Friday, 16 March 2018

Di Atas Puncak Gemilang, Ingin Aku Merayu Takdir

Hari itu cuaca sangat cerah. Saat aku duduk di atas bangku taman sembari memandang ke hamparan pemandangan nan indah-hamparan laut dan perumahan warga-lalu kau datang, dan duduk dengan manis disampingku.

"Sudah dua kali. Tapi, entahlah, mungkin tiga kali sudah ..." tiba-tiba kau berucap padaku. Lalu kau menutup muka dengan kedua tanganmu. Entah itu gerakan atas penyesalan. Entah itu gerakan malu. Aku tak tahu. Yang jelas saat itu aku tak lagi melihat wajahmu.

Kalimat yang baru saja kau utarakan padaku ini adalah jawaban atas pertanyaan yang telah kutanyakan padamu tiga puluh hari yang lalu. Dan kau, baru menjawabnya sekarang. Aku tahu, itu adalah pertanyaan yang teramat berat bagimu.
***
Di atas puncak gemilang ini, kupikir, posisi kita dengan Tuhan dekat sekali. Ingin sekali aku meminta dengan lembut pada-Nya tentang takdir. Ya, aku ingin merayu pada Tuhan agar takdirku tentang hubungan denganmu yang sedang berada di sampingku kini berakhir seperti yang kuinginkan.

Tapi takdir selalu punya jalannya sendiri. Apakah itu akan bermuara pada kebahagiaan atau akan berakhir pada kesedihan yang panjang. Tapi, kali ini walau bagaimanapun gerakan yang akan aku lakukan untuk merayu takdir, takdir tetap pada pendiriannya. Jelas, kali ini aku tak kuasa merayunya.

Sebenarnya ingin sekali kulingkari sebuah cincin emas di jari manismu sebagai sebuah tanda. Ya, tanda bahwa kau sudah aku miliki. Tapi mimpi untuk itu tak bisa kuwujudkan. Sebabnya jelas sekali, aku tak mampu buat berdamai dengan hati dan perasaanku tentang kalimat yang kau ucapkan tadi.

Dari bentuk wajah, bentuk hidung, warna kulit (hitam manis), tinggi badan, dan lekuk bibir yang kau miliki, kau adalah gadis yang selalu kuharapkan dalam setiap doa-doaku. Kau adalah gadis yang memiliki semua ciri-ciri yang kuinginkan. Tapi, di satu titik (yang tak mampu kusebut, bahkan tak berani aku menulisnya) kau adalah gadis yang tak mau kusebut dalam setiap doa-doaku. Bahkan untuk memilikimu pun aku harus berpikir selama enam puluh hari lamanya. Selain itu, jika pun aku harus memilikimu, ada sebuah tantangan berat yang harus aku menangi. Aku harus bertarung melawan perasaan yang saban detik datang mengaduk-ngaduk kejiwaanku dengan kalimatnya yang cukup membuat aku geram:

"Kau adalah lelaki bodoh yang telah buta mata hatinya dan tak tahu bagaimana cara menikmati kenikmatan yang berasal dari surga. Sungguh kau adalah lelaki bodoh ..."

Bila kalimat ini saban detik berkoar-koar di dalam gendang telinga, apalagi saat menyesap kopi yang nikmat, maka pertanyaannya adalah, lelaki mana yang mampu bertahan membentengi diri memusnahkan kalimat tersebut???

Di atas Puncak Gemilang ini, kupikir, posisi kita dengan Tuhan dekat sekali. Tuhan merasakan degupan jantungku beserta kalimat sedih di dalamnya. Tuhan juga merasakan amarah teriakan dalam tubuhku yang ingin aku muntahkan. Tuhan merasakan apa yang aku rasakan di atas Puncak Gemilang itu. Tapi, kenapa Tuhan masih mengirimkan gadis yang lahir di bulan Juni itu buatku? Padahal, di satu sisi, aku benci bulan Juni, di sisi yang lain aku amat mencintai bulan Juni. Bahkan yang lebih gilanya lagi, aku baru saja memberikan separuh hatiku buat gadis yang jari-jari tangannya lihai sekali memainkan tut piano.

Lagi-lagi aku mengalah pada takdir. Mungkin ini sudah menjadi takdir atau suratan buatku. Dan aku, masih berdiri pada keyakinanku yang teguh. Tuhan tidak akan tinggal diam atas hatiku yang baru saja remuk ini. Mungkin Tuhan lagi menyiapkan gadis buatku yang lahir di bulan Januari, atau Februari, mungkin Maret, bisa jadi April, bisa saja Mei, atau Juli, mungkin Agustus, kadang September, atau saja Oktober, mungkin saja November, atau Desember. Gadis dengan perawakan yang seperti selalu kusebutkan dalam doaku. Dan yang terpenting bukan gadis yang lahir di bulan Juni yang dikirim Tuhan buatku. Amin.

Di atas Puncak Gemilang ini, posisi kita teramat dekat dengan Tuhan. Andai saja aku masih merengek mencoba merayu takdir, mungkin Tuhan akan mengirimkan laknatnya kepadaku dalam bentuk secuil petir yang mampu membelah laut Tapaktuan itu. Tapi, itu tak lagi kulakukan. Sekarang, kepadamu wahai gadis yang selalu kupanggil dengan sebutan "Kilau", pergilah. Pergilah meskipun kau membawa separuh hatiku. Aku tak apa-apa. Karena aku yakin sekali, dalam setiap rapal doaku, lambat laun hatiku yang kau bawa pergi itu dengan sendirinya akan menghilang. Aku yakin sekali.

Terakhir, yang ingin kuucapkan adalah terima kasih atas jalinan kasih yang singkat ini. Untung saja kita belum merajut kisah ini terlalu jauh. Andai saja itu terjadi, tak terpikir olehku apa yang akan terjadi bila kita berumah tangga, memiliki anak yang lucu, sudah pasti kekacauan adalah makanan kita sehari-hari. Kau tak perlu resah, wahai "kilau", mungkin yang perlu kau ingat atau bahkan perlu kau tulis di dalam palung hatimu yang terdalam adalah kalimat ini:
"Kukagumi kau untuk waktu yang singkat. Selepas itu, kita bukanlah sepasang takdir yang saling mendoakan dalam setiap sujud."

Sebagai penutup cerita ini, aku teringat kalimat indah yang kekuatannya dahsyat luar biasa. Kalimat tersebut membuat tubuhku seperti teraliri semangat yang dimiliki oleh pejuang Aceh zaman dahulu kala. Kalimatnya seperti ini.

"Lelaki yang baik memang dipersiapkan buat perempuan yang baik. Begitu juga sebaliknya, perempuan tak baik hanya dimiliki oleh lelaki yang tak baik pula!"


