Monday, 30 November 2015

Setumpuk Rindu yang Tak Mampu Kualamatkan Padamu



Entah pada tatapan yang keberapa hatiku mulai terguncang hebat saat menatap erat rupamu. Guncangan hebat serupa itu pernah kurasakan pada lima belas tahun yang lalu. Guncangan yang kemudian baru kutahu artinya bahwa itu adalah sebentuk guncangan yang di dalamnya akan terlahir segenap cinta, kasih sayang, dan juga rindu yang tak terhingga banyaknya. Kali ini hatiku mulai kembali terguncang. Dan kau tahu untuk kali ini aku belum berani meng-alamatkannya padamu. 


Kalian tak perlu tahu siapakah sosok misterius dalam kisah ini yang sejatinya harus mendapatkan rindu dariku. Tak ada gambaran rupawannya yang akan kukisahkan dalam cerita ini. Tak ada lafaz namanya yang akan kuukir di sini. Yang tahu sosok misterius itu sejelita apa dia, sebaik apa dia, seanggun apa dia, hanyalah hatiku dan Tuhan saja. Untuk itu, kumohon janganlah kalian mencoba untuk menerka-nerka atau mereka-reka tentang dia karena itu akan sia-sia saja. 


Bila telah ada cinta yang terukir di hati tentu akan lahir pula kasih sayang yang luar biasa bersamanya. Bila keduanya itu telah menyelimuti diri, rindu yang tak terhingga banyaknya itu pun akan saban waktu menuntut untuk dilunasi. Ah, itu terlalu berat bagimu kelak!!! 


Aku sama sekali tak punya kuasa untuk menyalahi takdir yang telah menuntunku ke jalan yang rumit ini. Takdir selalu benar. Hanya saja aku yang belum siap untuk itu. Aku tak mau menyombongkan diri dalam hal ini. Tetapi untuk kau ketahui saja, aku ini adalah sesosok pecinta sejati!!! Bila cinta, rindu, dan juga kasih sayang telah kualamatkan pada seonggok hati maka aku tak mengenal alamat-alamat palsu lainnya. Serius! Dan untuk pembuktiannya silahkan kau tanyakan saja pada sesosok perempuan yang pernah lahir dibulan enam di sebuah daerah yang dingin. Tanyakan padanya!


Ibarat putri duyung yang apabila sudah berada di istana bawah laut ia akan malas untuk keluar ke permukaan air. Begitu pula dengan cinta, kasih sayang, dan juga setumpuk rindu yang kumiliki ini. Bila ia telah bertahta di dasar hati (si jelita) maka ia akan enggan untuk menari-nari di atas hati yang lain atau hati-hati yang tidak jelas! Njan ban!


Setiap kali aku menatap si jelita itu, detik itu juga hatiku berguncang. Kadang-kadang bila aku berhadapan langsung dengan si jelita saat berjalan, aku lebih memilih memutar haluan atau memilih jalan lain daripada berpapasan dengannya. Bila tetap kupaksakan untuk berpapasan dengannya, petaka akan tiba. Malamnya aku akan kembali teringat dengan si jelita itu. Aku rindu padanya. Tetapi rindu itu tak mampu kualamatkan. Nah, bila itu terjadi secara tidak langsung hatiku mulai menabung rindu demi rindu. Lama kelamaan rindu yang tertabung di dasar hati itu akan penuh. Bila hati tak kuasa lagi untuk menampungnya, tentu ia akan meledak!  Bila ia meledak maka aku akan mati. Lalu bila aku mati maka aku akan menghadap Tuhan. Bila Tuhan bertanya padaku kelak mengapa aku tak mengirim setumpuk rindu itu pada jelita ciptaan-Nya? Aku harus menjawab apa???!! Oh, aku takut sekali bila itu terjadi! 


