewahan itu akan menghancurkannya tanpa ampun!
------------
Darussalam, November 2014
Oleh: Azmi Labohaji
Dimuat di Harian Serambi Indonesia, Minggu 7 Desember 2014
Nanti tulis juga, Perempuan pengantar nasi padang. :)
ReplyDelete