                               
                                                                                           Kalimantan Barat, Februari 2018

Tuesday, 23 January 2018

Isi di Awak, Kutang di Urang

Segel
Gawang Barcelona tak lagi perawan. Sang stiker hebat milik Realmadrid, Cristiano Ronaldo, melepaskan tembakan mautnya dengan sempurna. Setelah memastikan bola benar-benar diam di dalam gawang, si Cris langsung berlari ke salah satu sudut lapangan, melakukan selebrasi fenomenal miliknya. Berlari meloncat-mengangkangkan kaki dan tangan-lalu mulutnya sedikit dimonyongkan melafazkan kata “goool”. 

Melihat gol tersebut, saya dan pendukung Realmadrid lainnya pun turut melakukan selebrasi murahan; memukul meja sekuat mungkin hingga tumpah air di dalam gelas yang ada di atas meja. Lalu berteriak sekeras mungkin. Setelah selebrasi selesai, tibalah waktunya buat mencaci maki alias mem-bully pendukung Barcelona. Ini bagian yang paling ditunggu-tunggu. Memerahkan telinga mereka dan membuat hati mereka sakit akibat sumpah serapah dan caci maki kami adalah cita-cita kami pendukung klub sepak bola yang dipresideni oleh Perez. Puas!!! El Clasico memang selalu bikin darah mendidih. 

Dolah, pendukung Barcelona yang duduk di sampingku masih terdiam seorang diri. Tak ada tanda-tanda sakit hati yang ia tampakkan. Padahal, saya dan seisi warung lainnya baru saja mencaci mereka, pendukung Barcelona. 

“Kau ini kenapa, Dolah?” tanyaku yang langsung menghentikan caci maki. Dolah tak menjawab. Yang dilakukannya adalah menyodorkan layar hapenya ke muka ku.

Di sana langsung kudapati tulisan, “Bayar utang pulsa aku cepat, Dolah Kampret. Kalau enggak, besok kuminta sama Emakmu.” Itu adalah kalimat teror yang berasal dari Darwati, si tukang jual pulsa yang terkenal galak. Kadang-kadang baik hati. Kadang-kadang bisa mendadak menjadi monster.

“Yang namanya utang harus segera dibayar dong. Apalagi kamu berhutang sama Darwati yang serupa Power Ranger yang bisa berubah jadi Monster dalam hitungan detik bila ia mengamuk karena uang,” ucapku pada Dolah. 

Dolah langsung terkejut. Secepat kilat dia melihat layar hapenya. Lalu, tersimpul sedikit senyum di wajahnya. 

“Bukan itu, tapi ini,” ucap Dolah yang kembali menyodorkan hapenya ke mukaku. 

Aku semakin penasaran. Kupicingkan mataku untuk mempertajam penglihatan melihat kalimat yang tertulis di layar hape Dolah. 

KESUCIANKU SUDAH DIEMBAT OLEH LELAKI JAHANAM YANG PERNAH MENJADI KEKASIHKU DULU. APAKAH BANG DOLAH MASIH BERSEDIA MENERIMAKU SEPENUH HATI?

Dolah menyentuh tombol “Home”. Pesan itu tak lagi tampak. Lalu, dengan penuh iba, Dolah menatapku. Aku tahu, ini tak lain-tak bukan, ini adalah tatapan meminta pendapat tentang pesan yang baru saja kubaca tadi. 

Oh ya, sebelumnya kuperkenalkan dulu pada kalian siapa Dolah itu. Dolah adalah teman baikku; sepekerjaan denganku, sepermainan denganku, dan sebantal tidur denganku (tapi sekarang aku tak lagi sebantal tidur dengannya, karena aku sudah punya istri). Katanya padaku, dalam tubuhnya ada mengalir darah Minang. Akan tetapi, dia tak pandai bahasa “urang awak”. Ah, keturunan Padang apaan itu. Jangan-jangan Dolah keturunan Padang KW, bukan original.

Dolah punya kekasih bernama Maria Owaza. Perempuan itu orang Jakarta. Cantik orangnya. Tinggi semampai. Bibirnya seksi. Tubuhnya langsing menggoda. Lekuk tubuh Maria Owaza cukup menggoda iman setiap kaum adam. Apalagi kaum adam yang sudah beristri, bila melihat tubuh Maria Owaza hayalan mereka pasti tentang KAMAR TIDUR, SPRING BED, HUJAN RINTIK-RINTIK, dan MATI LAMPU. Kalian pasti udah tahulah kemana arah hayalan ini kan? Kata Dolah, Maria Owaza juga pendukung setia Barcelona.

Entah bagaimana pertemuan Dolah dan Maria Owaza hingga mereka saling bertambat hati. Hanya mereka yang tahu. 

“Ya, kalau kau memang sudah benar-benar cinta dan sayang pada Maria, ya kau harus terima sepenuhnya, dong,” ucapku pada Dolah. Ternyata Dolah langsung protes. 

”Engak bisa, Bro. Perkara sejengkal di bawah pusar itu harus menjadi syarat utama. Coba Engkau bayangkan saja, aku sudah mengeluarkan uang puluhan juta buat biaya pernikahan, pas sesi perang syahwat, perang yang paling ditunggu-tunggu saat malam pertama, masak pusaka milikku harus masuk goa tanpa mendobrak dan menghancurkan “segel” made in Tuhan itu. Mana seru. Mana nikmat,” balas Dolah meyakinkanku. 

Aku terdiam mencerna apa yang baru saja dibilang Dolah. Banyak benarnya juga sih, pikirku. Mataku kembali ke televisi. Si Cris lagi-lagi memecahkan perawan gawang Barcelona. Skor 3-0. Si Cris langsung melakukan selebrasi. Kali ini selebrasinya berbentuk ejekan; si Cris membelakangi tribun VIP, lalu menggoyang-goyang pantatnya ke arah mereka pejabat klub. Mereka yang pendusta dan ingin menjualnya. Kali ini aku tak melakukan selebrasi. Pikiranku dikuasai oleh kisah kasih Dolah dan Maria Owaza. 

“Sudah berapa lama kau menjalin kasih dengannya, Dolah?”

“Malam Jumat esok masuk bulan ke 9.”

“Sudah pernah kau nikmati setiap inci tubuhnya.”

“Sudah pernah sih dan tidak semua juga.”

“Berapa kali dan bagian mana saja?”

“1, 2, 3, 4, 5, 6, dan eeemmm 7,” jawab Dolah sambil menghitung dengan jemari tangannya. 

“Emmm, ya, baru bagian-bagian di atas pusar saja. Main atas lah pokoknya.”

