Saturday, 18 March 2017

5 Rumah yang Tak Dimasuki Playboy



Menjadikan diri sendiri menjadi seseorang yang penuh rayuan, puja, dan pujian bukanlah perkara yang mudah. Untuk menaklukkan objek rayuan yang tak lain adalah si gadis impian dibutuhkan latihan ekstra keras plus beberapa triknya. Bakat merayu atau dalam bahasa Acehnya bakat meng-olah atau bakat me-lawok bukanlah sesuatu yang diwariskna melalui gen. Itu semua didapatkan melalui pengalaman, latihan, dan mungkin didapatkan dari membaca artikel-artikel yang bertebaran di internet.

Merayu, meng-olah, dan me-lawok di dalam kehidupan sehari-hari memang sangat dibutuhkan. Selain itu, tujuan dari merayu itu berbeda-beda. Ada yang melakukannya demi mendapatkan gadis impian yang kemudian dilakab menjadi Playboy, ada yang melaksanakan demi mengelabui orang lain yang kemudian disebut Agen Olah, bahkan ada juga yang melakukannya demi memperoleh suara saat pemilu berlangsung. Untuk yang terakhir ini biasa orang-orang kami menyebutnya PANCURI TUJUH, maksudnya: Leuh dipajoh, keu rakyat dipikee hana (artinya bila sudah menang sang calon tak lagi hirau masyarakat).     

Kali ini saya tidak membahas tentang tukang rayu yang dua terakhir itu. Yang dibahas adalah tentang tukang rayu gadis-gadis atau kemudian kita sebut Playboy beserta lima rumah yang tak berani ia masuki. 

Pertama, Rumah yang Sang Ayah Bermisai Besar dan Tebal

Misai adalah bulu hitam tebal yang menjadi kebanggaan lelaki dewasa. Misai melambangkan kegarangan, kewibaan, dan tentunya melambangkan kegagahan. Akan tetapi, bagi lelaki yang usianya masih di bawah 25 tahun, misai bagi mereka tak lebih hanya sebagai bulu hitam untuk bergaya di depan para gadis. Bagi lelaki dewasa, misai adalah bulu hitam yang menyimpan beribu kenikmatan. Contohnya saja saat selesai makan nasi. Bagi lelaki dewasa membersihkan misai dari bekas makanan dan mengurutnya mengikuti pola huruf A menyimpan kenikmatan tersendiri. Kenikmatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 

Nah, bagi sang Playboy, rumah yang di dalamnya terdapat lelaki yang bermisai menjadi sebuah tempat yang sangat mengerikan. Coba bayangkan saja begini, ayah si gadis adalah lelaki yang bertubuh besar, kekar, hitam klo, bermisai pula. Bagaimana mungkin sang Playboy berani memasuki rumahnya apalagi untuk menggoda anak gadisnya. Bagi sang Playboy, jangankan dihardik, melihat ayah si gadis mengurut misainya itu sama halnya dengan sang ayah mengeluarkan parang dari sarungnya. 

Kedua, Rumah yang Salah Satu Anggota Keluarganya Utoh
Utoh adalah seorang pandai besi yang besi yang biasanya membuat parang, rencong, pisau, tombak dan benda-benda tajam lainya. Seorang utoh dalam kesehariannya selalu berhubungan dengan barang-barang keras dan mematikan, contohnya saja, api, palu godam, bara api, besi dan benda-benda lainnya. Bisa dibayangkan bukan bagaimana bentuk seorang utoh apabila ia tengah bekerja? Badan hitam dengan keringat bercucuran, kekar, kumis besar dan tebal, bisep besar, sorot mata tajam, fokus, dan bersuara berat. Itulah karakter seorang utoh lebih kurang. 

Bagi sang Playboy memasuki rumah ini sama halnya dengan masuk ke dalam rumah Aceh berhantu yang telah ditinggal sejak zaman Belanda. Meskipun di dalamnya ada sesosok gadis nan mahajelita, tetap bagi sang Playboy butuh nyali besar untuk masik ke dalam rumahnya. Mengapa demikian? Jawabannya adalah bila nekat masuk dan mengombali sang gadis jelita, salah pula cara merayu si gadis, maka parang tajam kebanggaan milik sang Utoh yang mampu membelah rambut menjadi tujuh helai telah menanti. Menakutkan sekali bukan???

