Thursday, 20 November 2014

Gigèh Meutakèh




Meunyoö hana tauseuha
panè atra rhöt di manyang
(kalau tidak berusaha
Manalah ada harta jatuh dari langit)




Inilah sepatah hadih maja yang dikutip dari buku Memahami Orang Aceh karya Dr. Mohd. Harun, M.Pd., yang  mungkin dapat memperjelas  perkara yang menyatakan bahwa orang Aceh malas. Di sana terdapat sebuah ungkapan yang layak kita cermati, yang berbunyi panè atra rhöt di manyang ‘manalah ada harta yang jatuh dari langit’ yang bermaksud bahwa rezeki seseorang manusia tidak akan datang begitu saja tanpa diusahakan (harta jatuh dari langit). Dari ungkapan itu, tampak jelas pesan yang tersirat, yakni selagi manusia masih membutuhkan makan dan minum, maka wajib baginya untuk berusaha. Meski usaha yang ditempuh dengan cara yang berbeda-beda; halal dan haram.  Yang penting usaha, perkara dosa dan segala macam itu hati nurani masing-masing yang harus memutuskan. 

Karena berusaha mencari rezeki hukumnya wajib, maka setiap insan dilarang untuk menghayal tanpa diiringi dengan ikhtiar. Mana mungkin dengan hayalan saja padi akan menjadi beras, perut yang lapar akan terasa kenyang! Dan mana mungkin pula dengan menghayal saja harta akan jatuh dari langit! Sungguh tidak mungkin. Tuhan pun takkan memberi jika kita tak berusaha.


Dalam pandangan islam, ada tiga macam rezeki, yaitu rezeki yang dijanjikan Allah, rezeki yang diberikan Allah, dan rezeki yang didapat karena Allah, (Harun, 2009:56). Rezeki yang dijanjikan Allah adalah rezeki yang dianugerahkan Allah kepada setiap makhluk hidup. Dengan kata lain, setiap makhluk hidup pasti ada rezekinya di dunia ini karena Allah telah menyediakannya. Namun, rezeki itu harus diusahakan, bukan dengan cara duduk dan menghayal. 

Orang Aceh pemalas?
Mungkin stempel pemalas layak dicap pada segelintir orang Aceh saja, tapi tak layak dicap bagi “orang” Aceh. Sebagaimana yang diutarakan Denni Iskandar (Serambi Indonesia, Selasa 7 Februari 2011), bahwa teori lain yang lebih netral mengatakan soal malas atau rajin itu sangat individualistik dan bergantung pada moral, motivasi, rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Dan sekarang, sila melangkah ke Aceh dan saksikan sendiri dari sebagian banyak orang Aceh, saya yakin stigma orang Aceh pemalas akan segera lenyap ketika anda dapati bahwa orang Aceh banyak yang gigèh-nya daripada yang beuoe-nya. 

Sangatlah tidak benar jika dikatakan orang Aceh itu pemalas. Bagaimana mereka bisa bermalas-malasan jika beras di rumah tak ada. Apalagi bagi mereka (orang Aceh) yang sudah berkeluarga. Dari mana uang yang mereka dapatkan untuk memberi jajan sekolah anaknya, mengirimi uang untuk anaknya yang kuliah, jika mereka tidak bekerja. Pasti mereka akan bekerja walau hasil yang didapatkan kelak tak banyak. 

Selain itu, memang tak dapat dipungkiri bahwa prinsip pajoh atra yang kana ‘menikmati yang sudah ada’ masih melekat erat pada segelintir orang Aceh. Maka, selagi atra yang kana (stok) masih banyak, mungkin sebagian dari mereka itu akan beristirahat atau bersantai untuk me-refresh badan yang lelah. Bisa jadi dalam jangka waktu tersebut sebagian orang menafsirkan orang Aceh malas. Ini seratus persen tidak benar. Dan prinsip pajoh atra yang kana pun tak terlepas dari banyak faktor. Salah satunya, orang Aceh banyak yang tak punya pekerjaan tetap. Misalnya, mereka yang bekerja sebagai kuli bangunan, yang kadang-kadang bekerja selama seminggu dan “nganggur” selama seminggu juga. Jadi, selagi ada pekerjaan yang baru, maka atra yang kana itulah yang akan dinikmati dulu.

Menyambil 
Pada kehidupan sehari-hari, banyak orang tua yang menasehati anaknya melalui ungkapan yang menjurus pada berusaha. Salah satunya  gigèh meutakèh, beuo meukeudo (gigih berkerak, malas berkeruh). Artinya, jika kita ulet, gigih dalam berusaha, maka kebutuhan-kebutuhan kita sehari akan terpenuhi. Begitu juga dengan keadaan perut, perut kita takkan keroncongan jika kita gigih dalam berusaha. Sebaliknya, jika beuo meukeudo maka keroncongan itu adalah sahabat yang tak pernah lekang dari perut kita. 

Di sisi lain, jika kita mengamati orang Aceh yang berprofesi sebagai petani di pedalaman kampung sana, pekerjaan menyambil (seumambee) banyak mereka lakukan. Misalnya, di samping menanam padi, di setiap pematang sawahnya pasti ada beberapa batang jagung dan kacang panjang yang akan mereka tanami. Karena selain padi dipanen kelak, jagung dan kacang panjang pun ikut dipanen. Bahkan sebagian lagi ada yang memanfaatkan waktu sebaik mungkin; pagi ke sawah, siangnya mereka ke ladang. Dan ini merupaka bagian dari ke-gigèh-an seseorang. Walaupun itu pekerjaan sambilan, jika dilakukan dengan baik, ternyata mendatangkan manfaat yang baik pula. 

Selain itu, prinsip gaki jak urat meunari/ na tajak na raseuki (kaki berjalan urat menari/ ada berjalan ada rezeki)  masih dipegang teguh orang Aceh. Karena ketika kaki sudah melangkah, pasti ada rezeki yang akan kita peroleh. Walaupun tempat tujuan ia pergi itu ke warung kopi. Mungkin di sana akan ada teman yang akan menawarkan pekerjaan. 

Kemudian, endatu orang Aceh juga telah mengajarkan bahwa bermalas-malasan itu dilarang.  Sebab akhir dari bermalas-malasan itu pasti mengharap pada orang lain. Nah, jika kita mau membuka halaman sejarah, maka di sana akan tertulis bahwa Aceh pernah mengenyam predikat penghasil lada terbanyak di dunia. Jadi, jika orang Aceh distempel “pemalas” maka itu akan sangat bertentangan dengan apa yang tertulis dalam sejarah.  

Jadi, perlu dikaji ulang jika ingin men-stempel orang Aceh pemalas. Sebab tak semua orang Aceh pemalas. Meskipun hasil buminya melimpah, tapi mereka tak ingin dininabobokan  atau terlena dengan hasil bumi tersebut, karena hasil jerih payah sendiri rasanya akan sangat berbeda dengan hasil yang diberikan cuma-cuma. Maka, stempel yang layak dicap untuk orang Aceh adalah ureung Aceh lee nyang gigèh meutakèh (orang Aceh banyak yang gigih berkerak).


oleh: Azmi Labohaji
Kamis, 20 November 2014

Gigèh Meutakèh 'gigih Berkerak'

No comments:

Post a Comment