“Ada enak,” tanyaku lagi seraya tertawa.

Lagee apam pertanyaan, ya enaklah,” balas Dolah mengejekku sambil memeramkan matanya menggambarkan kenikmatan. 

Tak lama setelah itu, Dolah terlihat kecewa berat pada Maria Owaza. Ketika puncak cintanya pada Maria Owaza ingin disempurnakan di atas pelaminan, semua hancur akibat isi dalam segitiga merah muda milik Maria Owaza tak lagi bersegel alias perawan. Kasihan sekali. Yang mengobrak-abriknya adalah mantan kekasihnya yang juga seorang pendukung Realmadrid. Pukimaklah!!!

“Ini namanya KUTANG DI AWAK, ISI DI URANG,” ucap Dolah dengan nada lesu.

Aku tertawa cekikikan mendengar itu. Lalu kutimpali, “Lebih baik seperti itu daripada CINTO DI AWAK, KAWIN DI URANG. Kau pilih mana? Lagiankan, setidaknya kau pernah menikmati isi kutang si Maria Owaza.”

Dolah tersenyum manis mendengar kalimatku itu. Manis sekali senyumnya. Semanis dia merayu Maria Owaza agar diizinkan kutangnya untuk dilepas. Dasar Dolah Kampret!!!

Kasihan sekali si Maria Owaza. Bersebab pacaran dan tak mampu menjaga segel perawannya, akibat yang dideritanya pun sangat menyakitkan. Orang yang berniat untuk mempersunting pun harus mundur dengan cantik. Syukur-syukur kalau si pelamar tidak mengeluarkan kalimat, “Masak lelaki setampan aku harus makan sisa” kan menyakitkan sekali bila didengar. Oh, Maria Owaza berdoalah mulai sekarang agar masih ada lelaki yang menginginkanmu dan segenap masa lalumu. 

Lalu aku berseru dengan khidmat pada Dolah. Dolah serius mendengarkannya.

“Kalau kau mau, sama aku ada satu calon. Namanya MIYA KHALIFFA. Ciri-ciri orangnya tinggal kau cari saja di gugel. Kau ketik M-I-Y-A. Miya-nya pakai huruf “Y” dan K-H-A-L-I-F-F-A –nya dabel huruf “F”. Kuingatkan, jangan salah ketik, apalagi terketik nama MIA KHALIFA. Aku gak bakalan tanggung jawab. Jika kau masih batat, dan ingin mengetik nama MIA KHALIFA resikonya kau tanggung sendiri.”***

                                                                                               Melawi, 2018

Wednesday, 15 November 2017

Petualangan Baru di Nanga Ella Hulu


Petualangan Baru di Nanga Ella Hulu
 oleh: Azmi Labohaji

Tuhan selalu menghadiahkan kita garis takdir yang cantik. Garis takdir yang selalu menjadi rahasia dan akan diketahui kemudian harinya. Hari ini aku dan ribuan teman-teman di seluruh tanah Indonesia menjalani garis takdir yang baru. Garis takdir itu bernama GGD 2016. 

Program GGD 2016 telah mengantarkanku sampai ke suatu tempat yang luar biasa hebat. Sebuah tempat yang dikemudian harinya memberikan aku dan teman-temanku cinta, kedamaian, dan pengalaman hebat yang mungkin tak kami dapati di tempat lain. 



Penantian pengumuman kelulusan GGD yang memakan waktu hampir satu tahun lamanya itu akhirnya terbit juga. Setelah pengumuman itu terbit, namaku terdata di sebuah kabupaten yang bernama Melawi. Kutelusuri dan terus kutelusuri nama Melawi itu ada di mana? Ternyata nama itu berada di Provinsi Kalimantan Barat. 

Objek Wisata Air Terjun Sahai Apat

Menjadi GURU GARIS DEPAN dengan status (C) Pegawai Negeri Sipil di tanah Borneo adalah sebuah petualangan baru. Persiapan lahir batin sematang mungkin pun harus disiapkan untuk menghadapi berbagai rintangan di tanah pengabdian. Sebab ini bukanlah petualangan yang main-main. Setelah mengumpulkan berbagai informasi baik itu dari teman yang pernah ke Borneo, dari foto-foto yang dijelajahi di internet, dan juga dari video-video di You Tube dan juga di-share teman¸ ternyata tanah ini menyajikan petualangan yang cukup menantang.

Tanah berlumpur, hutan belantara, kebun sawit, sungai yang lebar dengan airnya yang keruh, listrik tidak menyala 24 jam, adalah medan yang akan dinikmati dan dijalani. Kini, itu semua tengah aku jalani di Desa Nanga Ella Hulu, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi. Di desa inilah aku dan temanku, Anton Ary Wibowo (lelaki yang berasal Purworejo, Jawa Tengah), ditempatkan di SDN 03 Ella Hulu. Sebagai informasi, menurut berbagai sumber, katanya kepala sekolah di es de tersebut adalah kepala sekolah terkeren se-kecamatan Menukung. Beliau bernama Zainul Awal dengan nama panggilan; Bung Zen atau Pak Zen. 

Air Terjun Sahai Apat

Untuk sampai ke desa tersebut memakan waktu selama dua jam dari ibu kota kabupaten. Jalur yang dilalui pun luar biasa dahsyatnya tetapi menyenangkan. Butuh fisik yang prima untuk melakukan perjalanan ke sana. Selain itu, kondisi kendaraan pun harus oke seratus persen; mulai dari rantai, ban, roda, dan juga bahan bakar. Semua harus diperhatikan dan dijamin aman. Bila tidak, siap-siaplah petaka akan menanti. 

***

Kabut di Pagi Hari 

Bila Pagi
Di tanah Borneo matahari sangat cepat muncul. Pukul 05.00 WIB tanah ditempat aku tinggal sudah terang. Bila di Aceh, pukul demikian aku masih di bawah selimut dengan mimpi yang nikmat. Alam dengan rimbun pepohonan yang lebat menyuguhkan sambutan pagi nan indah di sini. Sahut sambut nyanyian burung-burung khas Kalimantan membuat pagi kian indah untuk dinikmati. Kala pintu depan rumah dibuka, sambutan yang tak kalah dahsyat adalah kabut tebal yang tak jauh dari rumah dinas sekolah tempat kami tinggal. Pemandangan itu selalu menarik untuk dibidik dengan kamera handphone. Pada saat inilah momen menikmati kopi pagi bersama kabut yang indah menjadi hal yang sangat perlu untuk direkam dan kisahkan. Indah!!!