Hal lain yang kutakuti bila aku bersikeras untuk mengalamatkan rindu ini pada si jelita adalah jelita akan merana tiada ampun! Rinduku bukanlah rindu biasa. Bukan seperti rindu para pejabat pencuri uang negara yang rindu pada buah dada montok dan juga selangkangan si gadis belia! Rindu seperti ini bernama ISSKU* (Kepanjangan ISSKU terlalu cabul bila kutulis di sini. Kalau kalian memang kepo inbox saja, nanti kukasih tahu kepanjangannya, 17+ tapi :-)). Bukan seumpama rindu si pungguk yang saban waktu merindukan bulan. Tak kesampaian. Bukan layaknya rindu anggota dewan yang saat pencalonan berjanji “naik ke bulan pakai Garuda Indonesia”, “pergi ke Arab naik pesawat tempur”, “lelaki muda yang hendak kawin akan diberi emas satu mayam dari pemerintah” dan pada saat sudah terpilih pura-pura gila alias lupa diri. Rindu seperti ini bernama *Pungo rindu. Bukan. Bukan seperti itu!


Rindu yang kupunya bila kualamatkan pada si jelita kira-kira akan berbunyi seperti ini, “Biar aku saja yang rindu. Kamu jangan. Ini berat. Kamu gak akan kuat nanti! Aku takut air matamu akan tumpah dan tak ada yang mengusapnya, Jelita!” Seperti itulah bentuk rinduku. Sungguh dalam maknanya bila kita resapi dalam-dalam, bukan?! Ya, hampir beda-beda tipislah dengan rindu miliknya Majnun dalam kisah Laila Majnun. Maka dari itu, aku tak main-main dengan rindu. 


Bayangkan saja sendiri bila si jelita telah mendapat satu rindu yang begitu dahsyat dalam satu hari maka konsekuensinya pada hari-hari selanjutnya ia harus mendapatkan rindu yang sama juga. Bila tidak maka seisi rumah akan gundah gulana. Jelita tak tenang menjalani hari. Jelita tak habis menyuap nasi. Jelita tak kuasa memandikan diri. Tak nyenyak tidur saban hari. Lalu mengutuk waktu karena rindu tak teralamatkan padanya. Nah, jelita yang mana yang tak tertusuk hatinya, yang tak tumpah ruah air matanya, bila ia mendapati rindu yang sebegitu rupa? Jelita yang mana??? Coba kausebutkan!  

Ketika waktu telah tiba, aku yakin sekali bahwa takdir akan memainkan perannya. Rindu akan teralamatkan juga pada hati yang tepat dengan segala akibatnya. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu saja. Sabar sambil bertasbih dan juga berzikir. Seraya memanjatkan doa yang manja pada Sang Pencipta. 


Tuhan juga tidak main-main dalam hal memberikan rindu pada hambanya. Tuhan akan menghembuskan rindu yang dahsyat pada orang yang hebat. Pada orang-orang yang mampu memanggulnya. Pada orang-orang yang mampu menjalani ujian-Nya. 


Jelita, di mana pun engkau berada saat ini, bila kaumembaca rentetan kalam ini berarti kau telah menemukan jawaban atas pertanyaanmu itu. Sebuah pertanyaan yang saban waktu kauutarakan padaku tentang mengapa tak juga kualamatkan rinduku itu buatmu. Semoga kaumembacanya dan menghayatinya dalam-dalam. Aku punya rindu yang hebat. Hanya tinggal menunggu waktu saja buat ia menetas. Bila waktunya telah tiba, rindu itu akan terbang layaknya kupu-kupu yang cantik lalu hinggap di hatimu nan indah itu. ***  

Berani share??? Hebat!!!   

Tuesday, 24 November 2015

Guru dan Segenap Air Matanya



“A teacher effects eternity, he can never tell where his influence stops” (Henry Adam). Petikan Henry Adam yang berarti ‘guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu di mana pengaruhnya itu berhenti’ membuat kita bangga menjadi seorang guru. Jika dikaji lebih dalam lagi makna yang tersirat dalam petikan Henry Adam tersebut memang benar guru itu abadi, ia tak pernah “mati”, guru itu akan selalu hidup dalam sanubari seseorang yang pernah diajar, pernah dididik hingga menjadi pintar. Untuk itu, sangat patut dibanggakan bila seseorang itu berprofesi sebagai guru.

