Tuesday, 18 March 2014

Priiiiittt … GPP FC vs FC Setting


Oleh: Azmi Labohaji

Bila mendengar suara priiittt yang tergambar di pikiran kita tentunya itu adalah suara yang keluar dari peluit yang ditiup oleh tukang parkir dan hakim di lapangan hijau kala pertandingan sepak bola berlangsung. Namun, kali ini Hamba Ganteng tak membicarakan suara priiittt yang keluar dari peluit tukang parkir, yang jika sekali priiittt bayar Rp1.000/2.000, melainkan suara priiitt yang lahir dari peluit hakim di lapangan hijau alias wasit. Wasit yang yang dibicarakan di sini pun bukan orang yang memakai seragam pendek warna hijau stabilo, berkaus kaki panjang, memakai jam tangan digital, headseat yang tergantung di telinga, sepatu bergambir yang bermerek (Adidas/Nike), dan berlari mengejar bola atau mengejar pemain ke setiap sudut lapangan seperti orang gila. Wasit yang dibicarakan di sini adalah lelaki yang tanpa headseat di telinga, tidak berlari-lari seperti orang gila, tidak memakai jam tangan digital, tidak memakai seragam pendek warna hijau stabilo, dan tidak memakai sepatu bergambir. Wasit yang dibicarakan di sini adalah orang baik, hanya meniup peluit, menanyakan nomor punggung berapa, lalu mencatat kesalahannya apa untuk diberikan kartu, apakah kuning, merah, atau pink.  

Adalah puluhan pemain yang terseleksi ketat yang berasal dari segenap daerah terpencil di Indonesia untuk bertanding di stadion Sandiago Russalamo el-Kipo (nama stadion sengaja disamarkan mengingat satu dan lain hal) pada sebuah hari, Kamis 27 Februari 2014. Pemain hebat yang menamai diri mereka GPP FC (kepanjangan dari Ga Pa Pa  Football CLub) dengan  jumlahnya tak terhingga kala itu (ada yang Junior (sd), madya (smp), dan juga senior (sma) di sana) datang ke stadion tempat perhelatan pertandingan akbar itu dengan semangat ‘47. Mereka pandai semua. Mereka tahu posisinya apa dan di mana berdirinya. Jika diprediksikan sebelum bigmacth berlangsung, ada yang berani menebak GPP FC akan membantai FC Setting dengan skor 6 - 0 tanpa balas, FC Setting 2 – 9 GPP FC, 10 - 0 menang GPP FC, dan tebakan-tebakan skor lainnya yang Hamba Ganteng tak mungkin sebutkan lebih rinci lagi. Namun, cerita mengejutkan pun terjadi (ini akan dicerita nanti, sabar dikit ya). 

Sejumlah pemain yang kala itu tidak didampingi oleh pelatih utama Fi Fio’o (mengingat pelatih utama melanjutkan sekolah kepelatihan di luar kota), melainkan didampingi oleh asisten utama, DrogDar Bee.  Ada beberapa nama yang diturunkan oleh asisten pelatih kala itu. Asisten pelatih menurunkan nama-nama tersebut Hamba Ganteng yakin sekali karena mereka adalah pemain-pemain hayeu, yang menurut kepala DrogDar Bee, mereka pasti mampu menenggelamkan FC Setting dengan skor yang telah Hamba Ganteng sebutkan di atas. Meskipun sebagiannya harus menjadi cadangan (berada di luar ruangan kala itu), namun pemain GPP FC itu tetap sabar menunggu hasil dari asisten pelatih, DrogDar Bee.

Pertandingan pun akan berlangsung. Gemuruh ratusan ribu suara suporter membahana, mengisi setiap sudut ruang stadion Sandiago Russalamo el-Kipo. Suara seurune kale pengganti vuvuzula membuat suasana stadion Sandiago Russalamo el-Kipo riuh sekali. Suara genderang rapa’i  dengan yel-yel “Pop Pop Moto Ijo” yang mereka kumandangkan pun tak kalah ributnya dengan suara seurune kale pengganti vuvuzula. Mereka semua sungguh bersemangat. Mereka merelakan diri untuk menonton perhelatan yang memukau itu sampai habis. Mengantisipasi perut yang lapar saat menonton laga yang panas itu, para suporter pun memesan kupi mix, kupi itam, kupi pancong, teh hangat, lontong, mie gureng, pakpong, pangsit, dan pengganan lainnya. Di stadion itu pun para suporter bermacam ragam. Mulai dari suporter fanatik, suporter ecek-ecek,  hingga suporter abal-abal.

