Sunday, 6 December 2015

Friday, 4 December 2015

Della dan Mimpinya Ke Lombok Bersua Penulis Novel Ayat-Ayat Cinta

Ini adalah sepotong kisah nyata yang baru saja kualami. Sebagai alumni SM-3T angkatan II, mengajar dan mendidik sudah menjadi sesuatu kebutuhan yang sangat penting bagiku. Beberapa bulan setelah menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru (PPG) di LPTK Universitas Syiah Kuala, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, Labuhanhaji, Aceh Selatan. Pilihan kembali ke kampung halaman dan mengabdi di sekolah-sekolah yang ada di kampung cukup beralasan. Di daerahku itu masih digolongkan sebagai daerah 3T, sekolah-sekolah masih kekurangan guru. Maka dari itu, kuputuskanlah untuk kembali ke kampung halaman dan mengabdi di sana.

Setiba di kampung halaman, aku diminta untuk mengajar di sebuah sekolah. Sekolah itu bernama Sekolah Menengah Atas Negeri Unggul Darussalam Labuhanhaji. Meski sudah berstatus negeri, unggul lagi, tetapi sekolah itu baru saja berdiri. Jelas guru masih kurang! Hanya ada beberapa guru yang berstatus pegawai negeri dan sisanya adalah guru horor (honor). Aku diminta oleh kepala sekolah untuk mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal di sekolah tersebut guru Bahasa Indonesia sudah ada. Aku menerimanya karena latar belakang pendidikan S1-ku juga dari Pendidikan Bahasa Indonesia. 

Seiring waktu berjalan, salah seorang guru yang mengajarkan pelajaran Fisika, Pak Yusri, menyodorkan padaku secarik kertas berwarna oren. Di kertas itu kudapati pengumuman yang bernada “Letter Writing Competition 2015 dengan tema Budayaku Identitasku”. Aku mengambil kertas tersebut lalu membacanya dengan serius.

“Di sekolah ini ada beberapa anak yang punya kemampuan menulis, Pak. Coba Bapak tempel pengumuman ini, mana tahu mereka ingin ikut,” ucap pak Yusri. 

Aku mengiyakannya dan langsung memperbanyak selebaran tersebut dan menempelnya di dinding setiap kelas. Pada hari yang telah aku tentukan, saat aku memasuki ruangan di sana kudapati enam orang siswa. Kujelaskan apa itu isi pengumumannya, orang yang akan mereka jumpai bila mereka terpilih sebagai finalis, dan juga kujelaskan tentang tema yang diusung oleh orang yang membuat lomba tersebut. Setelah kujelaskan itu semua panjang lebar dan kuputuskanlah tenggat waktu pengumpulan karya. 

Pada hari yang telah ditentukan, dari  enam orang yang semula ingin ikut, tetapi yang berhasil menyelesaikan surat tersebut hanya dua orang. Satu orang menulis surat tersebut dengan sempurna dan sesuai dengan jumlah karakter tulisan yang diminta oleh panitia dan sisanya tak menyelesaikan surat tersebut sesuai dengan karakter yang telah ditentukan. Siswa yang berhasil menulis surat dengan sempurna adalah Della Irfana. Dalam surat yang dia buat itu, dia mengangkat budaya lokal yang ada di kampungnya yaitu Manoe Pucok!

Setelah surat itu benar-benar sempurna, tentunya setelah kuperiksa sekali lagi EyD, kalimatnya, dan juga cara dia mendeskripsikan Manoe Pucok itu seperti apa, pada hari Jumat, 19 Juni 2015, aku dan Della pun pergi ke kantor pos untuk mengirimkan surat tersebut kepada mereka (harian Republika Online). 

“Hari ini kamu telah melakukan sebuah pekerjaan yang orang lain belum tentu mampu melakukannya, Della. Surat sudah kita kirim bersama-sama. Dan di Lombok sana, tiga orang hebat Habiburrahman El Shirazy, Tere Liye, dan Ginatri S. Noer telah menunggu kedatanganmu. Mereka ingin berjabat tangan denganmu dan juga ingin berbagi ilmu denganmu. Selepas ini, sering-seringlah berdoa semoga karyamu itu menang,” ucapku sambil tersenyum manis padanya. 
 
“Ia, Pak, terima kasih,” ucap Della dan membalas senyumku.

Pengumuman tentang Writing Letter itu pun tiba. Kala itu aku sedang mengecat sebuah kedai. Tiba-tiba di layar handphone-ku tampak sebuah nomor baru. Panggilan itu kuangkat. Dari balik telpon terdengarlah suara yang tak asing lagi. Dengan nada yang penuh keceriaan ia pun berkata padaku.

