Monday, 24 November 2014

Terima Kasih, Bu Wardiati Guruku!

Aku menyukainya dan mencintai pelajaran Bahasa Indonesia bersebab karena seorang perempuan yang cantik, baik hati, bersahaja, dan lemah lembut sifatnya itu. Dialah guruku, guru bahasa Indonesiaku, pada saat aku mengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah, Wardiati namanya!

Guru, sosok orang yang harus digugu dan ditiru. Kata itulah yang selalu tergambar di kepalaku saat mendengar kata guru; sosok yang selalu ditiru dan selalu menyampaikan kebenaran dan kebaikan. Mengapa hanya ada nama (buk) Wardiati yang hanya kusebutkan di kalimat awal pembuka kisah ini? Itu punya alasan. Sebab atau alasannya adalah guru yang bernama Wardiati itu adalah seorang guru yang sangat berarti bagiku. Ia adalah ibu kedua bagiku setelah ibu kandungku!
 

Sebagai orang yang berarti dan telah mengajariku dan teman-temanku tentang pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, tentu memiliki guru seperti Bu Wardiati adalah anugerah Tuhan yang sangat berharga. Sungguh sangat berharga! Sebagai sesuatu yang sangat berharga tentu itu semua harus dijaga dengan baik bukan??? Salah satu cara menjaga sesuatu yang sangat berharga itu dengan baik adalah dengan cara mengingatnya! Ya, dengan cara mengingatnya, bila tak setiap waktu, setiap setahun sekali pun tak apa yang penting ada mengingatnya!
 

Bu Wardiati mengajariku dan teman-temanku yang batat tiada tara itu dengan tingkatan ikhlas yang sangat luar biasa dan penuh senyum. Saat beliau berada di kelas dan hendak mengajari kami tentang bahasa Indonesia, selalu saja ada ulah yang kami ciptakan. Dan dalang serta aktor pencipta ulah adalah orang-orang yang sekujur tubuhnya setiap hari dicium oleh rol kuning. Dan itu terjadi saban hari setiap ia masuk ke kelas kami. Bila suasana kelas sedang memanas, Bu Wardiati yang sangat kami sayangi itu tak akan memulai pembelajaran. Ia memandang tajam ke arah kami dengan bola matanya yang bulat itu. Pandangannya dengan bola mata yang bulat itu tak juga membuat kami meredakan aksi. Padahal, itu adalah pandangan yang menyiratkan kemarahan yang luar biasa. Setelah lima menit berlalu, baru aksi gaduh kami itu beranjak pergi ketika kapur berwarna putih berterbangan ke segenap penjuru kelas. Mengenai setiap wajah-wajah pembuat gaduh.
 

Saat-saat seperti itu, aku dan teman-temanku terdiam dan kami saling memandang. Ketika adegan pandang memandang berlangsung, laku diamlah yang kami lakonkan dan itu hanya bertahan selama lima menit. Selepas itu, kami kembali tertawa terpingkal-pingkal ketika seorang teman bengalku berkata tanpa takut pada Bu Wardiati.
 

Njan, ka dikhem Ibuk, ka dikhem,” ucapnya seraya tertawa terbahak-bahak. Dan benar seperti ucapan temanku itu. Bu Wardiati tak dapat menahan amarahnya. Kata-kata yang diucapkan oleh teman bengalku itu bagaikan tangan yang menggelitik tubuh. Bu Wardiati pun turut tertawa dan larut tertawa bersama kami! Setelah lelah tertawa bersama, seperti dikomandoi saja, kami langsung membuka buku pelajaran bahasa Indonesia dan mengikuti dengan sepenuh hati apa yang diajarkanoleh Bu Wardiati dan tak akan membuat ulah sampai bel akhir pelajaran berbunyi.
 

