Ini
adalah sepotong kisah nyata yang baru saja kualami. Sebagai alumni SM-3T
angkatan II, mengajar dan mendidik sudah menjadi sesuatu kebutuhan yang sangat
penting bagiku. Beberapa bulan setelah menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru
(PPG) di LPTK Universitas Syiah Kuala, aku memutuskan untuk kembali ke kampung
halaman, Labuhanhaji, Aceh Selatan. Pilihan kembali ke kampung halaman dan
mengabdi di sekolah-sekolah yang ada di kampung cukup beralasan. Di daerahku
itu masih digolongkan sebagai daerah 3T, sekolah-sekolah masih kekurangan guru.
Maka dari itu, kuputuskanlah untuk kembali ke kampung halaman dan mengabdi di
sana.
Setiba di
kampung halaman, aku diminta untuk mengajar di sebuah sekolah. Sekolah itu
bernama Sekolah Menengah Atas Negeri Unggul Darussalam Labuhanhaji. Meski sudah
berstatus negeri, unggul lagi, tetapi sekolah itu baru saja berdiri. Jelas guru
masih kurang! Hanya ada beberapa guru yang berstatus pegawai negeri dan sisanya
adalah guru horor (honor). Aku diminta oleh kepala sekolah untuk mengajarkan
pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal di sekolah tersebut guru Bahasa Indonesia
sudah ada. Aku menerimanya karena latar belakang pendidikan S1-ku juga dari
Pendidikan Bahasa Indonesia.
Seiring
waktu berjalan, salah seorang guru yang mengajarkan pelajaran Fisika, Pak Yusri,
menyodorkan padaku secarik kertas berwarna oren. Di kertas itu kudapati
pengumuman yang bernada “Letter Writing Competition 2015 dengan tema Budayaku
Identitasku”. Aku mengambil kertas tersebut lalu membacanya dengan serius.
“Di sekolah
ini ada beberapa anak yang punya kemampuan menulis, Pak. Coba Bapak tempel
pengumuman ini, mana tahu mereka ingin ikut,” ucap pak Yusri.
Aku
mengiyakannya dan langsung memperbanyak selebaran tersebut dan menempelnya di
dinding setiap kelas. Pada hari yang telah aku tentukan, saat aku memasuki
ruangan di sana kudapati enam orang siswa. Kujelaskan apa itu isi
pengumumannya, orang yang akan mereka jumpai bila mereka terpilih sebagai
finalis, dan juga kujelaskan tentang tema yang diusung oleh orang yang membuat
lomba tersebut. Setelah kujelaskan itu semua panjang lebar dan kuputuskanlah
tenggat waktu pengumpulan karya.
Pada hari
yang telah ditentukan, dari enam orang
yang semula ingin ikut, tetapi yang berhasil menyelesaikan surat tersebut hanya
dua orang. Satu orang menulis surat tersebut dengan sempurna dan sesuai dengan
jumlah karakter tulisan yang diminta oleh panitia dan sisanya tak menyelesaikan
surat tersebut sesuai dengan karakter yang telah ditentukan. Siswa yang
berhasil menulis surat dengan sempurna adalah Della Irfana. Dalam surat yang
dia buat itu, dia mengangkat budaya lokal yang ada di kampungnya yaitu Manoe Pucok!
Setelah
surat itu benar-benar sempurna, tentunya setelah kuperiksa sekali lagi EyD,
kalimatnya, dan juga cara dia mendeskripsikan Manoe Pucok itu seperti apa, pada hari Jumat, 19 Juni 2015, aku dan
Della pun pergi ke kantor pos untuk mengirimkan surat tersebut kepada mereka
(harian Republika Online).
“Hari ini
kamu telah melakukan sebuah pekerjaan yang orang lain belum tentu mampu
melakukannya, Della. Surat sudah kita kirim bersama-sama. Dan di Lombok sana,
tiga orang hebat Habiburrahman El Shirazy, Tere Liye, dan Ginatri S. Noer telah
menunggu kedatanganmu. Mereka ingin berjabat tangan denganmu dan juga ingin
berbagi ilmu denganmu. Selepas ini, sering-seringlah berdoa semoga karyamu itu
menang,” ucapku sambil tersenyum manis padanya.
“Ia, Pak,
terima kasih,” ucap Della dan membalas senyumku.
Pengumuman
tentang Writing Letter itu pun tiba.
Kala itu aku sedang mengecat sebuah kedai. Tiba-tiba di layar handphone-ku tampak sebuah nomor baru.
Panggilan itu kuangkat. Dari balik telpon terdengarlah suara yang tak asing
lagi. Dengan nada yang penuh keceriaan ia pun berkata padaku.