“Pak, ini Della, tadi orang Republika ada telpon Della katanya Della masuk 30 besar!”

Aku langsung bersyukur dan kutinggalkan kuas cat.
“Selamat Della kamu akan berjumpa dengan tiga orang-orang hebat itu kelak di Lombok. Ya, sudah, berita ini kita pastikan lagi kebenarannya. Jadi, besok kamu jumpai bapak di sekolah!” aku menutup percakapan dengannya dan kembali melanjutkan pekerjaan mengecat. 

Keesokannya setiba di sekolah, aku mencari kabar tentang perihal ini. Kuminta nomor handphone orang yang telah menelpon Della. Kutelpon yang bersangkutan dan ternyata benar Della telah masuk ke dalam 30 finalis yang akan diberangkat ke Lombok untuk mengikuti pelatihan menulis di Lombok bersama ketiga orang hebat itu. Selanjutnya, orang yang kemudian kuketahui namanya Syatria itu mengirimiku poster tentang pengumuman tersebut via email. Saat kuperhatikan poster tersebut, ternyata peserta yang berasal dari Aceh bukan Della saja, tetapi ada dua yang lainnya; siswa yang berasal dari MTsN Rukoh, Narid Sulthan Maulana, dan juga Rizki Mulia yang berasal dari SMAN 1 Bambel Aceh (Aceh Tenggara). Kabar tentang Della berhasil menang dan akan berangkat ke Lombok pun tersebar ke setiap telinga siswa-siswa yang lainnya dan juga para guru yang ada di sekolah. Ucapan selamat pun bertubi-tubi diterima Della. Dari raut wajahnya, Della tampak begitu bahagia, begitu juga dengan aku, sebagai guru yang telah membimbingnya, juga turut merasakan kebahagiaan itu. 

Pengumuman keberangkatan kubaca sekali lagi. Di sana tertulislah bahwa semua peserta wajib mengikuti Winner Camp dari tanggal 6 sampai 10 Agustus 2015 di Lombok.  Berarti Della harus berangkat pada tanggal 5 Agustus 2016 dari Labuhanhaji menuju Banda Aceh. Selain tanggal keberangkatan, ternyata ada beberapa berkas yang harus disiapkan Della sebelum ia berangkat, salah satunya adalah surat izin orang tua. 

Pada tanggal 3 Agustus 2015, Della membawa serta orang tuanya menghadap kepala sekolah membicarakan masalah keberangkatannya ke Lombok. Di dalam ruang kepala sekolah kala itu hanya ada aku, Della, orang tuanya, dan kepala sekolah. Ketika pembicaraan tiba pada titik intinya, di situlah Della harus mengubur mimpinya! Ia tak dapat bertemu dengan ketiga orang hebat yang namanya telah tertulis di dalam poster pengumuman tersebut. 

Mimpi itu terpaksa dikubur dalam-dalam oleh Della bersebab orang tuanya tak memberi izin bagi Della untuk berangkat ke Lombok, NTB. Alasan yang diutarakan oleh orang tua Della tak memberikan ia izin untuk berangkat ke Lombok adalah karena tak ada guru pendamping yang mendapingi ia mulai dari Aceh sampai Ke Lombok. 

“Bila tak ada guru pendamping yang mendampinginya dari Aceh sampai ke Lombok, maka tak ada izin buat Della untuk berangkat ke Lombok mengikuti acara tersebut,” ucap orang tua Della. 

Keadaan semakin tegang kala itu. Della mulai tersedu-sedu karena apa yang baru saja diucapkan oleh orang tuanya membuat ia begitu terpukul. Bapak kepala tak bisa berbuat banyak. Aku apalagi!!!  Lalu aku pun mencoba untuk meyakinkan orang tua Della bahwa Della akan baik-baik saja saat mengikuti acara tersebut.

“Saya sudah menghubungi panitia pelaksana yang ada di Jakarta, Pak. Dan hal yang saya tanyakan adalah masalah pendamping juga. Kata mereka, untuk pendamping mereka tidak mampu menyediakan dana. Dana yang mereka sediakan hanya buat peserta saja. Dan kata mereka, para peserta insyaallah akan aman mulai dari pertama berangkat sampai ia kembali ke rumah masing-masing!” ucapku pada orang tua Della. 

Orang tua Della tetap dengan keputusannya. Melihat orang tuanya yang masih teguh pada pendiriannya, Della pun menangis sejadi-jadinya. Berjuta alasan diutarakan Della untuk meyakinkan orang tuanya, tapi tetap saja alasan itu tak bermakna bagi orang tuanya. 