Seremoni berlangsung hangat. Pemilihan lapangan berlangsung dengan penuh semangat. Menit-menit pertama, kedua, ketiga, hingga menit-menit kedua puluh, bola dikuasai oleh FC Setting. Ball position kala itu dikuasai penuh oleh FC Setting. GPP FC tak sekali pun diberi celah untuk mendapatkan bola apalagi untuk menguasainya. Karena tak mendapat bola, permainan pun semakin memanas. Para pemain GPP FC semakin tak sabar menunggu, mengejar, hingga waktu untuk mendapatkan bola pun tiba.

Waktu itu pun akhirnya tiba. Kini bola sepenuhnya dikuasai oleh GPP FC. Mereka tak melepaskan angin lagi bagi FC Setting untuk menguasai bola. Jangankan dikuasai, untuk disentuh pun mereka tak memberikan peluangnya.Adalah seorang pemain GPP FC (yang Hamba Ganteng lupa namanya) mulai menggiring bola, mengecoh para pemain FC Setting satu per satu hingga bola tiba di mulut gawang. Saat hendak menendang bola ke gawang FC Setting, tiba-tiba wasit meniup peluitnya. Pemain GPP FC diganjar kartu kuning. Selidik punya selidik ternyata pemain GPP FC rasis terhadap seorang pemain FC Setting dengan mengata-ngatai pemain FC Setting “man, santai sekali kok!”. Entah salah mendengar/menanggapi (karena suara di stadion dipenuhi oleh suara seurune kale dan rapa’i) pemain FC Setting mengadu kepada wasit. Lalu terjadilah kejadian tersebut. Akhirnya, pemain GPP FC bermain lebih hati-hati lagi dan kemudian ditarik oleh DrogDar Bee digantikan dengan pemain lainnya.

Pada menit ke-69 selepas kejadian rasis itu, bola berhasil disarangkan ke gawang GPP FC oleh seorang pemain FC Setting. Luka semakin lengkap. Pilu semakin mendayu. Lesu terus menyergap. Stadion tak lagi bergemuruh. Tak ada suara lagi seurune kale,  rapa’i, dan yel-yel Pop Pop Moto Ijo. Gol yang diciptakan oleh FC Setting membuat mulut pada supporter GPP FC macam terkunci. 1-0 pertandingan dimenangi oleh FC Setting untuk menit ke-69. Laga semakin panas. Pemain saling berebut bole. Duel udara, duel darat, pun semakin menghiasi jalannya pertandingan.   
  Pada menit ke-80, tepatnya pada saat bole yang tengah digiring oleh salah seorang pemain GPP FC, Lam baa Sapdi, menuju mulut gawang rasis kembali terjadi. Seharusnya bole yang digiring oleh Lam baa Sapdi akan berbuah gol. Namun, saat hendak menendang, ucap Lam baa Sapdi, ia mendengar kata-kata rasis dari pemain FC Setting. Tendangan pun ia batalkan mengingat ia tak mau menerima rasis itu. Lam baa Sapdi pun mengadu kepada wasit.

“Sit, pemain FC Setting rasis pada saya.”“Dia bilang apa, baa?” tanya wasit.“Lepsi. (Sedikit Hamba Ganteng jelaskan, kata Lepsi kepanjangan dari Leupah Seksi. Kata-kata ini sangat tidak boleh diucapkan saat pertandingan berlangsung). Dia mengatai saya Lepsi, Sit! Pokoknya saya tidak terima rasis itu. Berikan dia kartu, Sit!” bujuk baa.“Ah, mungkin kamu salah dengar itu. Ayo, lanjutkan lagi pertandingannya.”“Kiban le wasit njoe. Brat siblah. Hana hayeu ta maen bole lagee njoe,” dongkol baa.

