Sunday, 6 December 2015

Friday, 4 December 2015

Della dan Mimpinya Ke Lombok Bersua Penulis Novel Ayat-Ayat Cinta

Ini adalah sepotong kisah nyata yang baru saja kualami. Sebagai alumni SM-3T angkatan II, mengajar dan mendidik sudah menjadi sesuatu kebutuhan yang sangat penting bagiku. Beberapa bulan setelah menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru (PPG) di LPTK Universitas Syiah Kuala, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, Labuhanhaji, Aceh Selatan. Pilihan kembali ke kampung halaman dan mengabdi di sekolah-sekolah yang ada di kampung cukup beralasan. Di daerahku itu masih digolongkan sebagai daerah 3T, sekolah-sekolah masih kekurangan guru. Maka dari itu, kuputuskanlah untuk kembali ke kampung halaman dan mengabdi di sana.

Setiba di kampung halaman, aku diminta untuk mengajar di sebuah sekolah. Sekolah itu bernama Sekolah Menengah Atas Negeri Unggul Darussalam Labuhanhaji. Meski sudah berstatus negeri, unggul lagi, tetapi sekolah itu baru saja berdiri. Jelas guru masih kurang! Hanya ada beberapa guru yang berstatus pegawai negeri dan sisanya adalah guru horor (honor). Aku diminta oleh kepala sekolah untuk mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal di sekolah tersebut guru Bahasa Indonesia sudah ada. Aku menerimanya karena latar belakang pendidikan S1-ku juga dari Pendidikan Bahasa Indonesia. 

Seiring waktu berjalan, salah seorang guru yang mengajarkan pelajaran Fisika, Pak Yusri, menyodorkan padaku secarik kertas berwarna oren. Di kertas itu kudapati pengumuman yang bernada “Letter Writing Competition 2015 dengan tema Budayaku Identitasku”. Aku mengambil kertas tersebut lalu membacanya dengan serius.

“Di sekolah ini ada beberapa anak yang punya kemampuan menulis, Pak. Coba Bapak tempel pengumuman ini, mana tahu mereka ingin ikut,” ucap pak Yusri. 

Aku mengiyakannya dan langsung memperbanyak selebaran tersebut dan menempelnya di dinding setiap kelas. Pada hari yang telah aku tentukan, saat aku memasuki ruangan di sana kudapati enam orang siswa. Kujelaskan apa itu isi pengumumannya, orang yang akan mereka jumpai bila mereka terpilih sebagai finalis, dan juga kujelaskan tentang tema yang diusung oleh orang yang membuat lomba tersebut. Setelah kujelaskan itu semua panjang lebar dan kuputuskanlah tenggat waktu pengumpulan karya. 

Pada hari yang telah ditentukan, dari  enam orang yang semula ingin ikut, tetapi yang berhasil menyelesaikan surat tersebut hanya dua orang. Satu orang menulis surat tersebut dengan sempurna dan sesuai dengan jumlah karakter tulisan yang diminta oleh panitia dan sisanya tak menyelesaikan surat tersebut sesuai dengan karakter yang telah ditentukan. Siswa yang berhasil menulis surat dengan sempurna adalah Della Irfana. Dalam surat yang dia buat itu, dia mengangkat budaya lokal yang ada di kampungnya yaitu Manoe Pucok!

Setelah surat itu benar-benar sempurna, tentunya setelah kuperiksa sekali lagi EyD, kalimatnya, dan juga cara dia mendeskripsikan Manoe Pucok itu seperti apa, pada hari Jumat, 19 Juni 2015, aku dan Della pun pergi ke kantor pos untuk mengirimkan surat tersebut kepada mereka (harian Republika Online). 

“Hari ini kamu telah melakukan sebuah pekerjaan yang orang lain belum tentu mampu melakukannya, Della. Surat sudah kita kirim bersama-sama. Dan di Lombok sana, tiga orang hebat Habiburrahman El Shirazy, Tere Liye, dan Ginatri S. Noer telah menunggu kedatanganmu. Mereka ingin berjabat tangan denganmu dan juga ingin berbagi ilmu denganmu. Selepas ini, sering-seringlah berdoa semoga karyamu itu menang,” ucapku sambil tersenyum manis padanya. 
 