Begitulah saban hari yang kami lewati di sekolah sepuluh tahun yang lalu. Bila mengenang itu semua saat hendak beranjak tidur dengan istri tercinta, kadang-kadang tawa lahir dengan sendiri. Itu adalah kenangan yang sangat manis dan tak mungkin terulang lagi! Bila Bu Wardiati telah geram tiada tara, jari-jari lentiknya akan mencubit-cubit bagian tubuh kami dengan amat kuat! Saat itu terjadi, kami tak melawan sama sekali. Kami malah membiarkan bagian tubuh kami yang dicubit oleh sang guru tercinta sebagai bentuk pelampiasan kekesalannya. Dan cubitan Bu Wardiati adalah bagian terindah yang harus kami nikmati. Selepas cubitan sayang itu, beramai-ramailah kami membuka baju lalu memeriksa jumlah warna merah yang ada di bagian tubuh kami itu! Dan itu sungguh sangat menyenangkan! Apakah kalian pernah merasakannya???

Buku yang Belum Sempat Kukirimkan untuknya!Sebagai seorang guru yang sangat penyayang dan mengajari kami dengan penuh keikhlasan, Bu Wardiati seperti tak pernah kehabisan semangat untuk mengajar dan mendidik kami menjadi orang yang berguna. Segala apa yang diajarkan kami terima tanpa pernah ada kata bantahan. Karena membantah apa yang beliau kata, durkaha jadinya dan nerakalah tempatnya! Kalau urusan yang satu ini kami tak pernah melakukannya.
 

Saat itu kelas sedang sangat hening. Semua kepala serius mengikuti pelajaran. Pelajaran bahasa Indonesia yang akan kami pelajari pada hari itu adalah tentang Kalimat Majemuk. Ini adalah materi yang sulit bagi kami karena pada materi ini akan dibicarakan anak kalimat dan induk kalimat. Untuk itu, konsentrasi penuh adalah langkah pertama yang harus kami lakukan.
 

Ketika telah tiba pada penentuan anak kalimat dan induk kalimat dalam kalimat majemuk, Bu Wardiati terdiam. Kami pun terpaku menatap papan tulis hitam yang telah dicoreti kapur dan terpaku menatapnya juga! Diam Bu Wardiati dan diamnya kami bersebab kali ini kami harus mencari mana anak kalimat dan mana induk kalimat!
 

Kali ini kami sekelas tak ingin jahil. Padahal pertanyaan-pertanyaan jahil telah berontak di dalam kepala masing-masing hendak keluar untuk diutarakan pada Bu Wardiati. Salah satunya pertanyaan jahil yang waktu itu tak sempat diorbitkan adalah, “Bu, kapan si Kalimat itu menikah? Siapa suaminya? Kok tiba-tiba sudah punya anak? Atau jangan-jangan anak kalimat itu adalah anak haram?”
 

Aku yakin sekali, kelas akan meledak bila pertanyaan itu dilayangkan. Tapi pertanyaan itu kami urungkan!
 

Dalam keheningan itu, Bu Wardiati bertanya pada kami sekelas bahwa yang mana bagian induk kalimat dan yang mana bagian anak kalimat pada kalimat majemuk yang telah tertulis di papan tulis itu??? Kami terdiam bagai lilin yang dimatikan. Tak tahu mana yang ibu kalimat dan mana yang anak kalimat! Lama kami berdiam diri akibat pertanyaan tersebut hingga pertanyaan tentang yang mana ibu kalimat kembali dilontarkan oleh guruku itu, Bu Wardiati. Saat itu, diam adalah pilihan dan daripada asbun yang tak berarti.
 
Sampai bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, kami tak mampu menemukan si ibu kalimat. Begitu juga guruku, Bu Wardiati. Karena itulah, suatu saat aku berjanji dengan diriku nanti, bila aku menemukan buku tentang bagaimana mencari si ibu kalimat dan anaknya dalam kalimat majemuk, maka aku akan mengirimkannya buat guruku tersayang itu! Ya, itu akan kulakukan biar generasi berikutnya saat belajar Kalimat Majemuk tahu yang mana si ibu kalimat yang tak pernah menikah itu dan mana si anak kalimat yang tak pernah dilahirkan itu dalam kalimat majemuk!
                                                                               

