Hari
itu cuaca sangat cerah. Saat aku duduk di atas bangku taman sembari memandang
ke hamparan pemandangan nan indah-hamparan laut dan perumahan warga-lalu kau datang,
dan duduk dengan manis disampingku.
"Sudah
dua kali. Tapi, entahlah, mungkin tiga kali sudah ..." tiba-tiba kau berucap
padaku. Lalu kau menutup muka dengan kedua tanganmu. Entah itu gerakan atas penyesalan.
Entah itu gerakan malu. Aku tak tahu. Yang jelas saat itu aku tak lagi melihat wajahmu.
Kalimat
yang baru saja kau utarakan padaku ini adalah jawaban atas pertanyaan yang
telah kutanyakan padamu tiga puluh hari yang lalu. Dan kau, baru menjawabnya sekarang.
Aku tahu, itu adalah pertanyaan yang teramat berat bagimu.
***
Di
atas puncak gemilang ini, kupikir, posisi kita dengan Tuhan dekat sekali. Ingin
sekali aku meminta dengan lembut pada-Nya tentang takdir. Ya, aku ingin merayu
pada Tuhan agar takdirku tentang hubungan denganmu yang sedang berada di
sampingku kini berakhir seperti yang kuinginkan.
Tapi
takdir selalu punya jalannya sendiri. Apakah itu akan bermuara pada kebahagiaan
atau akan berakhir pada kesedihan yang panjang. Tapi, kali ini walau
bagaimanapun gerakan yang akan aku lakukan untuk merayu takdir, takdir tetap
pada pendiriannya. Jelas, kali ini aku tak kuasa merayunya.
Sebenarnya
ingin sekali kulingkari sebuah cincin emas di jari manismu sebagai sebuah
tanda. Ya, tanda bahwa kau sudah aku miliki. Tapi mimpi untuk itu tak bisa
kuwujudkan. Sebabnya jelas sekali, aku tak mampu buat berdamai dengan hati dan
perasaanku tentang kalimat yang kau ucapkan tadi.
Dari
bentuk wajah, bentuk hidung, warna kulit (hitam manis), tinggi badan, dan lekuk
bibir yang kau miliki, kau adalah gadis yang selalu kuharapkan dalam setiap
doa-doaku. Kau adalah gadis yang memiliki semua ciri-ciri yang kuinginkan. Tapi,
di satu titik (yang tak mampu kusebut, bahkan tak berani aku menulisnya) kau
adalah gadis yang tak mau kusebut dalam setiap doa-doaku. Bahkan untuk
memilikimu pun aku harus berpikir selama enam puluh hari lamanya. Selain itu,
jika pun aku harus memilikimu, ada sebuah tantangan berat yang harus aku
menangi. Aku harus bertarung melawan perasaan yang saban detik datang
mengaduk-ngaduk kejiwaanku dengan kalimatnya yang cukup membuat aku geram:
"Kau
adalah lelaki bodoh yang telah buta mata hatinya dan tak tahu bagaimana cara
menikmati kenikmatan yang berasal dari surga. Sungguh kau adalah lelaki bodoh
..."
Bila
kalimat ini saban detik berkoar-koar di dalam gendang telinga, apalagi saat
menyesap kopi yang nikmat, maka pertanyaannya adalah, lelaki mana yang mampu
bertahan membentengi diri memusnahkan kalimat tersebut???
Di atas
Puncak Gemilang ini, kupikir, posisi kita dengan Tuhan dekat sekali. Tuhan merasakan
degupan jantungku beserta kalimat sedih di dalamnya. Tuhan juga merasakan
amarah teriakan dalam tubuhku yang ingin aku muntahkan. Tuhan merasakan apa
yang aku rasakan di atas Puncak Gemilang itu. Tapi, kenapa Tuhan masih
mengirimkan gadis yang lahir di bulan Juni itu buatku? Padahal, di satu sisi,
aku benci bulan Juni, di sisi yang lain aku amat mencintai bulan Juni. Bahkan
yang lebih gilanya lagi, aku baru saja memberikan separuh hatiku buat gadis
yang jari-jari tangannya lihai sekali memainkan tut piano.
Lagi-lagi
aku mengalah pada takdir. Mungkin ini sudah menjadi takdir atau suratan buatku.
Dan aku, masih berdiri pada keyakinanku yang teguh. Tuhan tidak akan tinggal
diam atas hatiku yang baru saja remuk ini. Mungkin Tuhan lagi menyiapkan gadis buatku
yang lahir di bulan Januari, atau Februari, mungkin Maret, bisa jadi April,
bisa saja Mei, atau Juli, mungkin Agustus, kadang September, atau saja Oktober,
mungkin saja November, atau Desember. Gadis dengan perawakan yang seperti selalu
kusebutkan dalam doaku. Dan yang terpenting bukan gadis yang lahir di bulan
Juni yang dikirim Tuhan buatku. Amin.
Di atas
Puncak Gemilang ini, posisi kita teramat dekat dengan Tuhan. Andai saja aku masih
merengek mencoba merayu takdir, mungkin Tuhan akan mengirimkan laknatnya
kepadaku dalam bentuk secuil petir yang mampu membelah laut Tapaktuan itu.
Tapi, itu tak lagi kulakukan. Sekarang, kepadamu wahai gadis yang selalu
kupanggil dengan sebutan "Kilau", pergilah. Pergilah meskipun kau membawa
separuh hatiku. Aku tak apa-apa. Karena aku yakin sekali, dalam setiap rapal
doaku, lambat laun hatiku yang kau bawa pergi itu dengan sendirinya akan
menghilang. Aku yakin sekali.
Terakhir,
yang ingin kuucapkan adalah terima kasih atas jalinan kasih yang singkat ini. Untung
saja kita belum merajut kisah ini terlalu jauh. Andai saja itu terjadi, tak
terpikir olehku apa yang akan terjadi bila kita berumah tangga, memiliki anak
yang lucu, sudah pasti kekacauan adalah makanan kita sehari-hari. Kau tak perlu
resah, wahai "kilau", mungkin yang perlu kau ingat atau bahkan perlu
kau tulis di dalam palung hatimu yang terdalam adalah kalimat ini:
"Kukagumi kau untuk waktu yang singkat. Selepas
itu, kita bukanlah sepasang takdir yang saling mendoakan dalam setiap sujud."
Sebagai
penutup cerita ini, aku teringat kalimat indah yang kekuatannya dahsyat luar
biasa. Kalimat tersebut membuat tubuhku seperti teraliri semangat yang dimiliki
oleh pejuang Aceh zaman dahulu kala. Kalimatnya seperti ini.
"Lelaki
yang baik memang dipersiapkan buat perempuan yang baik. Begitu juga sebaliknya,
perempuan tak baik hanya dimiliki oleh lelaki yang tak baik pula!"
Kalimantan
Barat, Februari 2018