Kata-kata itu ternyata cukup jelas didengar oleh wasit meskipun suara seurune kale, rapai’i¸dan yel-yel Pop Pop Moto Ijo sudah kembali meriuhkan stadion. Baru saja wasit hendak berlari melanjutkan pertandingan, tiba-tiba ia kembali lagi pad baa. Resah pun menyelimuti pemain yang berasal dari Kalimantan Barat itu.  

“Kamu telah menghina wasit. Selesai pertandingan ini nanti kamu buat surat pernyataan bertanda tangan di atas materai 6000 yang menyatakan bahwa kamu berjanji tidak akan menghina wasit lagi,” ucap wasit sambil mengeluarkan kartu merah dan menghadapkannya  ke wajah Lam baa Sapdi.Lam baa Sapdi keluar lapangan dengan wajah yang penuh amarah, palak, gram, sambil menyepak-nyepak rumput lapangan. Di luar lapangan, tepatnya di bench, DrogDar Bee memukul jidat sambil berkata, “Peu ka jipeuget lom aneuk buah ke??? Saket ulee teuh meuno!”   

Kekurangan pemain sangat dimanfaatkan oleh para pemain FC Setting. Gol demi gol pun mereka lesakkan ke dalam gawang GPP FC. Di papan skor electronic terpampang angka yang sangat memalukan untuk dilihat. 8-0. DrogDar Bee semakin terpuruk duduk di bench. Ia tak lagi menyaksikan pertandingan. Wajahnya telah ia tutupi dengan kupiah jak beut. Pertandingan yang hasilnya sungguh memalukan.

Tiba-tiba suara seurune kale, rapa’i, dan yel-yel Pop Pop Moto Ijo kembali meriuhkan stadion Sandiago Russalamo el-Kipo. Di tengah lapangan sana ternyata seorang pemain GPP FC tengah menggiring bola seorang diri menuju gawang FC Setting tanpa ada lawan yang mengejar. DrogDar Bee pun terjaga dari duduknya. Kupiah jak beut ia campak begitu saja. Ia terus menyoraki, menyemangati pemainnya yang bernomor punggung 13. Dengan skill di atas rata-rata, pemain On Ly Fa ini pun berhasil mengecoh kiper FC Setting, Minggan Saer. Bola pun gol. On Ly Fa melakukan selebrasi yang juga diikuti oleh pemain yang lainnya. Namun, saat itu juga raut wajah On Ly Fa berubah menjadi keheranan. “Kenapa para suporter tak berteriak dan membunyi seurune kale dan rapa’i?” tanya On Ly Fa dalam hati.  Seketika itu juga pertanyaan On Ly Fa terjawab.

Di tengah lapangan sana, sang wasit berdiri tegak dengan tangan kanan terangkat tinggi-tinggi dan di ujungnnya ada selembar kartu berwarna kuning. On Ly Fa dari sudut korner berlari sangat kencang menuju ke tempat wasit berdiri. Pemain-pemain yang lainnya dan juga para pemain cadangan menampakkan wajah kesal sambil komat-kamit.  Di bench sang entrenador, DrogDar Bee, kembali menutup wajahnya dengan kupiah jak beut. Ia palak sijuta.

“Gol kamu saya anulir,” ucap wasit pada On Ly Fa.“Sa …” belum habis bertanya, wasit kembali bertanya pada On Ly Fa.“Nomor punggung berapa?”“sa … lah say a ap …?”“Soe nan?” tanya wasit lagi sambil menorehkan tintanya pada secarik kertas.
                                                          
 Bersambungggg …..



Monday, 10 March 2014

Buraq LA dan Perjalanan ke Taman Surga


Bila petang menjelang kau datang dengan senyum indah merekah mendamaikan hati. Seindah matahari yang pergi tidur di sebalik belahan bumi yang lain. Sedamai burung laut yang pergi pulang ke sarangnya. Dengan segenap rasa aku menyambutmu layaknya seorang tamu yang datang dari negeri nun jauh di sana. Kau lelah dengan sejuta rasa. Aku tentunya, untuk menyambut kedatanganmu, telah mempersiapkan hati, jiwa, dan rumah-istana untuk kau berehat ria kelak.

