Friday, 16 March 2018

Di Atas Puncak Gemilang, Ingin Aku Merayu Takdir

Hari itu cuaca sangat cerah. Saat aku duduk di atas bangku taman sembari memandang ke hamparan pemandangan nan indah-hamparan laut dan perumahan warga-lalu kau datang, dan duduk dengan manis disampingku.

"Sudah dua kali. Tapi, entahlah, mungkin tiga kali sudah ..." tiba-tiba kau berucap padaku. Lalu kau menutup muka dengan kedua tanganmu. Entah itu gerakan atas penyesalan. Entah itu gerakan malu. Aku tak tahu. Yang jelas saat itu aku tak lagi melihat wajahmu.

Kalimat yang baru saja kau utarakan padaku ini adalah jawaban atas pertanyaan yang telah kutanyakan padamu tiga puluh hari yang lalu. Dan kau, baru menjawabnya sekarang. Aku tahu, itu adalah pertanyaan yang teramat berat bagimu.
***
Di atas puncak gemilang ini, kupikir, posisi kita dengan Tuhan dekat sekali. Ingin sekali aku meminta dengan lembut pada-Nya tentang takdir. Ya, aku ingin merayu pada Tuhan agar takdirku tentang hubungan denganmu yang sedang berada di sampingku kini berakhir seperti yang kuinginkan.

Tapi takdir selalu punya jalannya sendiri. Apakah itu akan bermuara pada kebahagiaan atau akan berakhir pada kesedihan yang panjang. Tapi, kali ini walau bagaimanapun gerakan yang akan aku lakukan untuk merayu takdir, takdir tetap pada pendiriannya. Jelas, kali ini aku tak kuasa merayunya.

Sebenarnya ingin sekali kulingkari sebuah cincin emas di jari manismu sebagai sebuah tanda. Ya, tanda bahwa kau sudah aku miliki. Tapi mimpi untuk itu tak bisa kuwujudkan. Sebabnya jelas sekali, aku tak mampu buat berdamai dengan hati dan perasaanku tentang kalimat yang kau ucapkan tadi.

Dari bentuk wajah, bentuk hidung, warna kulit (hitam manis), tinggi badan, dan lekuk bibir yang kau miliki, kau adalah gadis yang selalu kuharapkan dalam setiap doa-doaku. Kau adalah gadis yang memiliki semua ciri-ciri yang kuinginkan. Tapi, di satu titik (yang tak mampu kusebut, bahkan tak berani aku menulisnya) kau adalah gadis yang tak mau kusebut dalam setiap doa-doaku. Bahkan untuk memilikimu pun aku harus berpikir selama enam puluh hari lamanya. Selain itu, jika pun aku harus memilikimu, ada sebuah tantangan berat yang harus aku menangi. Aku harus bertarung melawan perasaan yang saban detik datang mengaduk-ngaduk kejiwaanku dengan kalimatnya yang cukup membuat aku geram:

"Kau adalah lelaki bodoh yang telah buta mata hatinya dan tak tahu bagaimana cara menikmati kenikmatan yang berasal dari surga. Sungguh kau adalah lelaki bodoh ..."

Bila kalimat ini saban detik berkoar-koar di dalam gendang telinga, apalagi saat menyesap kopi yang nikmat, maka pertanyaannya adalah, lelaki mana yang mampu bertahan membentengi diri memusnahkan kalimat tersebut???

Di atas Puncak Gemilang ini, kupikir, posisi kita dengan Tuhan dekat sekali. Tuhan merasakan degupan jantungku beserta kalimat sedih di dalamnya. Tuhan juga merasakan amarah teriakan dalam tubuhku yang ingin aku muntahkan. Tuhan merasakan apa yang aku rasakan di atas Puncak Gemilang itu. Tapi, kenapa Tuhan masih mengirimkan gadis yang lahir di bulan Juni itu buatku? Padahal, di satu sisi, aku benci bulan Juni, di sisi yang lain aku amat mencintai bulan Juni. Bahkan yang lebih gilanya lagi, aku baru saja memberikan separuh hatiku buat gadis yang jari-jari tangannya lihai sekali memainkan tut piano.

Lagi-lagi aku mengalah pada takdir. Mungkin ini sudah menjadi takdir atau suratan buatku. Dan aku, masih berdiri pada keyakinanku yang teguh. Tuhan tidak akan tinggal diam atas hatiku yang baru saja remuk ini. Mungkin Tuhan lagi menyiapkan gadis buatku yang lahir di bulan Januari, atau Februari, mungkin Maret, bisa jadi April, bisa saja Mei, atau Juli, mungkin Agustus, kadang September, atau saja Oktober, mungkin saja November, atau Desember. Gadis dengan perawakan yang seperti selalu kusebutkan dalam doaku. Dan yang terpenting bukan gadis yang lahir di bulan Juni yang dikirim Tuhan buatku. Amin.

Di atas Puncak Gemilang ini, posisi kita teramat dekat dengan Tuhan. Andai saja aku masih merengek mencoba merayu takdir, mungkin Tuhan akan mengirimkan laknatnya kepadaku dalam bentuk secuil petir yang mampu membelah laut Tapaktuan itu. Tapi, itu tak lagi kulakukan. Sekarang, kepadamu wahai gadis yang selalu kupanggil dengan sebutan "Kilau", pergilah. Pergilah meskipun kau membawa separuh hatiku. Aku tak apa-apa. Karena aku yakin sekali, dalam setiap rapal doaku, lambat laun hatiku yang kau bawa pergi itu dengan sendirinya akan menghilang. Aku yakin sekali.

Terakhir, yang ingin kuucapkan adalah terima kasih atas jalinan kasih yang singkat ini. Untung saja kita belum merajut kisah ini terlalu jauh. Andai saja itu terjadi, tak terpikir olehku apa yang akan terjadi bila kita berumah tangga, memiliki anak yang lucu, sudah pasti kekacauan adalah makanan kita sehari-hari. Kau tak perlu resah, wahai "kilau", mungkin yang perlu kau ingat atau bahkan perlu kau tulis di dalam palung hatimu yang terdalam adalah kalimat ini:
"Kukagumi kau untuk waktu yang singkat. Selepas itu, kita bukanlah sepasang takdir yang saling mendoakan dalam setiap sujud."

Sebagai penutup cerita ini, aku teringat kalimat indah yang kekuatannya dahsyat luar biasa. Kalimat tersebut membuat tubuhku seperti teraliri semangat yang dimiliki oleh pejuang Aceh zaman dahulu kala. Kalimatnya seperti ini.

"Lelaki yang baik memang dipersiapkan buat perempuan yang baik. Begitu juga sebaliknya, perempuan tak baik hanya dimiliki oleh lelaki yang tak baik pula!"


                               
                                                                                           Kalimantan Barat, Februari 2018

2 comments:

  1. Takdir itu bagaikan janji bg,sudah tertulis tapi bisa saja di ubah....
    Msalah wanita baik untuk laki2 yg baik,itu kepastian yg tidak akan meleset ��

    Great job by azmi tulisannya keren

    ReplyDelete
  2. Tidak ada kriteria wanita baik dan wanita tidak baik. Tapi kriteria wanita soleha dengan wanita tidak soleha itu baru ada

    ReplyDelete