Sebagaimana termaktub dalam KBBI guru memiliki definisi tersendiri yaitu, orang yang pekerjaan, mata pencaharian atau profesinya mengajar; guru merupakan sosok yang mengemban tugas mengajar, mendidik, dan membimbing. Sebagai orang yang mengajar, mendidik, dan membimbing, melakoni pekerjaan tersebut bukanlah perkara mudah. Dalam melakoninya, dibutuhkan kesabaran besar, keyakinan, dan keikhlasan yang tinggi. Karena dengan adanya kesabaran, keyakinan, dan keikhlasan dalam diri seorang guru, niscaya manusia yang dididiknya itu akan berhasil.

Dalam sehari guru bisa menghadapi 30 atau 60 siswa dengan karakter dan tingkah yang berbeda-beda. Sebagaimana jumlah anak didik yang setiap harinya dihadapi guru, sebanyak itu pula permasalahan yang harus dihadapi oleh seorang guru dalam sehari. Bisa dibayangkan bukan bagaimana beratnya menghadapi jumlah siswa sebanyak itu dengan karakter yang berbeda-beda? Nah, melihat hal itu masih beranikah kita mengatakan pekerjaan guru itu adalah pekerjaan yang sepele??? Ayo jujurlah!

Baik, kali ini saya bukan bercerita tentang bagaimana seorang guru itu menghadapi anak-anak didiknya yang batat-batat dan menyelamatkan mereka menjadi insan yang berguna. Kali ini saya akan berkisah tentang “air mata” atau nasib seorang guru yang telah terlanjur menjadi guru. Atau mereka yang sedang kuliah untuk menjadi guru. Nasib guru yang tengah berjuang melawan himpitan ekonomi dengan tetap mengajar dan mendidik meskipun bayaran yang diterima sangat “kurang ajar” alias tidak wajar!
Saya sengaja memilih judul “Guru dan Segenap Air Matanya” untuk tulisan kali ini. Mengingat bulan ini pada salah satu tanggal yang terlukis di kalender tertera tulisan Hari Guru Nasional. Jadi, saya (mungkin juga Anda) sebagai orang yang pernah dididik oleh seorang guru, ingin mengenang mereka. Ya, saya akan mengenang mereka dengan cara saya sendiri.

Sebagaimana telah disinggung di atas, kali ini saya akan mengajak Anda untuk melihat lebih dalam lagi tentang problema yang dialami oleh para guru. Mulai dari mereka yang sudah menjadi pegawai negeri sipil dan bersertifikasi, mereka yang honorer dengan bayaran “kurang ajar” alias tidak masuk akal, hingga mereka yang tengah/telah selesai kuliah di fakultas keguruan. Dari ketiga kategori itu, tentu permasalahan yang dialami berbeda-beda pula warnanya dan juga cara penyelesaiannya. Dan itu juga tergantung pada aktor yang terlibat di dalam sandiwara pendidikan tersebut tentang bagaimana dia menyelamatkan hidupnya dan juga mengangkat derajat hidupnya!

Mereka yang Sertifikasi
Saya sangat bahagia pada pemerintah sekali waktu karena harkat dan martabat guru telah diangkat menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Jika dulu profesi guru sering turun marwahnya karena gaji yang didapati pada setiap bulannya dengan nominal yang cukup kecil, kini profesi guru sudah menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan. Alasannya tentu karena sekarang gaji yang diperoleh guru sudah lumayan besar.

Selain perolehan gaji yang sudah lumayan besar, kini para guru juga dihajar dengan uang tambahan yakni uang sertifikasi. Besaran nominalnya pun tergantung pada golongan yang melekat padanya dan dilelehkan (untuk tidak menyebut dicairkan) per triwulan sekali. Ini sangat patut untuk dibanggakan. Untuk itu, saya pun bisa tersenyum melihat para guru karena tak perlu lagi kerja tambahan semisal menjual kacang gureng, mie gureng di kedai-kedai atau di kantin sekolah, tak perlu lagi untuk croh bada, meukat cindoi, atau hal-hal lainnya untuk menambah kekayaan. Dengan adanya sertifikasi, kini guru cukup mendalami ilmunya lalu mencerdaskan anak-anak didiknya menjadi insan yang hebat. Oh, meskipun mereka tetap melakoni pekerjaan tambahan demi menambah pundi-pundi kekayaan, itu tidak masalah asalkan kewajiban utamanya tidak ditinggalkan.