(Mimpi)

Dari atas unta berwarna merah muda itu kau turun lalu mengucap salam lewat bibir yang merekah indah menarik ingin dengan suara nan merdu serupa suara Nabi Daud. Aku membalas salam lewat bibir yang merekah hitam dengan suara serak sungguh menyebalkan tetapi merdu kala melantun puisi.

“Selamat datang Tuan Putri dari dataran dingin di kediaman Hamba Ganteng yang meresahkan ini. Lama sudah Hamba Ganteng tak melihat rupa rupawan Tuan Putri, keelokan pipi, mata, jua hati yang selalu sedia menolong sahabat negeri. Sudilah Tuan Putri singgah di gubuk Hamba Ganteng ini. Ini kali  Hamba Ganteng ingin sungguh menjamu Tuan Putri yang telah jauh melangkah datang menjemput Hamba Ganteng.”

Lalu aku melangkah menuju gubuk diikuti Tuan Putri. Setiba di sana aku langsung menggelar tikar pandan yang sudah kupersiapkan. Aku menggelarnya di atas gubuk yang kubuat setahun lalu yang semua unsurnya adalah bambu. Seusai menggelar tikar, aku mengambil pengganan di tempat persembunyian untuk kami santap berdua nanti. Aku mondar-mandir bagai setrika, dari gubuk ke tempat persembunyian, dari tempat persembunyian ke gubuk. Tuan Puteri tersenyum hangat. Hanya tersenyum, tak mau membantu. (Entah kenapa ia tak mau membantu, mungkin karena ia tahu kalau saat itu ia menjadi seorang Tuan Putri, jadi ya sok-sok dikitlah).

Pengganan usai dihidang. Selepas mengucap Basmalah kami lalu menyantap hidangan tersebut. Angin sepoi-sepoi membelai rambut Tuan Putri nan harum sileumpah. Matahari saat itu seolah-olah tahu ke arah mana cahayanya itu harus disenter. Nuri yang masih terbang di awan tak pulang-pulang seperti tahu bahwa ada seorang jelita di gubuk Hamba Ganteng lalu ia pun hinggap di ranting pohon jambu yang dekat dengan gubuk. Di situ dengan tingkahnya yang menarik, ia bersiul seraya menari-nari, ia  hendak menjadi pengganti suara-suara sumbang dari musik MP3 yang dilantun oleh boyband-boyband yang laki-lakinya semua pakai bedak. Sungguh indah! Penuh kebahagiaan di sana. Sambil suap-menyuap. Sambil colek-mencolek dan sambil sambil lainnya. Tentunya pertemuan pada hari itu antara aku, Hamba Ganteng dengan Tuan Putri, dipayungi awan kebahagiaan yang akan dikenang seumur masa.

Perut kami kini terisi hidangan. Lalu, setelah aku memindahkan hidangan ke tempat persembunyian,  Tuan Putri mengajakku pergi ke suatu tempat nan sungguh indah.

“Aku akan mengajakmu pergi ke taman surga sekarang. Untuk bisa tiba di sana, syaratnya adalah kita harus mengendarai buraq hitammu itu. Hanya kendaraan itu yang mampu membawa kita ke sana! Apa kau bersedia, Hamba Ganteng?”

Aku langsung menjawab tanpa beban. “Sudah lama buraq itu tak kubawa. Dan Hamba Ganteng sengaja tak membawanya karena penumpang yang sangat pantas berada di belakangnya hanyalah Tuan Puteri. Atas nama ajakan Tuan Putri ke mana pun Hamba Ganteng bersedia pergi.”     

Tak lama kemudian, aku mengeluarkan buraq hitamku itu dari tempat persembunyiannya. Di bagian belakang terukir khat LA dengan ukirang yang indah dan menggoda mata. Aku menghidupkannya sambil memandang ke  arah Tuan Putri. Mata kami bertemu untuk waktu yang singkat. Sejurus kemudian, mata Tuan Putri memandang ke  arah pantat buraq.