                                                                                  ***
 

Bila mengenang itu semua, ingin rasanya kembali ke kelas yang berisi teman jahil, ingin belajar lagi di sekolah itu, dan tentunya ingin diajarkan lagi oleh guru yang sangat baik hati itu, namun waktu tak mungkin diputar untuk dikembalikan ke masa yang diinginkan. Sebagai seorang murid yang pernah memiliki seorang guru, mengenangnya adalah sebuah kewajiban. Apalagi di tanggal 25 November ini adalah hari untuk para guru yang ada di seluruh tanah air Indonesia. Maka, mengenang para guru yang telah berhasil mencerdaskan kita mungkin bukanlah pekerjaan yang berat. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk itu, semisal mendoakan guru-guru yang telah mendidik kita dulu agar selalu diberi kesehatan, dilimpahkan rezeki, diampuni dosanya, diterima amal ibadahnya, serta semoga dapat pergi ke tanah suci! Mudah bukan??? Maka, bial engkau pernah merasa memiliki guru, kenanglah ia di hari ini! 
 

Seperti mereka-mereka yang di sana yang mungkin pada hari ini mengenang guru-gurunya, aku juga sama. Aku juga mengenang guru-guruku dan ingin kuutarakan isi hati kecilku untuknya dan semoga ia membacanya!
 

“Bu War, anakmu yang dulu kecil kurus lagi nakal itu kini telah dewasa dan telah menyelesaikan kuliahnya. Ia akan menjadi guru seperti dirimu. Mengajar dan mendidik anak bangsa agar mereka pintar, cerdas, tidak dibodohi orang, dan tentu akan mengajarkan anak negeri tentang apa itu puisi, apa itu cinta, lewat pelajaran Bahasa Indonesia. Aku ingin mengajarkan mereka seperti engkau mengajarkanku dulu. Salam, siswamu Azmi Labohaji”

Selamat hari guru dan ingin kunyanyikan lagu ini untukmu, guruku!
….. namamu akan selalu hidup di dalam hatiku. Engkau sebagai pelita dalam kegelapan, engkau laksana embun penyejukkk, dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsaaa, tanpa tanda jasaaaa …..

oleh: Azmi Labohaji

Senin, 24 November 2014 

Thursday, 20 November 2014

Gigèh Meutakèh




Meunyoö hana tauseuha
panè atra rhöt di manyang
(kalau tidak berusaha
Manalah ada harta jatuh dari langit)




Inilah sepatah hadih maja yang dikutip dari buku Memahami Orang Aceh karya Dr. Mohd. Harun, M.Pd., yang  mungkin dapat memperjelas  perkara yang menyatakan bahwa orang Aceh malas. Di sana terdapat sebuah ungkapan yang layak kita cermati, yang berbunyi panè atra rhöt di manyang ‘manalah ada harta yang jatuh dari langit’ yang bermaksud bahwa rezeki seseorang manusia tidak akan datang begitu saja tanpa diusahakan (harta jatuh dari langit). Dari ungkapan itu, tampak jelas pesan yang tersirat, yakni selagi manusia masih membutuhkan makan dan minum, maka wajib baginya untuk berusaha. Meski usaha yang ditempuh dengan cara yang berbeda-beda; halal dan haram.  Yang penting usaha, perkara dosa dan segala macam itu hati nurani masing-masing yang harus memutuskan. 

Karena berusaha mencari rezeki hukumnya wajib, maka setiap insan dilarang untuk menghayal tanpa diiringi dengan ikhtiar. Mana mungkin dengan hayalan saja padi akan menjadi beras, perut yang lapar akan terasa kenyang! Dan mana mungkin pula dengan menghayal saja harta akan jatuh dari langit! Sungguh tidak mungkin. Tuhan pun takkan memberi jika kita tak berusaha.


Dalam pandangan islam, ada tiga macam rezeki, yaitu rezeki yang dijanjikan Allah, rezeki yang diberikan Allah, dan rezeki yang didapat karena Allah, (Harun, 2009:56). Rezeki yang dijanjikan Allah adalah rezeki yang dianugerahkan Allah kepada setiap makhluk hidup. Dengan kata lain, setiap makhluk hidup pasti ada rezekinya di dunia ini karena Allah telah menyediakannya. Namun, rezeki itu harus diusahakan, bukan dengan cara duduk dan menghayal. 