“Ia, Pak, terima kasih,” ucap Della dan membalas senyumku.

Pengumuman tentang Writing Letter itu pun tiba. Kala itu aku sedang mengecat sebuah kedai. Tiba-tiba di layar handphone-ku tampak sebuah nomor baru. Panggilan itu kuangkat. Dari balik telpon terdengarlah suara yang tak asing lagi. Dengan nada yang penuh keceriaan ia pun berkata padaku.

“Pak, ini Della, tadi orang Republika ada telpon Della katanya Della masuk 30 besar!”

Aku langsung bersyukur dan kutinggalkan kuas cat.
“Selamat Della kamu akan berjumpa dengan tiga orang-orang hebat itu kelak di Lombok. Ya, sudah, berita ini kita pastikan lagi kebenarannya. Jadi, besok kamu jumpai bapak di sekolah!” aku menutup percakapan dengannya dan kembali melanjutkan pekerjaan mengecat. 

Keesokannya setiba di sekolah, aku mencari kabar tentang perihal ini. Kuminta nomor handphone orang yang telah menelpon Della. Kutelpon yang bersangkutan dan ternyata benar Della telah masuk ke dalam 30 finalis yang akan diberangkat ke Lombok untuk mengikuti pelatihan menulis di Lombok bersama ketiga orang hebat itu. Selanjutnya, orang yang kemudian kuketahui namanya Syatria itu mengirimiku poster tentang pengumuman tersebut via email. Saat kuperhatikan poster tersebut, ternyata peserta yang berasal dari Aceh bukan Della saja, tetapi ada dua yang lainnya; siswa yang berasal dari MTsN Rukoh, Narid Sulthan Maulana, dan juga Rizki Mulia yang berasal dari SMAN 1 Bambel Aceh (Aceh Tenggara). Kabar tentang Della berhasil menang dan akan berangkat ke Lombok pun tersebar ke setiap telinga siswa-siswa yang lainnya dan juga para guru yang ada di sekolah. Ucapan selamat pun bertubi-tubi diterima Della. Dari raut wajahnya, Della tampak begitu bahagia, begitu juga dengan aku, sebagai guru yang telah membimbingnya, juga turut merasakan kebahagiaan itu. 

Pengumuman keberangkatan kubaca sekali lagi. Di sana tertulislah bahwa semua peserta wajib mengikuti Winner Camp dari tanggal 6 sampai 10 Agustus 2015 di Lombok.  Berarti Della harus berangkat pada tanggal 5 Agustus 2016 dari Labuhanhaji menuju Banda Aceh. Selain tanggal keberangkatan, ternyata ada beberapa berkas yang harus disiapkan Della sebelum ia berangkat, salah satunya adalah surat izin orang tua. 

Pada tanggal 3 Agustus 2015, Della membawa serta orang tuanya menghadap kepala sekolah membicarakan masalah keberangkatannya ke Lombok. Di dalam ruang kepala sekolah kala itu hanya ada aku, Della, orang tuanya, dan kepala sekolah. Ketika pembicaraan tiba pada titik intinya, di situlah Della harus mengubur mimpinya! Ia tak dapat bertemu dengan ketiga orang hebat yang namanya telah tertulis di dalam poster pengumuman tersebut. 

Mimpi itu terpaksa dikubur dalam-dalam oleh Della bersebab orang tuanya tak memberi izin bagi Della untuk berangkat ke Lombok, NTB. Alasan yang diutarakan oleh orang tua Della tak memberikan ia izin untuk berangkat ke Lombok adalah karena tak ada guru pendamping yang mendapingi ia mulai dari Aceh sampai Ke Lombok. 

“Bila tak ada guru pendamping yang mendampinginya dari Aceh sampai ke Lombok, maka tak ada izin buat Della untuk berangkat ke Lombok mengikuti acara tersebut,” ucap orang tua Della. 

Keadaan semakin tegang kala itu. Della mulai tersedu-sedu karena apa yang baru saja diucapkan oleh orang tuanya membuat ia begitu terpukul. Bapak kepala tak bisa berbuat banyak. Aku apalagi!!!  Lalu aku pun mencoba untuk meyakinkan orang tua Della bahwa Della akan baik-baik saja saat mengikuti acara tersebut.