Perolehan tunjangan sertifikasi itu pun tidak dengan serta-merta atau dengan mudahnya diterima oleh para guru. Untuk mendapatkan itu ada banyak tahap yang harus dilalui, mulai dari ujian UK (Uji Kompetensi) hingga kewajiban mengajar selama 24 jam seminggu. Dari segenap tahap yang harus dilalui oleh para guru sertifikasi itu, adalah kewajiban mengajar 24 seminggu inilah yang kurang enak di hati.  

Tuntutan mengajar 24 jam seminggu bagi guru sertifikasi cukup berefek bagi guru-guru yang lainnya khususnya para guru honorer. Jumlah jam sekian banyak itu akan terpenuhi bila di sebuah sekolah jumlah rombelnya (rombongan belajar) banyak. Nah, bagaimana jika di sebuah sekolah jumlah rombelnya sedikit? Jawabannya tentu sang guru sertifikasi akan “keluar sarang” dan menuju ke sekolah-sekolah yang lain demi memenuhi jam mengajarnya. Nah, efek yang dirasakan adalah para guru honorer yang sebelumnya memiliki jam yang sedikit di sekolahnya terpaksa harus diparkirkan (atau ditendang bahasa halusnya) dari tahtanya. Mereka harus angkat kaki, mungkin, mencari peruntungan di tempat lain. Kasihan bukan? Musibah ini telah terjadi di sekeliling kita untuk saat ini. Jika mau bukti, silakan di-crosscheck ke lapangan.

Mereka yang honorer
Lain duka guru sertifikasi lain lagi derita para guru honorer. Seduka-dukanya guru guru sertifikasi, pada endingnya (setiap tiga bulan sekali) mereka akan tersenyum lebar plus bahagia tiada tara. Bagi guru honorer derita yang dialami tak pernah berakhir dengan happy ending. Ujung cerita itu tamat dengan cerita luka yang sangat menyakitkan. Kasihan hati bila kita melihatnya!

Bagaimana tidak kasihan hati karena ada banyak rentetan duka yang melekat pada para guru honorer bila kita mau mengurainya satu per satu. Pertama, bayaran yang “kurang ajar” alias tidak wajar yang diterimanya, kadang bayaran Rp5.000,00 per jam, kadang sebulan hanya diganjar dengan bayaran Rp300.000,00 dan diterima per tiga bulan sekali (data dari teman dekat). Kedua, jam mengajarnya yang “dirampas” oleh (SEBAGIAN) tuan dan puan sertifikasi sehingga mereka harus angkat kaki dari sekolah tecinta. Ketiga, tak kunjung diangkat menjadi pegawai negeri meski telah mengabdikan diri bertahun-tahun lamanya pada sebuah sekolah demi slogan “mencerdaskan anak bangsa” dan derita-derita lainnya yang takkan cukup halaman bila kita bersedia menguraikannya!

Imbas dari semua derita itu tentu kita sudah sangat paham apa yang akan dilakukan oleh para guru honorer untuk menyelamatkan hidupnya dan juga mengangkat marwah hidupnya. Banting stir dan melakoni profesi lain yang bayarannya lebih menjanjikan! Apakah itu merantau ke negeri jiran, meraup ringgit. Jualan mie caluk, jualan cindoi, berkebun sawit, menanam cabai, berdagang, atau profesi-profesi lainnya yang lebih menguntungkan. Bila itu yang dilakukan maka sang guru honorer takkan kembali lagi melakoni profesi dengan slogan “mencerdaskan anak bangsa” itu.