Orang Aceh pemalas?
Mungkin stempel pemalas layak dicap pada segelintir orang Aceh saja, tapi tak layak dicap bagi “orang” Aceh. Sebagaimana yang diutarakan Denni Iskandar (Serambi Indonesia, Selasa 7 Februari 2011), bahwa teori lain yang lebih netral mengatakan soal malas atau rajin itu sangat individualistik dan bergantung pada moral, motivasi, rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Dan sekarang, sila melangkah ke Aceh dan saksikan sendiri dari sebagian banyak orang Aceh, saya yakin stigma orang Aceh pemalas akan segera lenyap ketika anda dapati bahwa orang Aceh banyak yang gigèh-nya daripada yang beuoe-nya. 

Sangatlah tidak benar jika dikatakan orang Aceh itu pemalas. Bagaimana mereka bisa bermalas-malasan jika beras di rumah tak ada. Apalagi bagi mereka (orang Aceh) yang sudah berkeluarga. Dari mana uang yang mereka dapatkan untuk memberi jajan sekolah anaknya, mengirimi uang untuk anaknya yang kuliah, jika mereka tidak bekerja. Pasti mereka akan bekerja walau hasil yang didapatkan kelak tak banyak. 

Selain itu, memang tak dapat dipungkiri bahwa prinsip pajoh atra yang kana ‘menikmati yang sudah ada’ masih melekat erat pada segelintir orang Aceh. Maka, selagi atra yang kana (stok) masih banyak, mungkin sebagian dari mereka itu akan beristirahat atau bersantai untuk me-refresh badan yang lelah. Bisa jadi dalam jangka waktu tersebut sebagian orang menafsirkan orang Aceh malas. Ini seratus persen tidak benar. Dan prinsip pajoh atra yang kana pun tak terlepas dari banyak faktor. Salah satunya, orang Aceh banyak yang tak punya pekerjaan tetap. Misalnya, mereka yang bekerja sebagai kuli bangunan, yang kadang-kadang bekerja selama seminggu dan “nganggur” selama seminggu juga. Jadi, selagi ada pekerjaan yang baru, maka atra yang kana itulah yang akan dinikmati dulu.

Menyambil 
Pada kehidupan sehari-hari, banyak orang tua yang menasehati anaknya melalui ungkapan yang menjurus pada berusaha. Salah satunya  gigèh meutakèh, beuo meukeudo (gigih berkerak, malas berkeruh). Artinya, jika kita ulet, gigih dalam berusaha, maka kebutuhan-kebutuhan kita sehari akan terpenuhi. Begitu juga dengan keadaan perut, perut kita takkan keroncongan jika kita gigih dalam berusaha. Sebaliknya, jika beuo meukeudo maka keroncongan itu adalah sahabat yang tak pernah lekang dari perut kita. 

Di sisi lain, jika kita mengamati orang Aceh yang berprofesi sebagai petani di pedalaman kampung sana, pekerjaan menyambil (seumambee) banyak mereka lakukan. Misalnya, di samping menanam padi, di setiap pematang sawahnya pasti ada beberapa batang jagung dan kacang panjang yang akan mereka tanami. Karena selain padi dipanen kelak, jagung dan kacang panjang pun ikut dipanen. Bahkan sebagian lagi ada yang memanfaatkan waktu sebaik mungkin; pagi ke sawah, siangnya mereka ke ladang. Dan ini merupaka bagian dari ke-gigèh-an seseorang. Walaupun itu pekerjaan sambilan, jika dilakukan dengan baik, ternyata mendatangkan manfaat yang baik pula. 

Selain itu, prinsip gaki jak urat meunari/ na tajak na raseuki (kaki berjalan urat menari/ ada berjalan ada rezeki)  masih dipegang teguh orang Aceh. Karena ketika kaki sudah melangkah, pasti ada rezeki yang akan kita peroleh. Walaupun tempat tujuan ia pergi itu ke warung kopi. Mungkin di sana akan ada teman yang akan menawarkan pekerjaan. 

Kemudian, endatu orang Aceh juga telah mengajarkan bahwa bermalas-malasan itu dilarang.  Sebab akhir dari bermalas-malasan itu pasti mengharap pada orang lain. Nah, jika kita mau membuka halaman sejarah, maka di sana akan tertulis bahwa Aceh pernah mengenyam predikat penghasil lada terbanyak di dunia. Jadi, jika orang Aceh distempel “pemalas” maka itu akan sangat bertentangan dengan apa yang tertulis dalam sejarah.  