“Saya sudah menghubungi panitia pelaksana yang ada di Jakarta, Pak. Dan hal yang saya tanyakan adalah masalah pendamping juga. Kata mereka, untuk pendamping mereka tidak mampu menyediakan dana. Dana yang mereka sediakan hanya buat peserta saja. Dan kata mereka, para peserta insyaallah akan aman mulai dari pertama berangkat sampai ia kembali ke rumah masing-masing!” ucapku pada orang tua Della. 

Orang tua Della tetap dengan keputusannya. Melihat orang tuanya yang masih teguh pada pendiriannya, Della pun menangis sejadi-jadinya. Berjuta alasan diutarakan Della untuk meyakinkan orang tuanya, tapi tetap saja alasan itu tak bermakna bagi orang tuanya. 

Ingin kukatakan di sini, padahal Della beberapa hari sebelum tanggal 6 Agustus 2015 itu, ketika aku masuk mengajar di kelasnya, tertangkap olehku Della membaca novel Ayat-Ayat Cinta. Ketika aku berkeliling-keliling kelas menjelaskan tentang sebuah teori, mataku terus melirik ke arah novel Ayat-Ayat Cinta yang ada di atas meja Della. Di antara lembar-lembar kertas novel tersebut, menyembullah kertas berwarna ping. Kertas itu adalah kertas pembatas. Dan ia kini berada di tengah-tengah novel. 

Namun apa hendak dikata, impian itu terpaksa dibuang jauh-jauh! Melihat Della yang terus tersedu-sedu memohon pada orang tuanya, hatiku juga tak kuasa menahannya. Ingin sekali kala itu aku berteriak! Ingin sekali hari itu aku juga turut menangis bersama Della, muridku itu, di dalam ruang kepala sekolah itu agar orang tuanya memberi izin untuk Della dapat berangkat ke Lombok. Tapi aku masih kuasa menahannya dan itu pun tak berlangsung lama. Ketika Della pulang bersama orang tuanya, aku keluar kantor, lalu di bawah pohon mangga yang rindang, tepat di depan kantor, dalam buaian angin sepoi, air mataku keluar juga dari sarangnya. Aku juga terpukul!
 
Andai saja Engkau tahu, Pak, bahwa apa yang telah diraih oleh Della bukan sesuatu yang diperoleh dengan amat mudah. Ini prestasi nasional! Tidak semua anak punya kesempatan seperti ini dan tidak semua anak memiliki nasib seberuntung Della! Anda telah menarik Lombok, Habiburrahman El Shirazy, Tere Liye, dan juga Ginatri S. Noer dari dalam kepala Della lalu menguburnya di dalam tanah yang cukup dalam!” batinku berkata.

Beberapa jam setelah kejadian itu, Della jatuh sakit. Lambungnya kembali berulah. Pak kepala sekolah memanggilku. Ia ingin membicarakan hal itu lagi denganku.
***
Dua hari setelah kejadian itu, Della menemuiku dengan wajah yang masih menyimpan kekecewaan. Lalu ia pun berkata padaku.

“Pak, Bapak masih mau membimbing, Della kan kalau ada perlombaan-perlombaan seperti itu lagi?”

Pertanyaan itu membuatku kembali bersemangat. Pertanyaan itu bagaikan listrik yang menyetrum tubuhku yang telah hilang semangat. Dari pertanyaan itu aku mampu menyimpulkan bahwa keadaan jiwa Della masih baik-baik saja! Lalu aku pun menjawabnya.

“Tentu, Nak. Mau sekali! Membimbing setiap siswa yang mau menulis adalah kewajiban Bapak! Tentu Bapak masih bersemangat untuk membimbingmu. Dan Bapak berharap padamu tentang kejadian kemarin ada baiknya kamu tulis karena itu adalah salah satu bukti sejarah bahwa kamu adalah salah satu anak yang berprestasi ketika masih sekolah! Meskipun kamu tak sempat berjabat tangan dengan ketiga orang yang hebat itu, tapi yakinlah suatu saat kadang takdir akan berkata bahwa ketiga mereka-lah yang akan berjabat tangan denganmu atas penghargaan karya-karyamu. Semoga. Pokoknya jangan lupa teruslah, membaca, membaca, membaca, lalu menulis, menulis, dan menulis, kemudian berdoa. Itu saja!”