Ingin kukatakan di sini, padahal Della beberapa hari sebelum tanggal 6 Agustus 2015 itu, ketika aku masuk mengajar di kelasnya, tertangkap olehku Della membaca novel Ayat-Ayat Cinta. Ketika aku berkeliling-keliling kelas menjelaskan tentang sebuah teori, mataku terus melirik ke arah novel Ayat-Ayat Cinta yang ada di atas meja Della. Di antara lembar-lembar kertas novel tersebut, menyembullah kertas berwarna ping. Kertas itu adalah kertas pembatas. Dan ia kini berada di tengah-tengah novel. 

Namun apa hendak dikata, impian itu terpaksa dibuang jauh-jauh! Melihat Della yang terus tersedu-sedu memohon pada orang tuanya, hatiku juga tak kuasa menahannya. Ingin sekali kala itu aku berteriak! Ingin sekali hari itu aku juga turut menangis bersama Della, muridku itu, di dalam ruang kepala sekolah itu agar orang tuanya memberi izin untuk Della dapat berangkat ke Lombok. Tapi aku masih kuasa menahannya dan itu pun tak berlangsung lama. Ketika Della pulang bersama orang tuanya, aku keluar kantor, lalu di bawah pohon mangga yang rindang, tepat di depan kantor, dalam buaian angin sepoi, air mataku keluar juga dari sarangnya. Aku juga terpukul!
 
Andai saja Engkau tahu, Pak, bahwa apa yang telah diraih oleh Della bukan sesuatu yang diperoleh dengan amat mudah. Ini prestasi nasional! Tidak semua anak punya kesempatan seperti ini dan tidak semua anak memiliki nasib seberuntung Della! Anda telah menarik Lombok, Habiburrahman El Shirazy, Tere Liye, dan juga Ginatri S. Noer dari dalam kepala Della lalu menguburnya di dalam tanah yang cukup dalam!” batinku berkata.

Beberapa jam setelah kejadian itu, Della jatuh sakit. Lambungnya kembali berulah. Pak kepala sekolah memanggilku. Ia ingin membicarakan hal itu lagi denganku.
***
Dua hari setelah kejadian itu, Della menemuiku dengan wajah yang masih menyimpan kekecewaan. Lalu ia pun berkata padaku.

“Pak, Bapak masih mau membimbing, Della kan kalau ada perlombaan-perlombaan seperti itu lagi?”

Pertanyaan itu membuatku kembali bersemangat. Pertanyaan itu bagaikan listrik yang menyetrum tubuhku yang telah hilang semangat. Dari pertanyaan itu aku mampu menyimpulkan bahwa keadaan jiwa Della masih baik-baik saja! Lalu aku pun menjawabnya.

“Tentu, Nak. Mau sekali! Membimbing setiap siswa yang mau menulis adalah kewajiban Bapak! Tentu Bapak masih bersemangat untuk membimbingmu. Dan Bapak berharap padamu tentang kejadian kemarin ada baiknya kamu tulis karena itu adalah salah satu bukti sejarah bahwa kamu adalah salah satu anak yang berprestasi ketika masih sekolah! Meskipun kamu tak sempat berjabat tangan dengan ketiga orang yang hebat itu, tapi yakinlah suatu saat kadang takdir akan berkata bahwa ketiga mereka-lah yang akan berjabat tangan denganmu atas penghargaan karya-karyamu. Semoga. Pokoknya jangan lupa teruslah, membaca, membaca, membaca, lalu menulis, menulis, dan menulis, kemudian berdoa. Itu saja!”

“Iya, Pak, terima kasih banyak.”

Della berbalik kembali ke kelas. Lalu aku pun kembali berkata padanya.

“Della, tentang kejadian di hari Sabtu yang durjana itu jangan kamu tangisi lagi. Kamu tak perlu menyalahkan siapa-siapa. Tak perlu menyalahkan orang tuamu, tak perlu menyalahkan Bapak, atau yang lainnya. Ini adalah garis takdir. Garis takdirmu telah terlukis seperti itu. Ingatlah satu hal, setiap orang tua mengharapkan yang terbaik buat buah hatinya, dan Bapak mengharapkan kamu selalu menjadi juara, dan Tuhan, telah mengariskan takdir yang terbaik buat ciptaannya! Itu saja,” ucapku bijak dan berlalu darinya.   

Della kemudian melemparkan senyum kepadaku dan aku kembali masuk ke kelas karena bel tanda pergantian pelajaran telah meraung-raung.***
                                       

                                                        
                                       SMA Unggul Darussalam Labuhan Haji, 2015