Jadi, perlu dikaji ulang jika ingin men-stempel orang Aceh pemalas. Sebab tak semua orang Aceh pemalas. Meskipun hasil buminya melimpah, tapi mereka tak ingin dininabobokan  atau terlena dengan hasil bumi tersebut, karena hasil jerih payah sendiri rasanya akan sangat berbeda dengan hasil yang diberikan cuma-cuma. Maka, stempel yang layak dicap untuk orang Aceh adalah ureung Aceh lee nyang gigèh meutakèh (orang Aceh banyak yang gigih berkerak).


oleh: Azmi Labohaji
Kamis, 20 November 2014

Gigèh Meutakèh 'gigih Berkerak'

Saturday, 15 November 2014

Bingkeng



Kata bingkeng dalam bahasa Aceh mungkin bisa kita sejajarkan dengan kata judes atau kata temperamen dalam bahasa Indonesia. Kata ini (bingkeng) dalam tuturan sehari-hari bisa kita jumpai pada penutur bahasa Aceh wilayah selatan. Bingkeng dalam bahasa Aceh bisa diartikan lebih kurang  orang yang cepat marah atau orang yang cepat naik emosi. Begitu juga kata judes atau temperamen dalam bahasa Indonesia yang bermakna sifat batin yang tetap mempengaruhi perbuatan, perasaan, pikiran, dan pikiran seseorang. 

Bingkeng  termasuk ke dalam salah satu sifat manusia. Sifat bingkeng ini tidak disukai banyak orang. Sebab, orang yang memiliki sifat tersebut biasanya akan dijauhi oleh banyak orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang mau dekat atau mau bergaul dengan si manusia yang memiliki sifat tersebut. Orang-orang yang mau berteman atau berkawan dengan si manusia bingkeng itu pun karena ada tujuan tertentu. Kalau ia tak memiliki tujuan tertentu maka ia tak akan berteman dengan orang tersebut.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Orang yang memiliki sifat tersebut (bingkeng) jika ada sesuatu hal yang kurang berkenan atau kurang pas di matanya, emosinya langsung mendidih dan objek yang menjadi sasaran tempat ia ruahkan emosinya langsung disiram atau dihujani dengan kata-kata yang membuat telinga terasa panas.

Pernah suatu kali, di sebuah pertemuan perkuliahan, kala itu mata kuliahnya ialah mata kuliah yang mengkaji tentang fonem, bunyi, dan alat-alat ucap yang menghasilkan suara (fon). Di silabus perkuliahan mata kuliah tersebut diberi nama Bunyi. Kami semua telah berada di dalam kelas menunggu kehadiran sang dosen. Detik pun berlalu berganti menit. Lalu menit berganti jam. Akhirnya, sang dosen masuk ke dalam ruang kelas meski telah telat lima belas menit. Suasana kelas masih dibalut keriuhan. Seorang teman saya, Maun, duduk dengan seorang mahasiswa yang berasal dari Singkil, Udin. Maun ternyata terpesona dengan sapu tangan yang baru saja di beli si mahasiswa yang berasal dari Singkil itu. Maun langsung mengambilnya dan mengelap keningnya yang tak berkeringat.

Ternyata apa yang dilakukan Maun dilihat sang dosen. Tanpa butuh waktu lama, sang dosen langsung menyiram Maun dengan kata-kata dan sindiran-sindiran yang begitu “mematikan”. Wajah Maun langsung berubah seratus derajat. Kupingnya memerah. Bola matanya memerah. Maun kalah, malu, salah tingkah, dan langsung keluar kelas. Padahal sang dosen tidak menyuruh ia keluar.  

Sejenak kami tertawa dengan apa yang telah diperbuat Maun. Namun, lama kelamaan, seiring tidak kembalinya Maun ke dalam kelas, kami mulai membenci sang dosen. Ia bukan lagi mengajar, melainkan berceramah. Ceramah yang menurut kami tak patut untuk didengar. 