“Iya, Pak, terima kasih banyak.”

Della berbalik kembali ke kelas. Lalu aku pun kembali berkata padanya.

“Della, tentang kejadian di hari Sabtu yang durjana itu jangan kamu tangisi lagi. Kamu tak perlu menyalahkan siapa-siapa. Tak perlu menyalahkan orang tuamu, tak perlu menyalahkan Bapak, atau yang lainnya. Ini adalah garis takdir. Garis takdirmu telah terlukis seperti itu. Ingatlah satu hal, setiap orang tua mengharapkan yang terbaik buat buah hatinya, dan Bapak mengharapkan kamu selalu menjadi juara, dan Tuhan, telah mengariskan takdir yang terbaik buat ciptaannya! Itu saja,” ucapku bijak dan berlalu darinya.   

Della kemudian melemparkan senyum kepadaku dan aku kembali masuk ke kelas karena bel tanda pergantian pelajaran telah meraung-raung.***
                                       

                                                        
                                       SMA Unggul Darussalam Labuhan Haji, 2015

Monday, 30 November 2015

Setumpuk Rindu yang Tak Mampu Kualamatkan Padamu



Entah pada tatapan yang keberapa hatiku mulai terguncang hebat saat menatap erat rupamu. Guncangan hebat serupa itu pernah kurasakan pada lima belas tahun yang lalu. Guncangan yang kemudian baru kutahu artinya bahwa itu adalah sebentuk guncangan yang di dalamnya akan terlahir segenap cinta, kasih sayang, dan juga rindu yang tak terhingga banyaknya. Kali ini hatiku mulai kembali terguncang. Dan kau tahu untuk kali ini aku belum berani meng-alamatkannya padamu. 


Kalian tak perlu tahu siapakah sosok misterius dalam kisah ini yang sejatinya harus mendapatkan rindu dariku. Tak ada gambaran rupawannya yang akan kukisahkan dalam cerita ini. Tak ada lafaz namanya yang akan kuukir di sini. Yang tahu sosok misterius itu sejelita apa dia, sebaik apa dia, seanggun apa dia, hanyalah hatiku dan Tuhan saja. Untuk itu, kumohon janganlah kalian mencoba untuk menerka-nerka atau mereka-reka tentang dia karena itu akan sia-sia saja. 


Bila telah ada cinta yang terukir di hati tentu akan lahir pula kasih sayang yang luar biasa bersamanya. Bila keduanya itu telah menyelimuti diri, rindu yang tak terhingga banyaknya itu pun akan saban waktu menuntut untuk dilunasi. Ah, itu terlalu berat bagimu kelak!!! 


Aku sama sekali tak punya kuasa untuk menyalahi takdir yang telah menuntunku ke jalan yang rumit ini. Takdir selalu benar. Hanya saja aku yang belum siap untuk itu. Aku tak mau menyombongkan diri dalam hal ini. Tetapi untuk kau ketahui saja, aku ini adalah sesosok pecinta sejati!!! Bila cinta, rindu, dan juga kasih sayang telah kualamatkan pada seonggok hati maka aku tak mengenal alamat-alamat palsu lainnya. Serius! Dan untuk pembuktiannya silahkan kau tanyakan saja pada sesosok perempuan yang pernah lahir dibulan enam di sebuah daerah yang dingin. Tanyakan padanya!


Ibarat putri duyung yang apabila sudah berada di istana bawah laut ia akan malas untuk keluar ke permukaan air. Begitu pula dengan cinta, kasih sayang, dan juga setumpuk rindu yang kumiliki ini. Bila ia telah bertahta di dasar hati (si jelita) maka ia akan enggan untuk menari-nari di atas hati yang lain atau hati-hati yang tidak jelas! Njan ban!