Ketika ritual pagi itu telah selesai, pemandangan lainnya yang akan terlihat di sini adalah orang tua dengan pakaian tempur mereka. Ya, mereka adalah petani yang akan mencari nafkah ke kebun sawit atau ke kebun karet. Selain itu, ada juga sebagian orang tua di sini yang bekerja di perusahaan sawit swasta. Bagi mereka yang ke kebun karet, mereka akan menoreh ratusan pohon karet per hari. Kulat−karet hasil torehan tersebut−akan dijual pada agen yang siap menampungnya dengan harga yang telah ditentukan. Hasil penjualan kulat itulah yang akan mereka pakai untuk membiayai kehidupan sehari-hari. 

Intinya, di sini bila sudah menikmati keindahan pagi hari maka perkara yang harus dilakukan selanjutnya adalah pergi mencari rezeki. 


Kendaraan Sungai

Saat Siang Menjelang
Bila siang menjelang, di sini keheningan begitu sangat terasa. Tak ada suara raungan kendaraan. Semilir angin sepoi-sepoi adalah nikmat Tuhan yang harus kami nikmati. Setelah selesai melaksanakan salat Zuhur pada pukul 11.35 WIB, perkara selanjutnya yang harus dilakukan adalah menikmati siang di atas kasur. 

Keramaian akan terlihat kembali pada pukul 16.00 WIB di lapangan SMPN 2 Menukung. Di sana masyarakat berkumpul dengan aktivitas masing-masing. Ada yang bermain bola kaki dan bola voli. Ada yang bermain bulu tangkis. Di salah satu sudut terlihat juga beberapa orang memainkan alat musik tradisional bersama grupnya. Mereka menghabiskan waktu hingga petang tenggelam dan magrib menjelang tepatnya pada pukul; 17.35 WIB. Ya,begitulah setiap harinya cara mereka menikmati petang. Sungguh asik! 

Ketika Malam Menjelma
Menikmati malam di pedalaman Melawi, tepatnya di Nanga Ella Hulu, yang jauh dari segala kebisingan memiliki kenikmatan tersendiri memang. Tak ada raungan kendaraan-kendaraan yang ada hanyalah nyanyian sahut sambut binatang malam di hutan. Malam seperti lambat berjalan. Suguhan panorama langit dengan hamparan bintang dan caya bulan membuat kenikmatan tersebut ingin terus dicicipi terus. 

Di sini, bila malam tiba, raungan mesin-mesin Dong Feng –aku menyebutnya mesen genset- adalah raungan yang sangat kami tunggu-tunggu dan kami rindukan. Raungan yang sangat kami sukai setiap alunan suaranya. Mengapa sangat kami rindukan? Jawabannya adalah karena di sini tak ada Perusahaan Listrik Negara (PLN). Listrik di sini hanya menyala sejak pukul 18.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB dan aliran listrik itu berasal dari mesin Don Feng tersebut. Nah, bila Dong Feng itu tak menyala maka kami akan berada dalam kegelapan sepanjang malam hingga fajar menjelang. 

Segala perangkat elektronik seperti HP, senter listrik, power bank, laptop, dan perangkat-perangkat lainnya, akan kami aliri listrik hingga di layarnya terpampang kata “Baterai Full” atau angka 100 % bila mesin made in China itu telah hidup. Karena ketergantungan pada handphone pintar semakin tinggi, setiap malam aku harus berusaha mencari sumber listrik tersebut. Kadang-kadang harus numpang di rumah tetangga. Di warung-warung sambil ngobrol-ngobrol ringan dengan pemuda-pemuda kampung. 

Bila sudah seperti ini, kami akan menggunakan barang-barang yang bermuatan listrik itu sehemat mungkin. Buka internet seadanya (itu pun dengan kondisi jaringan internet berstatus “E” bukan “4G”). Mendengar musik untuk beberapa lagu saja. Lalu, sesekali mata kami arahkan ke pojok kanan tempat pemberitahuan baterai tinggal berapa persen lagi. 

Turun ke kota kabupaten dengan jarak selama 2 jam adalah kebahagiaan bagi kami. Ya, sebab setiba di kabupaten, kami bisa sepuasnya menikmati listrik karena di kabupaten listrik menyala 24 jam. Jaringan internet 4G. Segala kebutuhan yang diinginkan ada. Intinya saat jiwa dan raga telah berada di ibu kota kabupaten pikiran dan jiwa seolah-olah telah ter-refresh kembali. Yah begitulah!

***

Terakhir, terlepas dari segala halangan dan rintangan itu, yang ingin aku utarakan di sini adalah di mana pun kita berada, baik di kota di maupun pedalaman, sudah barang tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Di sini diri kita diuji Tuhan tentang bagaimana cara kita mensyukurinya saja. Bila kau menjadikan kekurangan itu (segala rintangan di daerah pedalaman) sebagai sebuah nikmat Tuhan dan kau terus mensyukurinya tanpa henti, kelak Tuhan akan menjadikan dirimu sebagai pribadi yang hebat, kuat dan patut dihadiahkan surga-Nya suatu saat kelak. Begitu juga sebaliknya, meskipun Tuhan telah menghadiahkan segenap kelebihan untuk kau rasakan tetapi kau tidak pandai mensyukurinya, sudah barang tentu murka Tuhan akan menghampirimu.*** 




                                                                                              Nanga Ella Hulu, 10 November 2017

Saturday, 18 March 2017

5 Rumah yang Tak Dimasuki Playboy



Menjadikan diri sendiri menjadi seseorang yang penuh rayuan, puja, dan pujian bukanlah perkara yang mudah. Untuk menaklukkan objek rayuan yang tak lain adalah si gadis impian dibutuhkan latihan ekstra keras plus beberapa triknya. Bakat merayu atau dalam bahasa Acehnya bakat meng-olah atau bakat me-lawok bukanlah sesuatu yang diwariskna melalui gen. Itu semua didapatkan melalui pengalaman, latihan, dan mungkin didapatkan dari membaca artikel-artikel yang bertebaran di internet.

Merayu, meng-olah, dan me-lawok di dalam kehidupan sehari-hari memang sangat dibutuhkan. Selain itu, tujuan dari merayu itu berbeda-beda. Ada yang melakukannya demi mendapatkan gadis impian yang kemudian dilakab menjadi Playboy, ada yang melaksanakan demi mengelabui orang lain yang kemudian disebut Agen Olah, bahkan ada juga yang melakukannya demi memperoleh suara saat pemilu berlangsung. Untuk yang terakhir ini biasa orang-orang kami menyebutnya PANCURI TUJUH, maksudnya: Leuh dipajoh, keu rakyat dipikee hana (artinya bila sudah menang sang calon tak lagi hirau masyarakat).     

Kali ini saya tidak membahas tentang tukang rayu yang dua terakhir itu. Yang dibahas adalah tentang tukang rayu gadis-gadis atau kemudian kita sebut Playboy beserta lima rumah yang tak berani ia masuki. 