Jadi, bila hal ini terjadi, solusi apa pula yang sangat mujarab agar semua itu tidak terjadi? Tentu jawaban akan pertanyaan ini sudah ada di kepala aktor-aktor besar yang berkecimpung di dunia pendidikan. Merekalah yang patut memikirkan solusi atas perkara ini sebab mereka adalah orang-orang pemegang tampuk kekuasaan dan juga orang-orang memutuskan sebuah keputusan atas semua ini! Tapi bila mereka-mereka meminta solusi dari kita, ya kita beritahu juga, jangan terlalu banyak juga dikasih tahunya!

Mereka yang sedang/baru keluar dari Fakultas Keguruan
“Setelah selesai memangnya mau kemana?” tentu itu pertanyaan yang akan kita alamatkan bagi mereka yang freshgraduate keguruan. Lahan untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu yang masih segar yang baru saja didapat dari perguruan tinggi sudah tak tersisa lagi. 

Bila mereka baru saja selesai keluar dari kampus keguruan maka list antrian pengangguran sudah menunggu mereka. Bila tak mau masuk ke dalam list antrian yang menakutkan itu, pilihan dengan segenap konsekuensinya pun telah tersedia. Segenap pilihan pun sudah terpampang jelas. Bila memilih A maka konsekuensinya adalah ini. Mau memilih C maka imbalannya adalah itu.
Solusi kreatif pun harus dipikirkan untuk menghadapi permasalahan tersebut. Untuk itu, bagi freshgraduate keguruan meskipun lahan buat mengajar tak lagi tersedia, mulailah untuk berpikir kreatif. Ciptakanlah hal-hal baru yang mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah. Bila asa di dunia pendidikan tak lagi terlihat, banting stir untuk melakoni profesi lainnya adalah juga sebuah bentuk solusi. Buang malu untuk sejenak waktu. Simpan rapi-rapi ijazah dan transkrip nilai yang berharga itu dalam lemari. Cukup banyak contoh kita lihat orang-orang hebat, baik itu penemu maupun pengusaha-pengusaha sukses menyimpan ijazah dan transkrip nilainya di dalam lemari. Biarlah orang lain yang memberikan ijazahnya buatmu sebagai bentuk bahwa ia bekerja buatmu.

Meskipun kelak ada yang mencibir lulusan keguruan tapi bekerja di ranah profesi orang lain biarkan mereka mencibir, bila perlu sampai mulutnya berbuih. Toh tuntutan zaman memang sudah seperti itu. Karena bila masih terus bertahan dan memaksakan diri untuk berjuang di ranah pendidikan yang lahannya sudah tak lagi tersedia, kelak kamu akan terus mengutuk pemerintah dan mereka-mereka pemangku kebijakan. Buat apa ya kan? Untuk itu, mulailah berpikir kreatif menciptakan dunia usaha yang berpeluang dan menghasilkan. Nah, bila kelak kamu sudah kaya, orang yang uangnya tak tahu lagi mau dibawa kemana, tapi kamu lulusan dari fakultas keguruan, ayo dirikanlah sebuah sekolah yayasan atau sekolah apapun itu namanya, biar kelak mereka-mereka yang masih mengantungkan hidupnya di dunia tulis ajar memiliki lahan untuk mereka berkreativitas. Mencerdaskan anak bangsa. Dan juga sebagai tempat buatmu berbagi cerita sukses buat mereka yang menuntut ilmu di sekolahmu itu. Dan jangan lupa katakan pada mereka bahwa guru itu adalah Warrior Tuhan yang tidak sembarangan diciptakan! Selamat hari guru! Hidup guru! Semoga guru-guru yang ada di seluruh tanah air Indonesia kaya semua dan cepat naik haji. Amin…..***     


Berani share??? Hebat!!!   

Sunday, 22 November 2015

SM3T Itu, Mandinya Bareng Kecebong


Ini adalah sepotong kisah yang saya alami sewaktu mengikuti program SM3T. Program yang tak asing lagi bagi para guru muda di seantero tanah air Indonesia. Program yang dicetus oleh orang-orang hebat di Dikti ini mengajak guru-guru muda yang memiliki jiwa petualang untuk mengabdikan diri mendidik anak-anak negeri yang ada di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dengan tujuan memajukan pendidikan di Tanah Air Indonesia.