Setiap kali aku menatap si jelita itu, detik itu juga hatiku berguncang. Kadang-kadang bila aku berhadapan langsung dengan si jelita saat berjalan, aku lebih memilih memutar haluan atau memilih jalan lain daripada berpapasan dengannya. Bila tetap kupaksakan untuk berpapasan dengannya, petaka akan tiba. Malamnya aku akan kembali teringat dengan si jelita itu. Aku rindu padanya. Tetapi rindu itu tak mampu kualamatkan. Nah, bila itu terjadi secara tidak langsung hatiku mulai menabung rindu demi rindu. Lama kelamaan rindu yang tertabung di dasar hati itu akan penuh. Bila hati tak kuasa lagi untuk menampungnya, tentu ia akan meledak!  Bila ia meledak maka aku akan mati. Lalu bila aku mati maka aku akan menghadap Tuhan. Bila Tuhan bertanya padaku kelak mengapa aku tak mengirim setumpuk rindu itu pada jelita ciptaan-Nya? Aku harus menjawab apa???!! Oh, aku takut sekali bila itu terjadi! 


Hal lain yang kutakuti bila aku bersikeras untuk mengalamatkan rindu ini pada si jelita adalah jelita akan merana tiada ampun! Rinduku bukanlah rindu biasa. Bukan seperti rindu para pejabat pencuri uang negara yang rindu pada buah dada montok dan juga selangkangan si gadis belia! Rindu seperti ini bernama ISSKU* (Kepanjangan ISSKU terlalu cabul bila kutulis di sini. Kalau kalian memang kepo inbox saja, nanti kukasih tahu kepanjangannya, 17+ tapi :-)). Bukan seumpama rindu si pungguk yang saban waktu merindukan bulan. Tak kesampaian. Bukan layaknya rindu anggota dewan yang saat pencalonan berjanji “naik ke bulan pakai Garuda Indonesia”, “pergi ke Arab naik pesawat tempur”, “lelaki muda yang hendak kawin akan diberi emas satu mayam dari pemerintah” dan pada saat sudah terpilih pura-pura gila alias lupa diri. Rindu seperti ini bernama *Pungo rindu. Bukan. Bukan seperti itu!


Rindu yang kupunya bila kualamatkan pada si jelita kira-kira akan berbunyi seperti ini, “Biar aku saja yang rindu. Kamu jangan. Ini berat. Kamu gak akan kuat nanti! Aku takut air matamu akan tumpah dan tak ada yang mengusapnya, Jelita!” Seperti itulah bentuk rinduku. Sungguh dalam maknanya bila kita resapi dalam-dalam, bukan?! Ya, hampir beda-beda tipislah dengan rindu miliknya Majnun dalam kisah Laila Majnun. Maka dari itu, aku tak main-main dengan rindu. 


Bayangkan saja sendiri bila si jelita telah mendapat satu rindu yang begitu dahsyat dalam satu hari maka konsekuensinya pada hari-hari selanjutnya ia harus mendapatkan rindu yang sama juga. Bila tidak maka seisi rumah akan gundah gulana. Jelita tak tenang menjalani hari. Jelita tak habis menyuap nasi. Jelita tak kuasa memandikan diri. Tak nyenyak tidur saban hari. Lalu mengutuk waktu karena rindu tak teralamatkan padanya. Nah, jelita yang mana yang tak tertusuk hatinya, yang tak tumpah ruah air matanya, bila ia mendapati rindu yang sebegitu rupa? Jelita yang mana??? Coba kausebutkan!  

Ketika waktu telah tiba, aku yakin sekali bahwa takdir akan memainkan perannya. Rindu akan teralamatkan juga pada hati yang tepat dengan segala akibatnya. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu saja. Sabar sambil bertasbih dan juga berzikir. Seraya memanjatkan doa yang manja pada Sang Pencipta. 


Tuhan juga tidak main-main dalam hal memberikan rindu pada hambanya. Tuhan akan menghembuskan rindu yang dahsyat pada orang yang hebat. Pada orang-orang yang mampu memanggulnya. Pada orang-orang yang mampu menjalani ujian-Nya. 


Jelita, di mana pun engkau berada saat ini, bila kaumembaca rentetan kalam ini berarti kau telah menemukan jawaban atas pertanyaanmu itu. Sebuah pertanyaan yang saban waktu kauutarakan padaku tentang mengapa tak juga kualamatkan rinduku itu buatmu. Semoga kaumembacanya dan menghayatinya dalam-dalam. Aku punya rindu yang hebat. Hanya tinggal menunggu waktu saja buat ia menetas. Bila waktunya telah tiba, rindu itu akan terbang layaknya kupu-kupu yang cantik lalu hinggap di hatimu nan indah itu. ***  

Berani share??? Hebat!!!   