Pertama, Rumah yang Sang Ayah Bermisai Besar dan Tebal

Misai adalah bulu hitam tebal yang menjadi kebanggaan lelaki dewasa. Misai melambangkan kegarangan, kewibaan, dan tentunya melambangkan kegagahan. Akan tetapi, bagi lelaki yang usianya masih di bawah 25 tahun, misai bagi mereka tak lebih hanya sebagai bulu hitam untuk bergaya di depan para gadis. Bagi lelaki dewasa, misai adalah bulu hitam yang menyimpan beribu kenikmatan. Contohnya saja saat selesai makan nasi. Bagi lelaki dewasa membersihkan misai dari bekas makanan dan mengurutnya mengikuti pola huruf A menyimpan kenikmatan tersendiri. Kenikmatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 

Nah, bagi sang Playboy, rumah yang di dalamnya terdapat lelaki yang bermisai menjadi sebuah tempat yang sangat mengerikan. Coba bayangkan saja begini, ayah si gadis adalah lelaki yang bertubuh besar, kekar, hitam klo, bermisai pula. Bagaimana mungkin sang Playboy berani memasuki rumahnya apalagi untuk menggoda anak gadisnya. Bagi sang Playboy, jangankan dihardik, melihat ayah si gadis mengurut misainya itu sama halnya dengan sang ayah mengeluarkan parang dari sarungnya. 

Kedua, Rumah yang Salah Satu Anggota Keluarganya Utoh
Utoh adalah seorang pandai besi yang besi yang biasanya membuat parang, rencong, pisau, tombak dan benda-benda tajam lainya. Seorang utoh dalam kesehariannya selalu berhubungan dengan barang-barang keras dan mematikan, contohnya saja, api, palu godam, bara api, besi dan benda-benda lainnya. Bisa dibayangkan bukan bagaimana bentuk seorang utoh apabila ia tengah bekerja? Badan hitam dengan keringat bercucuran, kekar, kumis besar dan tebal, bisep besar, sorot mata tajam, fokus, dan bersuara berat. Itulah karakter seorang utoh lebih kurang. 

Bagi sang Playboy memasuki rumah ini sama halnya dengan masuk ke dalam rumah Aceh berhantu yang telah ditinggal sejak zaman Belanda. Meskipun di dalamnya ada sesosok gadis nan mahajelita, tetap bagi sang Playboy butuh nyali besar untuk masik ke dalam rumahnya. Mengapa demikian? Jawabannya adalah bila nekat masuk dan mengombali sang gadis jelita, salah pula cara merayu si gadis, maka parang tajam kebanggaan milik sang Utoh yang mampu membelah rambut menjadi tujuh helai telah menanti. Menakutkan sekali bukan???

Ketiga, Rumah yang Ayah si Gadis Adalah Tukang Jagal Ayam Potong
Baju selalu berlumuran darah. Tangan kekar. Sorot mata tajam. Tak banyak bicara. Aroma tubuh adalah aroma wangi kematian ayam-ayam potong. Suaranya berat. Di bawah lubang hidung terselip kumis besar berbulu lebat tebal. Mainannya adalah parang bermata tajam karena selalu terasah, batu asah dari India, dan yang terakhir adalah ayam-ayam yang menunggu giliran untuk dicabut nyawanya. Ya, itulah sepintas gambaran tentang pemilik rumah yang kepala keluarganya berprofesi sebagai tukang jagal. 

Mengingat karakter sang ayah saja sudah barang tentu bagi sang Playboy menapakkan kaki ke dalam rumah buat merayu sang gadis takkan mungkin dilakukan. Sudah tentu yang terbayang adalah lelaki besar dengan parang besar yang tajam! Bila nekat melakukannya, memutuskan jemari kaki dengan parang tajam itu bagi si pemilik rumah bukanlah pekerjaan yang berat.  

Keempat, Rumah yang Kepala Keluarganya Adalah Seorang Dukun
Dukun atau istilah lainnya ureng caroeng, orang pintar, atau Smart Man, adalah sesosok manusia yang menguasai ragam ilmu. Ilmu yang dimilikinya tersebut pun mampu mengobati banyak orang dan tentunya juga mampu mencelakai bahkan memusnahkan orang baik jarak dekat maupun jarak jauh. Dan dibanyak tempat, menurut sebuah sumber yang kredibilitas, anak gadis dukun cantiknya di atas rata-rata semuanya!

Nah, bagi sang Playboy melangkahkan kaki menuju ke rumah ini bukanlah pekerjaan yang baik. Sinyal ghaib yang dimiliki sang dukun lebih hebat dibandingkan 4G yang kita pakai sekarang. Lima langkah engkau hampir sampai ke depan pintu gerbang rumah sang dukun, niat serta maksud tujuanmu itu sudah diketahui olehnya. Jadi, hayalan tentang merayu anak gadisnya lagee nyoe ku tak, lagee jeh ku cang, jauhkan dari pikiranmu. Sebelum sempat engkau layangkan Hikayat Tak-Cang mu itu, lidahmu sudah terlebih dahulu dibengkokkan ke langit-langit mulutmu! Jadi, masih berpikir untuk mencobanya? Mikir woi!!!    

Kelima, Rumahnya Para Penikmat Cerita: Adam Sang Penunggu, Geuleupak, Ek-Bham, dan Cerita Bungai Bangkai (Raflesia) 
Bila di dalam rumah yang hendak di-cuca oleh sang Playboy terdapat seorang tokoh penikmat cerita seperti yang telah disebutkan pada judul di atas, ada baiknya sang Playboy balik kanan kembali ke rumah. Memang harus diakui di dalam rumah ini ada seorang gadis yang SANGAT SANGAT SANGAT cantik jelita. Namun, benteng si gadis cantik itu adalah tokoh penikmat cerita seperti yang telah disebutkan pada judul di atas. Untuk itu, jangan lancarkan seranganmu di sini!!! Bila tetap engkau paksakan kehendakmu, meskipun engkau keramat level 7, petaka akan menghampirimu dengan segera.

Tiada ampun bagi sang Playboy bila melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah ini. Bila diibaratkan senjata maka rumah yang satu ini adalah AK-47. Senjata mematikan dan bisa bekerja di segala medan. Senjata yang pelurunya apabila mengenai tubuh musuh akan hancur tak berbentuk. Hikayat Ular tingkat dewa pun takkan mampu menjadi perisai tubuh bagi sang Playboy bila memberanikan diri masuk ke rumah ini. 