Menyebut daerah 3T tentu terbayang di kepala kita sebuah daerah yang ekstrem. Sebuah daerah yang serba serba kekurangan. Daerah yang kenikmatan kemerdekaannya belum mencapai 100%. Ada banyak kekurangan yang akan kita dapati bila kita mau menyebutnya satu per satu. Mulai dari jalan yang tak bagus. Listrik tak ada; kadang-kadang ada dan itu pun cahayanya sudah diatur (menyala pukul sekian dan wafatnya pukul sekian!). Sinyal tak ada (kalau ada pun mesti manjat pohon-pohon yang tingi di atas bukit atau gunung yang tinggi pula). Kekurangan air bersih. Transportasi susah. Dan tentunya banyak tantangan yang dihadapi. 
 
Semua kekurangan yang ada di daerah 3T itu akan menjadi sebuah kenangan yang manis bila kita bersedia menjadikannya sebagai sebuah kenangan yang manis. Tak menutup kemungkinan juga semua kekurangan yang ada di daerah 3T itu akan menjadi musibah bagi kita jika kita memikirkan semua kekurangan itu adalah musibah. Itu tergantung pada pribadi masing-masing tentang bagaimana otak kita memikirkan semua kekurangan tersebut. Tetapi bagi saya kekurangan yang ada di daerah 3T itu menjadi sebuah kenangan yang manis. Alasannya, ya karena selama ini saya hidup di daerah yang serba ada. Jadi, di saat saya ditempatkan di daerah yang serba kekurangan itu, saya menjadi sadar bagaimana nikmatnya hidup di daerah yang lampunya menyala 24 jam dan bagaimana pula hidup di daerah yang lampu telah diatur waktu hidupnya dan telah ditentukan pula waktu wafatnya. Saya jadi sadar bagaimana susahnya hidup di daerah yang untuk mendapatkan sinyal handphone-nya saja kita harus berjuang mati-matian manjat pohon yang tinggi atau mendaki bukit/gunung yang tinggi dulu untuk mendapatkan sang gadis yang bernama sinyal.

Saya adalah alumni SM3T angkatan ke-2 skala nasional dan angkatan ke-1 untuk skala provinsi Aceh. Berkat doa kedua orang tua dan juga doa teman-teman saya yang baik hati, saya akhirnya ditempatkan di salah satu daerah 3T yang terindah di dunia (menurut saya), yaitu di Kepri, tepatnya di Kabupaten Kepulauan Anambas. Waktu itu kami yang berasal dari Aceh, LPTK Unsyiah, dengan jumlah peserta SM3T sebanyak 301. Dari 301 peserta itu kami akhirnya “dibuang” di tiga provinsi yang ada di Indonesia yaitu, Kepulauan Riau (Kabupaten Kepulauan Anambas), Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat. Sebanyak 126 orang di tempatkan di Kabupaten Kepulauan Anambas. Selebihnya “dibuang” di NTT dan Kalbar.

Saya tidak pernah bermimpi untuk hadir di daerah 3T, Kabupaten Kepulauan Anambas. Karena sewaktu saya lulus tes perekrutan SM3T, yang saya tanamkan di dalam benak saya adalah selama satu tahun ke depan saya akan berada di daerah ekstrem. Saya akan berada di daerah yang serba kekurangan. Itulah yang saya tanamkan dalam benak saya. Intinya, pada waktu itu, saya bertekad di mana pun saya ditempatkan untuk mencerdaskan anak negeri saya siap 1000 persen! Ternyata Tuhan menempatkan saya di daerah yang sangat indah meskipun daerah itu digolongkan ke dalam daerah 3T.