Tuesday, 24 November 2015

Guru dan Segenap Air Matanya



“A teacher effects eternity, he can never tell where his influence stops” (Henry Adam). Petikan Henry Adam yang berarti ‘guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu di mana pengaruhnya itu berhenti’ membuat kita bangga menjadi seorang guru. Jika dikaji lebih dalam lagi makna yang tersirat dalam petikan Henry Adam tersebut memang benar guru itu abadi, ia tak pernah “mati”, guru itu akan selalu hidup dalam sanubari seseorang yang pernah diajar, pernah dididik hingga menjadi pintar. Untuk itu, sangat patut dibanggakan bila seseorang itu berprofesi sebagai guru.

Sebagaimana termaktub dalam KBBI guru memiliki definisi tersendiri yaitu, orang yang pekerjaan, mata pencaharian atau profesinya mengajar; guru merupakan sosok yang mengemban tugas mengajar, mendidik, dan membimbing. Sebagai orang yang mengajar, mendidik, dan membimbing, melakoni pekerjaan tersebut bukanlah perkara mudah. Dalam melakoninya, dibutuhkan kesabaran besar, keyakinan, dan keikhlasan yang tinggi. Karena dengan adanya kesabaran, keyakinan, dan keikhlasan dalam diri seorang guru, niscaya manusia yang dididiknya itu akan berhasil.

Dalam sehari guru bisa menghadapi 30 atau 60 siswa dengan karakter dan tingkah yang berbeda-beda. Sebagaimana jumlah anak didik yang setiap harinya dihadapi guru, sebanyak itu pula permasalahan yang harus dihadapi oleh seorang guru dalam sehari. Bisa dibayangkan bukan bagaimana beratnya menghadapi jumlah siswa sebanyak itu dengan karakter yang berbeda-beda? Nah, melihat hal itu masih beranikah kita mengatakan pekerjaan guru itu adalah pekerjaan yang sepele??? Ayo jujurlah!

Baik, kali ini saya bukan bercerita tentang bagaimana seorang guru itu menghadapi anak-anak didiknya yang batat-batat dan menyelamatkan mereka menjadi insan yang berguna. Kali ini saya akan berkisah tentang “air mata” atau nasib seorang guru yang telah terlanjur menjadi guru. Atau mereka yang sedang kuliah untuk menjadi guru. Nasib guru yang tengah berjuang melawan himpitan ekonomi dengan tetap mengajar dan mendidik meskipun bayaran yang diterima sangat “kurang ajar” alias tidak wajar!
Saya sengaja memilih judul “Guru dan Segenap Air Matanya” untuk tulisan kali ini. Mengingat bulan ini pada salah satu tanggal yang terlukis di kalender tertera tulisan Hari Guru Nasional. Jadi, saya (mungkin juga Anda) sebagai orang yang pernah dididik oleh seorang guru, ingin mengenang mereka. Ya, saya akan mengenang mereka dengan cara saya sendiri.

Sebagaimana telah disinggung di atas, kali ini saya akan mengajak Anda untuk melihat lebih dalam lagi tentang problema yang dialami oleh para guru. Mulai dari mereka yang sudah menjadi pegawai negeri sipil dan bersertifikasi, mereka yang honorer dengan bayaran “kurang ajar” alias tidak masuk akal, hingga mereka yang tengah/telah selesai kuliah di fakultas keguruan. Dari ketiga kategori itu, tentu permasalahan yang dialami berbeda-beda pula warnanya dan juga cara penyelesaiannya. Dan itu juga tergantung pada aktor yang terlibat di dalam sandiwara pendidikan tersebut tentang bagaimana dia menyelamatkan hidupnya dan juga mengangkat derajat hidupnya!

Mereka yang Sertifikasi
Saya sangat bahagia pada pemerintah sekali waktu karena harkat dan martabat guru telah diangkat menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Jika dulu profesi guru sering turun marwahnya karena gaji yang didapati pada setiap bulannya dengan nominal yang cukup kecil, kini profesi guru sudah menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan. Alasannya tentu karena sekarang gaji yang diperoleh guru sudah lumayan besar.