Tokoh penikmat cerita di dalam rumah ini bukanlah sembarangan orang. Jika diumpakan dengan pembunuh, tokoh ini adalah pembunuh berdarah dingin. Mengapa demikian? Jawabannya sebagai berikut. Tokoh ini adalah orang yang telah berkali-kali tersuap ratusan kalimat manis bernada merayu-mendayu. Lalu, wahai Tuan Playboy yang terhormat, engkau mau pakai kalimat yang bagaimana lagi buat merayu tokoh ini??? Efeknya adalah bila engkau kehabisan bahan rayuan dan salah dalam melafazkan kalimat, maka si tokoh penikmat cerita tak segan-segan “menyekolahkan” mu dengan teknik khusus yang dimilikinya. 

Percayalah, tokoh penikmat cerita ini juga tukang rayu. Bahkan orang-orang melakab mereka sebagai Playboy Made in Tuhan. Mengeluarkan anak gadis jelita dari kandang macan milik orang bermisai tebal, anak gadis milik sang utoh, anak gadis tukang jagal ayam potong, dan juga anak gadis sang dukun baginya adalah hal yang teramat sepele. Saking sepelenya mereka berani berucap kalau itu adalah ek but (tahi pekerjaan)!!!  

Pesanku wahai sang Playboy bila hendak merayu, pakai ajimat atau mantera terlebih dahulu, karena tokoh yang satu ini sudah muak dengan rayuan manis. Nah, bila rayuanmu tak berarti apa-apa baginya, maka kepalamu, tanganmu, kakimu, telingamu, dan tentunya seluruh tubuhmu akan diapa-apakan olehnya alias dijadikan tumbal. Nyan ban!!!***

---->BERANI SHARE, HEBAT!!!!
                                                                                                     Labuhanhaji, Maret 2017




Saturday, 11 March 2017

ADAM Sang Penunggu Melati


Entah berapa purnama lagi ia harus menanti yang jelas angka-angka yang berjejer rapi beserta nama hari di kalender usang itu telah disilangnya. Penuh satu tahun. Kini kalender telah berganti dengan yang baru. Hari baru, angka baru, dan juga tahun baru. Penantian ini sungguh membuat keadaan jiwanya tak menentu. Tapi ia tetap menunggu.

 Agar belenggu penantian itu tak berubah wujud menjadi monster yang sangat menakutkan dan terus mencabik jiwanya, Adam segera merakit strategi. Sebuah strategi agar penantian itu menjadi tetesan embun yang kelak berubah menjadi madu. Adam sangat paham bila ia terus mengumpat, penantian yang dinanti pasti akan berubah menjadi monster.

Sebagai pemuda yang cerdas lagi tampan, Adam melampiaskan kegalauannya itu pada empat hal yang berbeda: kandang ayam, kebun kasih (red: lam basa Aceh lampoh Jok), kandang kambing, dan pada sungai.

Satu, Pada Kandang Ayam
Bila otaknya telah berat sekali diusik oleh Si Penantian, Adam akan melampiaskannya pada kandang ayam. Saat Adam telah berada di dalam kandang ayam, pekerjaan lain tak lagi dihiraukannya. Ia hanya akan berhenti untuk salat, makan, dan mandi. Selepas itu, Adam akan kembali menggila pada kandang ayam itu. 

Tingkah Adam dengan serta merta membuat masyarakat ayam terkejut tak terkira. Adam akan membersihkan seluruh kandang ayamnya itu dari kotoran-kotoran yang telah menumpuk selama bertahun-tahun. Rerumputan yang tumbuh di sekelilingnya dimusnahkan hingga tak berwujud. Atap rumbia yang selama ini telah sihet tak berbentuk dibetulkan dan diganti dengan seng. Tempat ibu ayam dan ayam dara bertelur dan mengeram dibuat baru diarsiteknya senyaman mungkin. Tak jauh dari kandang utama, ayam-ayam yang punya bayi, kandangnya pun direhab semanis mungkin: nyaman, tenang, dan tentunya aman dari incaran musang dan mie agam. 

Akibat ulahnya itu, orang tuanya, saudaranya, dan teman-temannya tat kala melihat kandang ayam tersebut tak ada kata yang diucapkan selain, “Ini kandang ayam atau tamannya Donald Trump. Bersih dan rapi sekali.”

Adam akan menenggelamkan dirinya berhari-hari di sana. Tujuannya adalah agar pikirannya tak lagi terusik dengan yang namanya PENANTIAN. Dimulai dengan pagi hari, setelah memberikan ayam-ayam sarapan paginya, barulah Adam di tempat yang telah ia siapkan menikmati secangkir kopi pagi. Sembari menyeruput kopi pagi yang nikmat itu, Adam dengan penuh penghayatan memperhatikan satu per satu ayam-ayamnya itu yang tengah menikmati umpan. Kini, selain rumah, Adam banyak menghabiskan waktunya di tempat keduanya, kandang ayam. Apabila siang dan petang menjelang, ritual menikmati secangkir kopi sembari memberi makan ayam pun terus berlangsung. Dan kini, ayam-ayamnya pun semakin kenal dengan dirinya, mulai dari bau tubuh Adam, cara ia menyesap kopi, bahkan sampai cara ia mengaduk umpan ayam. 

Seandainya sang ayam-ayam itu mampu berbicara tentu dia akan berucap, “Peu ka pungo Tuan lon?” 

Kedua, Kebun Kasih (red: Lam basa Aceh lampoh Jok)

Kebun kasih adalah tempat kedua pelampiasan kegalauan Adam setelah kandang ayam. Baginya kebun kasih adalah tempat pelarian yang sempurna. Sempurna karena di sana ada banyak hal yang dapat dinikmati; suara kicauan burung-burung bermacam jenis, suara monyet yang tengah merayu kekasih, yang tengah menikmati kelamin lawan jenisnya, suara petani yang tengah menghardik babi yang mencuri ubinya, dan suara-suara penghuni hutan lainnya. Saat Adam berada di kebun kasih jiwanya begitu damai, tentram tak terkira. Dan di antara suara-suara itu ada satu suara yang sangat disukai bahkan bisa dikatakan sangat digilai oleh Adam, suara itu adalah suara uereueng peh jok (petani yang tengah memukul tandan ijuk untuk mengambil airnya).

Bila suara itu telah terdengar, jiwa Adam seperti dihela dipanggil menuju sumber suara. Alunan irama pukulannya sangat teratur, terukur, dan juga diiringi dengan hikayat-hikayat yang sangat indah memukau. Bagi Adam suara itu sama juga dengan bisikan Mawar yang mengutarakan cinta kasihnya yang teramat tulus kepadanya. Suara itu layaknya simponi yang mengalunkan not not yang dimainkan dengan penuh penjiwaan. Suara itu ibarat bisikan genit sang istri pada sang suami saat tengah malam tiba. Sebuah bisikan yang mampu menegakkan bulu segala bulu. Maka dari itulah Adam sangat menyukai suara itu. 