Akhirnya, kami yang berjumlah 126 orang itu disebar di beberapa pulau (yang sudah ditentukan oleh dinas pendidikan) yang ada di Kabupaten Kepulauan Anambas. Ada yang mengajar di SD, SMP, SMA, dan juga SMK. Setelah melihat nama-nama yang tertera di atas kertas yang dibagikan oleh pihak dinas setempat, ternyata saya ditempatkan di sebuah SMA yang ada di pulau Palmatak, desa Tebang. SMAN 1 Palmatak namanya. Di pulau Palmatak kami berjumlah 26 orang dengan tempat tugas yang berbeda-beda. Mulai dari SD, SMP, SMA, dan MTs, hingga MA.

Masing-masing kami yang ditempatkan di Pulau Palmatak punya cerita tersendiri, baik itu tentang sekolahnya maupun tentang tempat tinggalnya. Cerita teman saya yang penempatan di Mts akan berbeda dengan cerita teman saya yang bertugas di SMP dan tentunya akan berbeda lagi dengan teman-teman saya yang menjalankan tugas di SD. Begitu juga kisah saya yang berada di SMA akan berbeda dengan kisah yang dialami oleh teman-teman saya yang bertugas di MA (Madrasah Aliyah) baik itu kisah tentang sekolah mereka maupun kisah tentang tempat tingal mereka. 

Sekali waktu saya bersama teman bernama T Andizal−Guru Olahraga yang mengajar di salah satu SD di Pulau Air Asuk−berkunjung ke kediaman Ade Fauzi, Yudi, dan Sarwo Edi di MA. Mereka tinggal di rumah dinas milik sekolah. Kediaman mereka tinggal memang sedikit angker. Di depan dan samping rumah dinas terhampar ilalang setinggi bahu orang dewasa dan tumbuh di atas rawa-rawa. Di belakang rumah mereka pohon-pohon rumbia tumbuh subur. Bila malam tiba suasana sungguh sangat hening. Mencekam. Hanya ada suara kodok bersahut-sahutan bernyanyi. Sesekali diiringi suara jangkrik malas dan juga suara cacing tanah yang sedang “eh-oh” dengan kekasihnya. Sore hari bila kita beruntung maka akan terlihat seekor biawak yang ukurannya cukup besar dengan lidah menjulur-julur keluar. Lain lagi cerita bila pagi menyapa. Bila pagi menjelma telinga kita akan sedikit bahagia karena dari balik semak rawa-rawa itu akan terdengar bermacam-macam kicauan burung. Tentang makhluk halus yang bernama hantu itu jangan ditanya lagi, mereka bertiga itu sudah kebal dengan gangguannya.

Dalam kunjungan kali itu, kami memang berniat untuk bermalam di kediaman mereka. Petang menjelang. Kami pun pergi mandi bersama. Ade Fauzi−guru Olahraga−membawa kami ke sumur yang tak jauh dari rumah mereka tinggal. Kala itu Sarwo Edi−guru yang mengajar mata pelajaran Kimia− dan Yudi−guru Matematika−sudah selesai mandi. Sepanjang perjalanan menuju sumur, kulihat Ade Fauzi membawa serta saringan teh yang diambil dari kantor sekolah. Barang aneh yang dipegang oleh Ade Fauzi menarik perhatianku dan juga T Andizal.

“Untuk apa kamu bawa saringan teh sekolah ke sumur, Ade?” tanyaku.

“Mmm … ini akan kamu perlukan nantinya,” jawab Ade Fauzi santai.

Penjelasan Ade Fauzi cukup singkat. Lantas aku dan T Andizal pun saling memandang. Kami tiba di sumur. Ade Fauzi langsung buka baju. Basahannya hanyalah celana bola berlambang Realmadrid. Peralatan mandi serta saringan teh di taruh di tempat yang tak jauh dari sumur. Ia langsung menimba air dan menyirami tubuhnya. Sudah lima timba air menyirami tubuhnya. Aku dan T Andizal masih buka baju, buka celana. Sebagai basahannya kami hanya memakai celana dalam saja, karena di tempat itu kupastikan tidak ada seorang gadis pun yang melintas karena sumurnya dikelilingi dengan ilalang. Hihihi.