Selain perolehan gaji yang sudah lumayan besar, kini para guru juga dihajar dengan uang tambahan yakni uang sertifikasi. Besaran nominalnya pun tergantung pada golongan yang melekat padanya dan dilelehkan (untuk tidak menyebut dicairkan) per triwulan sekali. Ini sangat patut untuk dibanggakan. Untuk itu, saya pun bisa tersenyum melihat para guru karena tak perlu lagi kerja tambahan semisal menjual kacang gureng, mie gureng di kedai-kedai atau di kantin sekolah, tak perlu lagi untuk croh bada, meukat cindoi, atau hal-hal lainnya untuk menambah kekayaan. Dengan adanya sertifikasi, kini guru cukup mendalami ilmunya lalu mencerdaskan anak-anak didiknya menjadi insan yang hebat. Oh, meskipun mereka tetap melakoni pekerjaan tambahan demi menambah pundi-pundi kekayaan, itu tidak masalah asalkan kewajiban utamanya tidak ditinggalkan.

Perolehan tunjangan sertifikasi itu pun tidak dengan serta-merta atau dengan mudahnya diterima oleh para guru. Untuk mendapatkan itu ada banyak tahap yang harus dilalui, mulai dari ujian UK (Uji Kompetensi) hingga kewajiban mengajar selama 24 jam seminggu. Dari segenap tahap yang harus dilalui oleh para guru sertifikasi itu, adalah kewajiban mengajar 24 seminggu inilah yang kurang enak di hati.  

Tuntutan mengajar 24 jam seminggu bagi guru sertifikasi cukup berefek bagi guru-guru yang lainnya khususnya para guru honorer. Jumlah jam sekian banyak itu akan terpenuhi bila di sebuah sekolah jumlah rombelnya (rombongan belajar) banyak. Nah, bagaimana jika di sebuah sekolah jumlah rombelnya sedikit? Jawabannya tentu sang guru sertifikasi akan “keluar sarang” dan menuju ke sekolah-sekolah yang lain demi memenuhi jam mengajarnya. Nah, efek yang dirasakan adalah para guru honorer yang sebelumnya memiliki jam yang sedikit di sekolahnya terpaksa harus diparkirkan (atau ditendang bahasa halusnya) dari tahtanya. Mereka harus angkat kaki, mungkin, mencari peruntungan di tempat lain. Kasihan bukan? Musibah ini telah terjadi di sekeliling kita untuk saat ini. Jika mau bukti, silakan di-crosscheck ke lapangan.

Mereka yang honorer
Lain duka guru sertifikasi lain lagi derita para guru honorer. Seduka-dukanya guru guru sertifikasi, pada endingnya (setiap tiga bulan sekali) mereka akan tersenyum lebar plus bahagia tiada tara. Bagi guru honorer derita yang dialami tak pernah berakhir dengan happy ending. Ujung cerita itu tamat dengan cerita luka yang sangat menyakitkan. Kasihan hati bila kita melihatnya!

Bagaimana tidak kasihan hati karena ada banyak rentetan duka yang melekat pada para guru honorer bila kita mau mengurainya satu per satu. Pertama, bayaran yang “kurang ajar” alias tidak wajar yang diterimanya, kadang bayaran Rp5.000,00 per jam, kadang sebulan hanya diganjar dengan bayaran Rp300.000,00 dan diterima per tiga bulan sekali (data dari teman dekat). Kedua, jam mengajarnya yang “dirampas” oleh (SEBAGIAN) tuan dan puan sertifikasi sehingga mereka harus angkat kaki dari sekolah tecinta. Ketiga, tak kunjung diangkat menjadi pegawai negeri meski telah mengabdikan diri bertahun-tahun lamanya pada sebuah sekolah demi slogan “mencerdaskan anak bangsa” dan derita-derita lainnya yang takkan cukup halaman bila kita bersedia menguraikannya!