Bila telah berada di bawah pohon kasih, Adam akan mengamati si tukang pukul tandan kasih itu sampai selesai. Adam rela berjam-jam menunggu si tukang pukul tandan kasih itu turun. Bagi Adam turunnya sang tukang pukul tandan kasih sama halnya seperti turunnya hujan di musim kemarau. Memberi rahmat dan nikmat. Mengapa bisa sedemikian rupa? Sebab saat si tukang pukul tandan kasih itu turun, ia juga akan membawa turun air kasih segar yang telah di tampung dalam bambu. Bagi Adam, air yang ada tabung bambu itu adalah rahmat yang tiada terkira nikmatnya. Sangking nikmatnya air kasih itu membuat Adam menamsilkan air kasih itu adalah sebentuk air yang bermuasal dari surga. Lalu, oleh Tuhan memerintahkan malaikatnya untuk menaruhnya di dalam tandan pohon kasih.

Adam dan si tukang pukul tandan kasih adalah ikatan yang telah tercatat di buku besar Tuhan. Bagai air dan minyak. “Bagai buah dan batang”. Bagai Laila dan Majnun. Seirama, sehati, dan sepemahaman. Adam sangat paham kapan, pada hari apa, dan pukul berapa si tukang pukul akan menurunkan “air surga” itu dari pohonnya. Begitu juga sebaliknya, Adam juga sangat mahfum benda apa yang harus disediakan buat si tukang pukul ketika mereka kelak akan menikmati air surga itu. Benda itu adalah mie caluk, Dji Sam Su, dan Bakong Aceh!!!

Bagi si tukang pukul tandan kasih, kenikmatan kedua setelah kenikmatan bercinta dengan perempuan halal tak lain adalah menikmati air kasih tersebut bersama Adam. Bagi Adam ini adalah kenikmatan pertamanya. Lalu mereka akan menikmati air kasih itu sesapan demi sesapan di atas jambo yang telah tersedia. Rasa air yang bernuansa asam buah itu membuat pikiran Adam terbang melayang melanglang buana ke negeri jauh. Sesekali dihisapnya dalam dalam Dji Sam Su yang tembakaunya telah dimodifikasi dengan Bakong Aceh. Kemudian disuapnya mie caluk made in Cutpo Rahmi Mudri yang penuh cita rasa itu. Akhhh, nikmat sekali. 

Bila telah mencapai klimaks kenikmatan, sungguh kejiwaan Adam aman, damai, dan tentram. Ia benar-benar melupakan perkara yang selama ini telah mengusiknya. Perkara pengumuman yang selama ini tak kunjung berwujud. Air kasih benar-benar menentramkan jiwanya di tengah hutan yang damai di atas jambo yang kokoh. Tapi itu semua hanya berlangsung dalam hitungan jam. Setelah dosis kenikmatan itu berakhir, sang pengusik kembali menggoda kejiwaan Adam. 

Ketiga, Kandang Kambing

Di dalam buaian kenikmatan yang tiada tara itu, Adam masih menyisakan kewarasannya. Ia sangat sangat sadar bila terus bercinta kasih dengan air kasih kemungkinan besar kejiwaannya akan meloncat pada jalur yang lain. Jalur mengerikan dan penuh kegilaan. Ia sangat sadar bahwasanya di pelosok nun jauh di sana masih banyak jiwa-jiwa yang membutuhkan kejeniusannya. Nun jauh di sana masih banyak bocah-bocah yang butuh cahaya kecerdasan darinya. Bersebab itulah Adam berhenti sejenak dari air kasih. 

Kali ini siasat untuk menghalau sang pengusik jiwa adalah kandang kambing. Adam akan menghabiskan hari-harinya di kandang kambing. Seperti halnya kala ia membenahi kandang ayam, misi kali ini adalah membenahi kandang kambing. Di sana Adam akan merapikan tempat pakan. Men-setting ulang posisi bubung yang telah reot. Membetulkan tangga buat sang kambing masuk ke kandang. Membetulkan kawat pagar yang telah dihancurkan oleh babi liar. 

Setelah beberapa hari mencumbui bau-bau asam buah yang terlalu nikmat, kali ini hidung Adam harus berhadapan dengan bau yang menjijikkan; bau air seni kambing (bee chung iek kameng: red. bahasa Aceh). Tapi di tempat ini Adam tak banyak menghabiskan waktunya. Itu semua karena kambing. Ya, hanya karena kambing. Sejatinya ada banyak hal yang akan dilakukan oleh Adam di sini. Akan tetapi, bersebab seekor kambing jantan yang mengamuk, semua hal yang tengah direncanakan itu diakhiri tidak sesuai prosedur.

Kala itu, di saat energi semangat Adam tengah klimaks untuk merapikan setiap sudut kandang kambingnya, ada seekor kambing jantan dengan penuh power menanduk selangkangannya. Adam meraung kesakitan. Adam tak tahu entah ada dendam apa si kambing pada dirinya, hingga dengan tiba-tiba sang kambing murka padanya. Yang ada, kemarin hari tanpa sengaja Adam melempar batu mengusir bebek yang masuk beramai-ramai ke dalam kandang kambing. Tanpa sengaja, lemparan Adam meleset. Batu yang dilempar Adam berakhir menghantam biji pelir sang kambing. Kambing jantan yang pelirnya dihantam batu memandang ke arah Adam penuh khidmat; layaknya seseorang yang tengah merekam wajah sang musuh sedetail mungkin.

Selangkangan sakit tak terkira ditambah lagi yang dinanti belum juga diumumkan membuat kejiwaan Adam kian tercabik. Marah. Kesal. Emosi meletup-letup. Adam pun berjanji dalam hati, esok hari ia akan membalas dendamnya. Tapi dendam itu tak sempat terbalaskan sebab tanpa sepengetahuan Adam, kambing itu telah di jual oleh sang ayah di pasar jegal. 

Keempat, Sungai dengan segala kesunyiannya dan sebuah “Hadiah”

Sungai adalah tempat terakhir pelarian kegalauan kejiwaan Adam. Ada alasan tersendiri bagi Adam mengapa ia memilih sungai sebagai tempat menenangkan kejiwaannya. Sungai di kampungnya memiliki alur yang panjang dan bermuara ke laut. Riak air di sana tenang sekali. Meskipun tenang tapi tetap menghanyutkan. Tak banyak sampah di sana. Airnya hampir bening. Dan yang menjadi pujaan orang-orang kampung Adam pada sungai itu adalah ikan-ikan yang ada di sana. Mulai dari ikan Bacee, Seungko, ikan Krup, hingga ikan Nila. Dan diantara ikan-ikan itu, ikan Mujair adalah ikan yang menjadi bintangnya. 