“Pak, ini
Della, tadi orang Republika ada telpon Della katanya Della masuk 30 besar!”
Aku langsung
bersyukur dan kutinggalkan kuas cat.
“Selamat
Della kamu akan berjumpa dengan tiga orang-orang hebat itu kelak di Lombok. Ya,
sudah, berita ini kita pastikan lagi kebenarannya. Jadi, besok kamu jumpai
bapak di sekolah!” aku menutup percakapan dengannya dan kembali melanjutkan
pekerjaan mengecat.
Keesokannya
setiba di sekolah, aku mencari kabar tentang perihal ini. Kuminta nomor handphone orang yang telah menelpon
Della. Kutelpon yang bersangkutan dan ternyata benar Della telah masuk ke dalam
30 finalis yang akan diberangkat ke Lombok untuk mengikuti pelatihan menulis di
Lombok bersama ketiga orang hebat itu. Selanjutnya, orang yang kemudian
kuketahui namanya Syatria itu mengirimiku poster tentang pengumuman tersebut
via email. Saat kuperhatikan poster tersebut, ternyata peserta yang berasal
dari Aceh bukan Della saja, tetapi ada dua yang lainnya; siswa yang berasal
dari MTsN Rukoh, Narid Sulthan Maulana, dan juga Rizki Mulia yang berasal dari
SMAN 1 Bambel Aceh (Aceh Tenggara). Kabar tentang Della berhasil menang dan
akan berangkat ke Lombok pun tersebar ke setiap telinga siswa-siswa yang
lainnya dan juga para guru yang ada di sekolah. Ucapan selamat pun bertubi-tubi
diterima Della. Dari raut wajahnya, Della tampak begitu bahagia, begitu juga
dengan aku, sebagai guru yang telah membimbingnya, juga turut merasakan
kebahagiaan itu.
Pengumuman
keberangkatan kubaca sekali lagi. Di sana tertulislah bahwa semua peserta wajib
mengikuti Winner Camp dari tanggal 6
sampai 10 Agustus 2015 di Lombok. Berarti
Della harus berangkat pada tanggal 5 Agustus 2016 dari Labuhanhaji menuju Banda
Aceh. Selain tanggal keberangkatan, ternyata ada beberapa berkas yang harus
disiapkan Della sebelum ia berangkat, salah satunya adalah surat izin orang
tua.
Pada tanggal
3 Agustus 2015, Della membawa serta orang tuanya menghadap kepala sekolah
membicarakan masalah keberangkatannya ke Lombok. Di dalam ruang kepala sekolah
kala itu hanya ada aku, Della, orang tuanya, dan kepala sekolah. Ketika
pembicaraan tiba pada titik intinya, di situlah Della harus mengubur mimpinya!
Ia tak dapat bertemu dengan ketiga orang hebat yang namanya telah tertulis di
dalam poster pengumuman tersebut.
Mimpi itu
terpaksa dikubur dalam-dalam oleh Della bersebab orang tuanya tak memberi izin
bagi Della untuk berangkat ke Lombok, NTB. Alasan yang diutarakan oleh orang
tua Della tak memberikan ia izin untuk berangkat ke Lombok adalah karena tak
ada guru pendamping yang mendapingi ia mulai dari Aceh sampai Ke Lombok.
“Bila tak
ada guru pendamping yang mendampinginya dari Aceh sampai ke Lombok, maka tak
ada izin buat Della untuk berangkat ke Lombok mengikuti acara tersebut,” ucap
orang tua Della.
Keadaan
semakin tegang kala itu. Della mulai tersedu-sedu karena apa yang baru saja
diucapkan oleh orang tuanya membuat ia begitu terpukul. Bapak kepala tak bisa
berbuat banyak. Aku apalagi!!! Lalu aku
pun mencoba untuk meyakinkan orang tua Della bahwa Della akan baik-baik saja
saat mengikuti acara tersebut.
“Saya sudah
menghubungi panitia pelaksana yang ada di Jakarta, Pak. Dan hal yang saya
tanyakan adalah masalah pendamping juga. Kata mereka, untuk pendamping mereka
tidak mampu menyediakan dana. Dana yang mereka sediakan hanya buat peserta
saja. Dan kata mereka, para peserta insyaallah akan aman mulai dari pertama
berangkat sampai ia kembali ke rumah masing-masing!” ucapku pada orang tua
Della.
Orang tua
Della tetap dengan keputusannya. Melihat orang tuanya yang masih teguh pada
pendiriannya, Della pun menangis sejadi-jadinya. Berjuta alasan diutarakan
Della untuk meyakinkan orang tuanya, tapi tetap saja alasan itu tak bermakna
bagi orang tuanya.