Hari berlalu berganti minggu. Mata kuliah Bunyi kembali diikuti. Maun, dengan setelan baju yang begitu menarik duduk di samping Udin. Kini ia tak lagi meminta sapu tangan pada Udin, sebab ia takut kejadian minggu lalu akan terulang kembali. Kini Maun hanya duduk diam tanpa banyak kata. 

Perkuliahan pun telah berjalan tiga puluh menit. Sang dosen menjelaskan dengan berapi-api. Kala sang dosen berhenti dari menjelaskan tentang materi yang baru saja ia berikan, Maun mengacungkan jemari telunjuknya. Maun bertanya. Begitu santun bahasa bertanya Maun. Kalimatnya teratur. Diksinya pas. Dan Maun pun selesai bertanya. Gemuruh tepuk tangan dari kawan-kawan memenuhi ruangan. Gemuruh itu menghilang. Kini tinggal menunggu jawaban dari sang dosen

Sang dosen menatap Maun. Suasana hening sejenak. “Kamu pungo atau gila?” tanya sang dosen pada Maun. Spontan Maun terhentak.  Bukan jawaban yang ia inginkan yang ia dapatkan malah pertanyaan beserta ejekan yang ia terima. “Saya kan belum mempersilahkan kamu dan yang lainnya untuk bertanya! Kamu ini begok atau Pa’ak?” Sang dosen kembali menyiram Maun. Mata, muka, dan telinga Maun memerah. Kata-kata sang dosen ibarat bensin dan pemantik api. Dan hati Maun adalah kayu bakarnya. Hati Maun kini terbakar hebat.

Hati telah terbakar. Harga diri telah dipijak. Maun berdiri dengan tegapnya dan jemari telunjuknya menunjuk wajah sang dosen. “Hoi!” ucap Maun pada sang dosen,”Seorang dosen yang baik tak memiliki mulut seperti Anda dan juga tak memiliki sifat bingkeng seperti Anda. Seorang dosen yang baik itu bukan seperti Anda, mencerca anak didiknya. Dosen yang baik itu selalu menjawab pertanyaan anak didiknya meski waktu bertanya belum diberikan. Anda ini terlalu bingkeng! Kalau tidak sanggup menjadi dosen, jak woe keudeh jak mita boh-boh sidom (pulang sana cari telur semut). Karena di sini bukan tempat  orang-orang sperti Anda. Alah hai dosen Bingkeng!” 

Sang dosen terdiam tanpa kata. Pukulan Maun ternyata amat telak. Muka sang dosen memerah, telinganya memerah, tangannya dikepal kuat. Namun semua itu tak membuat Maun menggigil atau takut. Ia langsung meraih tasnya. “Bingkeng? Ke laut ajaaa!” ucap Maun dengan nada mengejek dan berlalu keluar kelas. 

Sang dosen malu bukan main. Hari ini karena sifatnya yang bingkeng itu, ia telah dipermalukan oleh mahasiswanya sendiri. Dan Maun, setelah hari tersebut, ia tak pernah lagi masuk ke dalam kelas dosen yang mengasuh mata kuliah Bunyi.

Hari berlalu bertukar dengan minggu. Minggu bertukar dengan bulan hingga nilai mata kuliah bunyi pun diumumkan. Maun datang melihatnya. Di ujung namanya, terteralah sebuah huruf E _apital. Maun tidak lulus. Namun, ia tidak tinggal diam. Segera diraih balpoin dan ditulislah beberapa kata di bawah nama dosen yang mengasuh mata kuliah tersebut. ORANG BINGKENG LAGI PENDENDAM AKAN MASUK NERAKA. ITU PASTI KATA TUHAN. TERIMA KASIH PAK BINGKENG ATAS NILAINYA!

Maun pergi meninggalkan tempat pengumuman nilai seraya bersiul-siul menang. Tak lama kemudian atas tulisan yang telah ditulis Maun pada lembar pengumuman nilai, ia menjadi terkenal. Dan sang dosen tersebut hingga seterusnya dipanggil dengan sebutan Pak BINGKENG. Tak ada penyesalan dalam diri Maun, karena kini ia merasa telah menang.      
***
(Minggu, 16 November 2014)
oleh: Azmi Labohaji