Memancing sama dengan melatih kesabaran. Pemancing tentunya tak pernah tahu seberapa banyak ikan di dasar sungai. Begitu juga sebaliknya, sang ikan juga tak pernah tahu umpan jenis apa yang dipasang di ujung mata pancing. Dan kadang-kadang, sang ikan sengaja tak memakan umpan yang ada di depannya itu. Sang ikan ingin mengetes sejauh mana kesabaran si pemancing. Begitulah siklus itu berjalan hingga pada akhirnya kadang-kadang sang ikan terangkat juga dari dasar kehidupannya. Di lain sisi, kadang-kadang sang pemancing pulang dengan hasil hampa. 

Kali ini, Adam sudah berniat di dalam hati untuk menghabiskan banyak waktunya di sungai. Ia ingin melatih kesabarannya. Tujuannya sangat jelas agar ia mampu menjinakkan kegalauan jiwanya akan sebuah penantian itu. 

Hari pertama Adam memancing sejak pagi pukul 10.00 hingga senja menyapa tak ada hasil. Kesabarannya mulai dilatih. Hari kedua Adam memancing dimulai dari pukul yang sama hingga berakhir dengan jam yang sama dan hasilnya pun masih sama. Kesabaran adam mulai terbentuk. Di hari ketiga, pancing Adam diganggu ikan, tetapi saat ia membalas yang menyangkut di mata pancingnya adalah bekas pembalut wanita. Adam masih sabar. Kali ini sabarnya diiringi dengan sebuah senyum kecil. Di hari keempat, pancing Adam tak bergerak sama sekali. Hingga waktu senja tiba tak ada ikan yang memakan umpan kailnya. Kesabaran Adam hampir sempurna. Pada hari kelima, pancing Adam disambar Bacee, namun saat ia membalasnya, sang Bacee berhasil melepaskan diri dari mata pancing Adam. Adam mulia bergairah dan kesabarannya hampir sempurna. Pada hari keenam, Adam bagaikan patung tak bernyawa yang duduk di pinggir sungai. Kailnya sama sekali tak disentuh ikan. Saat ia mengangkat kailnya yang sangkut di sana adalah seonggok karet yang kemudian ia tahu bahwa itu adalah kondom. 

Kesabaran Adam yang selama ini mulai dilatih sudah terlihat retak. Dalam hati kecil ia pun berkata, bila esok tak juga ada hasilnya, maka ia akan murka. Ia akan mematahkan pancingannya itu. Hari ketujuh Adam pun melemparkan mata pancingnya. Satu jam, dua jam, tiga jam, kailnya hanya diganggu saja tidak disambar. Menjelang pukul 15.00 mata pancing Adam benar-benar di sambar. Saat ia membalasnya sang ikan sempat tersangkut di mata pancing namun lagi-lagi ia berhasil kabur. Adam pun murka. 

“Ikan setan, sungguh kau adalah makhluk yang penuh PHP seper…” belum selesai Adam menyempurnakan kalimatnya, mata Adam tertuju pada sebuah pemandangan yang menakjubkan. 

Seekor Seungko besar di salah satu akar pohon pinggir sungai sedang mengintai umpan. Adam memasang kuda-kuda. Mata pancing langsung dipasang kodok. Selesai. Adam langsung melempar mata pancing tak jauh dari sang ikan. Di tengah penantian umpan disambar, mata Adam tanpa sengaja melihat seorang perempuan cantik di pinggir sungai yang tengah menabur bunga melati ke sungai. Wanita itu sungguh cantik sekali. Secantik Raline syah, sebohai Raisa. Adam terkesima. Ini pemandangan langka baginya. Matanya lazat menikmati keindahan si perempuan. 

Beberapa puluh menit kemudian, umpan pancing Adam disambar. Adam kalah cepat. Disaat Adam hendak membalas pancingannya itu, Seungko besar itu lebih dulu membawa kabur mata pancing beserta kailnya. Adam murka. Pancingannya kian dibenamkan ikan ke dasar sungai. Adam merasa kehilangan!

Tak ingin berlama-lama dalam kesediham, Adam kembali fokus pada sang wanita cantik di pinggir sungai itu. Didekatinya perlahan-lahan. Didekatinya lagi perlahan-lahan. Dan kini Adam berada tepat di samping sang wanita cantik. Ini benar-benar manusia bukan hantu. Entah rayuan maut dan doa pengasih milik siapa yang dipakai Adam yang jelas saat itu juga sang wanita memeluk Adam. Memeluk erat seperti seorang ingin melepaskan rindu membara.

Di pinggir sungai yang sunyi. Entah ini adalah garis takdir Adam seperti yang telah tercoret di dalam buku besar, hanya Tuhan yang tahu. Di dalam ilalang yang lembut, Adam dan wanita cantik itu pun berguling-guling manja. Saling memeluk. Saling menindih. Saling mendesah. Tak ada percakapan diantara mereka, yang ada hanyalah pukulan-pukulan kecupan penuh kasih sayang. Ah, rezeki apa ini, Adam tak pernah tahu. Apakah ini adalah buah daripada kesabarannya? Di juga tak tahu. 

“Peperangan”selesai!!!

Seperti tak pernah terjadi sesuatu, Adam dengan penuh percaya diri memulai percakapan dengan wanita cantik itu.

“Kau tahu, Dik, bunga melati yang telah kau tabur di atas air sungai ini telah mengejutkan ikan-ikan yang ada di dasar sungai. Oleh sebab itulah, mereka tak lagi memakan umpan pancingku,” ucap Adam.

“Oh ya? Kalau begitu maafkan aku, Bang!”

“Ouh, itu tidak jadi masalah. Lagi pula ikan-ikan di sini juga banyak PHP-nya,” jawab Adam. “Ngomong-ngomong, adik ini siapa dan di mana rumahnya?”
“Saya Hawa si Penunggu Melati, Bang. Rumah saya di Kuta Raja!”

“Penunggu Melati? Apakah melati yang kini sedang ditunggu oleh banyak orang itu?”
“Iya, Bang!”

Mendengar jawaban dua kata itu, Adam langsung terdiam mematung. Organ yang sejengkal berada di bawah pusatnya baru saja bahagia, tetapi organ yang sejengkal di atas pusatnya itu sesak, sakit bagai kena hantaman palu besar. 

Pikiran Adam melayang jauh. Kini Adam hilang ingatan.***


                                                                                                                 Labuhanhaji, Maret 2017
 
Berani share, HEBAT ...