Imbas dari semua derita itu tentu kita sudah sangat paham apa yang akan dilakukan oleh para guru honorer untuk menyelamatkan hidupnya dan juga mengangkat marwah hidupnya. Banting stir dan melakoni profesi lain yang bayarannya lebih menjanjikan! Apakah itu merantau ke negeri jiran, meraup ringgit. Jualan mie caluk, jualan cindoi, berkebun sawit, menanam cabai, berdagang, atau profesi-profesi lainnya yang lebih menguntungkan. Bila itu yang dilakukan maka sang guru honorer takkan kembali lagi melakoni profesi dengan slogan “mencerdaskan anak bangsa” itu.

Jadi, bila hal ini terjadi, solusi apa pula yang sangat mujarab agar semua itu tidak terjadi? Tentu jawaban akan pertanyaan ini sudah ada di kepala aktor-aktor besar yang berkecimpung di dunia pendidikan. Merekalah yang patut memikirkan solusi atas perkara ini sebab mereka adalah orang-orang pemegang tampuk kekuasaan dan juga orang-orang memutuskan sebuah keputusan atas semua ini! Tapi bila mereka-mereka meminta solusi dari kita, ya kita beritahu juga, jangan terlalu banyak juga dikasih tahunya!

Mereka yang sedang/baru keluar dari Fakultas Keguruan
“Setelah selesai memangnya mau kemana?” tentu itu pertanyaan yang akan kita alamatkan bagi mereka yang freshgraduate keguruan. Lahan untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu yang masih segar yang baru saja didapat dari perguruan tinggi sudah tak tersisa lagi. 

Bila mereka baru saja selesai keluar dari kampus keguruan maka list antrian pengangguran sudah menunggu mereka. Bila tak mau masuk ke dalam list antrian yang menakutkan itu, pilihan dengan segenap konsekuensinya pun telah tersedia. Segenap pilihan pun sudah terpampang jelas. Bila memilih A maka konsekuensinya adalah ini. Mau memilih C maka imbalannya adalah itu.
Solusi kreatif pun harus dipikirkan untuk menghadapi permasalahan tersebut. Untuk itu, bagi freshgraduate keguruan meskipun lahan buat mengajar tak lagi tersedia, mulailah untuk berpikir kreatif. Ciptakanlah hal-hal baru yang mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah. Bila asa di dunia pendidikan tak lagi terlihat, banting stir untuk melakoni profesi lainnya adalah juga sebuah bentuk solusi. Buang malu untuk sejenak waktu. Simpan rapi-rapi ijazah dan transkrip nilai yang berharga itu dalam lemari. Cukup banyak contoh kita lihat orang-orang hebat, baik itu penemu maupun pengusaha-pengusaha sukses menyimpan ijazah dan transkrip nilainya di dalam lemari. Biarlah orang lain yang memberikan ijazahnya buatmu sebagai bentuk bahwa ia bekerja buatmu.

Meskipun kelak ada yang mencibir lulusan keguruan tapi bekerja di ranah profesi orang lain biarkan mereka mencibir, bila perlu sampai mulutnya berbuih. Toh tuntutan zaman memang sudah seperti itu. Karena bila masih terus bertahan dan memaksakan diri untuk berjuang di ranah pendidikan yang lahannya sudah tak lagi tersedia, kelak kamu akan terus mengutuk pemerintah dan mereka-mereka pemangku kebijakan. Buat apa ya kan? Untuk itu, mulailah berpikir kreatif menciptakan dunia usaha yang berpeluang dan menghasilkan. Nah, bila kelak kamu sudah kaya, orang yang uangnya tak tahu lagi mau dibawa kemana, tapi kamu lulusan dari fakultas keguruan, ayo dirikanlah sebuah sekolah yayasan atau sekolah apapun itu namanya, biar kelak mereka-mereka yang masih mengantungkan hidupnya di dunia tulis ajar memiliki lahan untuk mereka berkreativitas. Mencerdaskan anak bangsa. Dan juga sebagai tempat buatmu berbagi cerita sukses buat mereka yang menuntut ilmu di sekolahmu itu. Dan jangan lupa katakan pada mereka bahwa guru itu adalah Warrior Tuhan yang tidak sembarangan diciptakan! Selamat hari guru! Hidup guru! Semoga guru-guru yang ada di seluruh tanah air Indonesia kaya semua dan cepat naik haji. Amin…..***     


Berani share??? Hebat!!!