Ketika aku dan T Andizal bersiap-siap untuk menimba air, kulihatlah Ade Fauzi menuangkan air yang ditimbanya ke dalam ember besar yang ada di dekat sumur. Saat itulah pertanyaan mengapa Ade Fauzi membawa saringan teh ke sumur dengan sendirinya terjawab. Di dalam ember besar itu, kulihatlah berpuluh-puluh kecebong kecil-kecil imut dan menggemaskan. Mereka hitam berekor. Berenang dan saling kejar-kejaran mengelilingi ember. Aku dan T Andizal saling berpandangan lalu tersenyum-senyum.

“O, Potallah na jih (kecebong) lagoe lam mon nyoe,” ujar T Andizal seraya melihat lebih dekat lagi sumur yang airnya akan ditimba sebentar lagi. (Ya Allah, ada kecebong rupanya di dalam sumur ini).

Ade Fauzi mulai beraksi. Saringan teh mulai ia tugaskan untuk menjaring kecebong-kecebong yang ada di dalam ember itu. Aku suka apa yang baru saja dilakukan oleh Ade Fauzi. Kuambil saringan teh dari tangan Ade Fauzi, lalu mulailah kejahilanku beraksi menjaring kecebong-kecebong yang tak berdosa itu yang ada di dalam ember.

Kini aku asyik menjaring kecebong yang ada di dalam ember. T Andizal mulai menyirami tubuhnya.

“Andi, nyan bak get-get bek sampe ditamong aneuk abik-abik (kecebong) lam babah. Aneuk abik-abik nyan meugigoe, bak get-get, bek sampe dikap “dek gam” kah yang lam sempak nyan,” ucapku sambil tertawa terbahak-bahak. (Andi, hati-hati jangan sampai kecebong itu masuk ke dalam mulutmu. Kecebong itu bergigi, hati-hati, jangan sampai digigit “burungmu” itu).

Mendengar itu, Ade Fauzi juga turut tertawa bersamaku. Aku semakin asyik menjaring kecebong-kecebong yang ada di dalam ember itu. Sifat kekanak-kanakanku pun muncul; sambil menjaring kecebong-kecebong itu, aku berbicara dengan kecebong-kecebong yang ada di dalam ember itu. Hihihi.

“Ayooo, kecebooong, selamatkan diri kalian, pukat harimau sudah mendekati kalian ini. Mereka akan menjaringmu,”ucapku sambil memainkan saringan teh itu di dalam ember.

Air di dalam ember kini telah steril dari kecebong. Melihat itu, aku, Ade Fauzi, dan juga T Andizal segera menggosok gigi. Setelah selesai, Ade Fauzi langsung membilas tubuhnya untuk yang terakhir dengan air di dalam ember yang telah bersih dari kecebong itu. Begitu juga dengan T Andizal.

“Airnya jangan dihabiskan. Tinggalkan juga buat aku untuk bilasan terakhir,” ucapku pada mereka.

Akhirnya, kami bertiga pun selesai mandi sore itu. Seperti biasa, setelah selesai mandi kami pun “bersolek” meskipun mandi bareng para kecebong. Ketampanan mesti tetap dijaga meskipun sebelumnya kami mandi bersamaan dengan para kecebong. Apalagi gadis-gadis yang ada di pulau itu pun ramai yang tertarik pada kami. Kata mereka bapak-bapak Aceh banyak yang ganteng dan manis-manis.

Itulah sepotong kisahku dan teman-teman selama berada di daerah penugasan. Untuk itu, bagi kamu anak muda yang punya jiwa petualang, ikutlah SM3T. Selain bertugas mendidik dan mencerdaskan anak bangsa, mana tahu di daerah penempatanmu kelak kamu punya cerita mandi bareng biawak, mandi bareng merpati, atau mandi bareng penguin. Mana tahu ya kan?! Maka dari itu, sekali lagi, ikutlah program hebat ini biar kamu tahu luasnya tanah Indonesia. Biar kamu tahu suku adat dan budaya yang ada di tanah Indonesia. Biar kamu semakin cinta dengan gadis yang bernama INDONESIA.***



                                    -Ditulis setelah mandi bareng kecebong di Tanah Anambas   



 oleh: Azmi Labohaji


Berani share??? Hebat!!!