“Mari Tuan Putri, apalagi yang dinanti? Hamba Ganteng sudah siap sedia menuju Taman Surga tempat Tuan Putri inginkan.”

Tuan Putri masih berdiam diri di tempat semula. Matanya masih seperti sedia kala, menatap pantat buraq. Lantas, saat itu juga pandangan Tuan Putri terjawab. Yang ia pandang ternyata khat LA yang ada di pantat buraq.

“Apa itu LA?” tanya Tuan Putri lembut.

“O, itu kepanjangan dari Leumo Agam, Tuan Putri.”

Rasa penasaran telah terjawab, Tuan Putri langsung melangkah ke atas buraq. Dengan penuh kepercayaan diri Hamba Ganteng mulai mengambil ancang-ancang membawa buraq menuju Taman Surga.

“Peganglah Hamba Ganteng yang erat, Tuan Putri, sebab buraq ini tak ada seatbelt-nya.”

Tuan Putri melaksanakan perintah Hamba Ganteng. Tak lama kemudian, buraq yang dikemudi oleh Hamba Ganteng melaju secepat kilat di angkasa.

(Di perjalanan Menuju Taman Surga)

Buraq yang dikendarai Hamba Ganteng kini berada di luar angkasa. Buraq itu melesat sungguh cepat, mengelak meteor-meteor yang berterbangan di angkasa, bintang  berekor, bintang berkepala, melewati bulan, matahari, planet-planet, dan bintang yang sedang berkelip-kelip. Terpukau akan keindahan Tuhan yang mahadahsyat itu, Tuan Putri lalu berseru pada Hamba Ganteng.

“Hai Hamba Ganteng, bisakah kau kurangi sedikit kecepatan buraq ini? Aku ingin sekali menikmati pemandangan ini.”

“Maaf seribu maaf Tuan Putri. Kecepatan buraq ini memang sudah seperti ini tidak bisa diubah-ubah lagi.”

Tuan Putri terdiam mendengar penjelasan Hamba Ganteng dan memakluminya. Lalu, selang beberapa menit kemudian, dengan segenap keberanian, Hamba Ganteng pun bertanya pada Tuan Putri.

“Maaf seribu maaf Tuan Putri, kalau saya boleh tahu apa yang akan Tuan Putri lakukan kelak jika telah tiba di Taman Surga?    

“Terima Kasih Hamba Ganteng telah bersedia menanyakan hal itu pada saya. Saya merindukan kekasih saya. Dalam mimpi semalam, ia berseru kepadaku, bahwa di salah satu sudut Taman Surga ia meletakkan sebuah puisi yang sangat indah. Sungguh sangat indah. Karena sungguh dan sangat indah, aku tak berani membacanya. Aku sungguh takut. Maka dari itu, aku mencari seseorang yang suaranya merdu untuk membacakan puisi tersebut, yaitu Kau, Hamba Ganteng.”

Aku terdiam mendengar penjelasan Tuan Putri Jelita itu.

“Katanya, dalam mimpiku semalam, puisi itu bercerita tentang keindaha-keindahan yang sungguh indah. Dan pula puisi itu harus dibaca oleh orang yang bersuara merdu.”

“Maukah kau membacakan puisi kekasihku, Azmi Labohaji, itu untukku, wahai Hamba Ganteng?”

“Sungguh-sungguh sangat mau Duhai Tuan Putri jelita.”

Mereka pun tiba di Taman Surga.

Tuan Putri pun pergi menuju sudut Taman Surga tempat disimpannya sebuah puisi indah milik kekasihnya itu. Tuan Putri mendapatkannya lalu membuka kertas yang berisi untaian kata-kata indah itu. Seketika itu, semerbak kasturi pun keluar dari kertas yang dipegang Tuan Putri Jelita itu menyusuri lubang hidung mereka. Sungguh wangi yang tak mampu diungkapkan dengan kata kata.

Dan Hamba Ganteng dengan penuh keberanian mulai membaca baris-baris puisi tersebut.

“………..”

                                             

   (sory, puisinya pada cerita selanjutnya ya. Hehehe)


[Azmi Labohaji]