Ingin
kukatakan di sini, padahal Della beberapa hari sebelum tanggal 6 Agustus 2015
itu, ketika aku masuk mengajar di kelasnya, tertangkap olehku Della membaca
novel Ayat-Ayat Cinta. Ketika aku berkeliling-keliling kelas menjelaskan
tentang sebuah teori, mataku terus melirik ke arah novel Ayat-Ayat Cinta yang
ada di atas meja Della. Di antara lembar-lembar kertas novel tersebut,
menyembullah kertas berwarna ping. Kertas itu adalah kertas pembatas. Dan ia
kini berada di tengah-tengah novel.
Namun apa
hendak dikata, impian itu terpaksa dibuang jauh-jauh! Melihat
Della yang terus tersedu-sedu memohon pada orang tuanya, hatiku juga tak kuasa
menahannya. Ingin sekali kala itu aku berteriak! Ingin sekali hari itu aku juga
turut menangis bersama Della, muridku itu, di dalam ruang kepala sekolah itu agar
orang tuanya memberi izin untuk Della dapat berangkat ke Lombok. Tapi aku masih
kuasa menahannya dan itu pun tak berlangsung lama. Ketika Della pulang bersama
orang tuanya, aku keluar kantor, lalu di bawah pohon mangga yang rindang, tepat
di depan kantor, dalam buaian angin sepoi, air mataku keluar juga dari
sarangnya. Aku juga terpukul!
“Andai saja Engkau tahu, Pak, bahwa apa yang
telah diraih oleh Della bukan sesuatu yang diperoleh dengan amat mudah. Ini
prestasi nasional! Tidak semua anak punya kesempatan seperti ini dan tidak
semua anak memiliki nasib seberuntung Della! Anda telah menarik Lombok, Habiburrahman
El Shirazy, Tere Liye, dan juga
Ginatri S. Noer dari dalam kepala Della lalu menguburnya di dalam tanah yang
cukup dalam!” batinku berkata.
Beberapa jam
setelah kejadian itu, Della jatuh sakit. Lambungnya kembali berulah. Pak kepala
sekolah memanggilku. Ia ingin membicarakan hal itu lagi denganku.
***
Dua hari
setelah kejadian itu, Della menemuiku dengan wajah yang masih menyimpan
kekecewaan. Lalu ia pun berkata padaku.
“Pak, Bapak
masih mau membimbing, Della kan kalau ada perlombaan-perlombaan seperti itu
lagi?”
Pertanyaan
itu membuatku kembali bersemangat. Pertanyaan itu bagaikan listrik yang
menyetrum tubuhku yang telah hilang semangat. Dari pertanyaan itu aku mampu menyimpulkan
bahwa keadaan jiwa Della masih baik-baik saja! Lalu aku pun menjawabnya.
“Tentu, Nak.
Mau sekali! Membimbing setiap siswa yang mau menulis adalah kewajiban Bapak!
Tentu Bapak masih bersemangat untuk membimbingmu. Dan Bapak berharap padamu
tentang kejadian kemarin ada baiknya kamu tulis karena itu adalah salah satu
bukti sejarah bahwa kamu adalah salah satu anak yang berprestasi ketika masih
sekolah! Meskipun kamu tak sempat berjabat tangan dengan ketiga orang yang
hebat itu, tapi yakinlah suatu saat kadang takdir akan berkata bahwa ketiga
mereka-lah yang akan berjabat tangan denganmu atas penghargaan karya-karyamu.
Semoga. Pokoknya jangan lupa teruslah, membaca, membaca, membaca, lalu menulis,
menulis, dan menulis, kemudian berdoa. Itu saja!”
“Iya, Pak,
terima kasih banyak.”
Della
berbalik kembali ke kelas. Lalu aku pun kembali berkata padanya.
“Della,
tentang kejadian di hari Sabtu yang durjana itu jangan kamu tangisi lagi. Kamu
tak perlu menyalahkan siapa-siapa. Tak perlu menyalahkan orang tuamu, tak perlu
menyalahkan Bapak, atau yang lainnya. Ini adalah garis takdir. Garis takdirmu
telah terlukis seperti itu. Ingatlah satu hal, setiap orang tua mengharapkan
yang terbaik buat buah hatinya, dan Bapak mengharapkan kamu selalu menjadi
juara, dan Tuhan, telah mengariskan takdir yang terbaik buat ciptaannya! Itu
saja,” ucapku bijak dan berlalu darinya.
Della
kemudian melemparkan senyum kepadaku dan aku kembali masuk ke kelas karena bel
tanda pergantian pelajaran telah meraung-raung.***
SMA Unggul Darussalam Labuhan Haji,
2015
No comments:
Post a Comment