Kata bingkeng dalam bahasa Aceh mungkin bisa kita sejajarkan dengan kata judes atau kata temperamen dalam bahasa Indonesia. Kata ini (bingkeng) dalam tuturan sehari-hari bisa kita jumpai pada penutur bahasa Aceh wilayah selatan. Bingkeng dalam bahasa Aceh bisa diartikan lebih kurang orang yang cepat marah atau orang yang cepat naik emosi. Begitu juga kata judes atau temperamen dalam bahasa Indonesia yang bermakna sifat batin yang tetap mempengaruhi perbuatan, perasaan, pikiran, dan pikiran seseorang.
Bingkeng termasuk ke dalam salah satu sifat manusia. Sifat bingkeng ini tidak disukai banyak orang. Sebab, orang yang memiliki sifat tersebut biasanya akan dijauhi oleh banyak orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang mau dekat atau mau bergaul dengan si manusia yang memiliki sifat tersebut. Orang-orang yang mau berteman atau berkawan dengan si manusia bingkeng itu pun karena ada tujuan tertentu. Kalau ia tak memiliki tujuan tertentu maka ia tak akan berteman dengan orang tersebut.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Orang yang memiliki sifat tersebut (bingkeng) jika ada sesuatu hal yang kurang berkenan atau kurang pas di matanya, emosinya langsung mendidih dan objek yang menjadi sasaran tempat ia ruahkan emosinya langsung disiram atau dihujani dengan kata-kata yang membuat telinga terasa panas.
Pernah suatu kali, di sebuah pertemuan perkuliahan, kala itu mata kuliahnya ialah mata kuliah yang mengkaji tentang fonem, bunyi, dan alat-alat ucap yang menghasilkan suara (fon). Di silabus perkuliahan mata kuliah tersebut diberi nama Bunyi. Kami semua telah berada di dalam kelas menunggu kehadiran sang dosen. Detik pun berlalu berganti menit. Lalu menit berganti jam. Akhirnya, sang dosen masuk ke dalam ruang kelas meski telah telat lima belas menit. Suasana kelas masih dibalut keriuhan. Seorang teman saya, Maun, duduk dengan seorang mahasiswa yang berasal dari Singkil, Udin. Maun ternyata terpesona dengan sapu tangan yang baru saja di beli si mahasiswa yang berasal dari Singkil itu. Maun langsung mengambilnya dan mengelap keningnya yang tak berkeringat.
Ternyata apa yang dilakukan Maun dilihat sang dosen. Tanpa butuh waktu lama, sang dosen langsung menyiram Maun dengan kata-kata dan sindiran-sindiran yang begitu “mematikan”. Wajah Maun langsung berubah seratus derajat. Kupingnya memerah. Bola matanya memerah. Maun kalah, malu, salah tingkah, dan langsung keluar kelas. Padahal sang dosen tidak menyuruh ia keluar.
Sejenak kami tertawa dengan apa yang telah diperbuat Maun. Namun, lama kelamaan, seiring tidak kembalinya Maun ke dalam kelas, kami mulai membenci sang dosen. Ia bukan lagi mengajar, melainkan berceramah. Ceramah yang menurut kami tak patut untuk didengar.
Hari berlalu berganti minggu. Mata kuliah Bunyi kembali diikuti. Maun, dengan setelan baju yang begitu menarik duduk di samping Udin. Kini ia tak lagi meminta sapu tangan pada Udin, sebab ia takut kejadian minggu lalu akan terulang kembali. Kini Maun hanya duduk diam tanpa banyak kata.
Perkuliahan pun telah berjalan tiga puluh menit. Sang dosen menjelaskan dengan berapi-api. Kala sang dosen berhenti dari menjelaskan tentang materi yang baru saja ia berikan, Maun mengacungkan jemari telunjuknya. Maun bertanya. Begitu santun bahasa bertanya Maun. Kalimatnya teratur. Diksinya pas. Dan Maun pun selesai bertanya. Gemuruh tepuk tangan dari kawan-kawan memenuhi ruangan. Gemuruh itu menghilang. Kini tinggal menunggu jawaban dari sang dosen
Sang dosen menatap Maun. Suasana hening sejenak. “Kamu pungo atau gila?” tanya sang dosen pada Maun. Spontan Maun terhentak. Bukan jawaban yang ia inginkan yang ia dapatkan malah pertanyaan beserta ejekan yang ia terima. “Saya kan belum mempersilahkan kamu dan yang lainnya untuk bertanya! Kamu ini begok atau Pa’ak?” Sang dosen kembali menyiram Maun. Mata, muka, dan telinga Maun memerah. Kata-kata sang dosen ibarat bensin dan pemantik api. Dan hati Maun adalah kayu bakarnya. Hati Maun kini terbakar hebat.
Hati telah terbakar. Harga diri telah dipijak. Maun berdiri dengan tegapnya dan jemari telunjuknya menunjuk wajah sang dosen. “Hoi!” ucap Maun pada sang dosen,”Seorang dosen yang baik tak memiliki mulut seperti Anda dan juga tak memiliki sifat bingkeng seperti Anda. Seorang dosen yang baik itu bukan seperti Anda, mencerca anak didiknya. Dosen yang baik itu selalu menjawab pertanyaan anak didiknya meski waktu bertanya belum diberikan. Anda ini terlalu bingkeng! Kalau tidak sanggup menjadi dosen, jak woe keudeh jak mita boh-boh sidom (pulang sana cari telur semut). Karena di sini bukan tempat orang-orang sperti Anda. Alah hai dosen Bingkeng!”
Sang dosen terdiam tanpa kata. Pukulan Maun ternyata amat telak. Muka sang dosen memerah, telinganya memerah, tangannya dikepal kuat. Namun semua itu tak membuat Maun menggigil atau takut. Ia langsung meraih tasnya. “Bingkeng? Ke laut ajaaa!” ucap Maun dengan nada mengejek dan berlalu keluar kelas.
Sang dosen malu bukan main. Hari ini karena sifatnya yang bingkeng itu, ia telah dipermalukan oleh mahasiswanya sendiri. Dan Maun, setelah hari tersebut, ia tak pernah lagi masuk ke dalam kelas dosen yang mengasuh mata kuliah Bunyi.
Hari berlalu bertukar dengan minggu. Minggu bertukar dengan bulan hingga nilai mata kuliah bunyi pun diumumkan. Maun datang melihatnya. Di ujung namanya, terteralah sebuah huruf E _apital. Maun tidak lulus. Namun, ia tidak tinggal diam. Segera diraih balpoin dan ditulislah beberapa kata di bawah nama dosen yang mengasuh mata kuliah tersebut. ORANG BINGKENG LAGI PENDENDAM AKAN MASUK NERAKA. ITU PASTI KATA TUHAN. TERIMA KASIH PAK BINGKENG ATAS NILAINYA!
Maun pergi meninggalkan tempat pengumuman nilai seraya bersiul-siul menang. Tak lama kemudian atas tulisan yang telah ditulis Maun pada lembar pengumuman nilai, ia menjadi terkenal. Dan sang dosen tersebut hingga seterusnya dipanggil dengan sebutan Pak BINGKENG. Tak ada penyesalan dalam diri Maun, karena kini ia merasa telah menang.
***
oleh: Azmi Labohaji
Kau tau siapa si Bingkeng itu????
ReplyDelete