Ketiga, Rumah yang Ayah si Gadis Adalah Tukang Jagal Ayam Potong
Baju selalu berlumuran darah. Tangan kekar. Sorot mata tajam. Tak banyak bicara. Aroma tubuh adalah aroma wangi kematian ayam-ayam potong. Suaranya berat. Di bawah lubang hidung terselip kumis besar berbulu lebat tebal. Mainannya adalah parang bermata tajam karena selalu terasah, batu asah dari India, dan yang terakhir adalah ayam-ayam yang menunggu giliran untuk dicabut nyawanya. Ya, itulah sepintas gambaran tentang pemilik rumah yang kepala keluarganya berprofesi sebagai tukang jagal. 

Mengingat karakter sang ayah saja sudah barang tentu bagi sang Playboy menapakkan kaki ke dalam rumah buat merayu sang gadis takkan mungkin dilakukan. Sudah tentu yang terbayang adalah lelaki besar dengan parang besar yang tajam! Bila nekat melakukannya, memutuskan jemari kaki dengan parang tajam itu bagi si pemilik rumah bukanlah pekerjaan yang berat.  

Keempat, Rumah yang Kepala Keluarganya Adalah Seorang Dukun
Dukun atau istilah lainnya ureng caroeng, orang pintar, atau Smart Man, adalah sesosok manusia yang menguasai ragam ilmu. Ilmu yang dimilikinya tersebut pun mampu mengobati banyak orang dan tentunya juga mampu mencelakai bahkan memusnahkan orang baik jarak dekat maupun jarak jauh. Dan dibanyak tempat, menurut sebuah sumber yang kredibilitas, anak gadis dukun cantiknya di atas rata-rata semuanya!

Nah, bagi sang Playboy melangkahkan kaki menuju ke rumah ini bukanlah pekerjaan yang baik. Sinyal ghaib yang dimiliki sang dukun lebih hebat dibandingkan 4G yang kita pakai sekarang. Lima langkah engkau hampir sampai ke depan pintu gerbang rumah sang dukun, niat serta maksud tujuanmu itu sudah diketahui olehnya. Jadi, hayalan tentang merayu anak gadisnya lagee nyoe ku tak, lagee jeh ku cang, jauhkan dari pikiranmu. Sebelum sempat engkau layangkan Hikayat Tak-Cang mu itu, lidahmu sudah terlebih dahulu dibengkokkan ke langit-langit mulutmu! Jadi, masih berpikir untuk mencobanya? Mikir woi!!!    

Kelima, Rumahnya Para Penikmat Cerita: Adam Sang Penunggu, Geuleupak, Ek-Bham, dan Cerita Bungai Bangkai (Raflesia) 
Bila di dalam rumah yang hendak di-cuca oleh sang Playboy terdapat seorang tokoh penikmat cerita seperti yang telah disebutkan pada judul di atas, ada baiknya sang Playboy balik kanan kembali ke rumah. Memang harus diakui di dalam rumah ini ada seorang gadis yang SANGAT SANGAT SANGAT cantik jelita. Namun, benteng si gadis cantik itu adalah tokoh penikmat cerita seperti yang telah disebutkan pada judul di atas. Untuk itu, jangan lancarkan seranganmu di sini!!! Bila tetap engkau paksakan kehendakmu, meskipun engkau keramat level 7, petaka akan menghampirimu dengan segera.

Tiada ampun bagi sang Playboy bila melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah ini. Bila diibaratkan senjata maka rumah yang satu ini adalah AK-47. Senjata mematikan dan bisa bekerja di segala medan. Senjata yang pelurunya apabila mengenai tubuh musuh akan hancur tak berbentuk. Hikayat Ular tingkat dewa pun takkan mampu menjadi perisai tubuh bagi sang Playboy bila memberanikan diri masuk ke rumah ini. 

Tokoh penikmat cerita di dalam rumah ini bukanlah sembarangan orang. Jika diumpakan dengan pembunuh, tokoh ini adalah pembunuh berdarah dingin. Mengapa demikian? Jawabannya sebagai berikut. Tokoh ini adalah orang yang telah berkali-kali tersuap ratusan kalimat manis bernada merayu-mendayu. Lalu, wahai Tuan Playboy yang terhormat, engkau mau pakai kalimat yang bagaimana lagi buat merayu tokoh ini??? Efeknya adalah bila engkau kehabisan bahan rayuan dan salah dalam melafazkan kalimat, maka si tokoh penikmat cerita tak segan-segan “menyekolahkan” mu dengan teknik khusus yang dimilikinya. 

Percayalah, tokoh penikmat cerita ini juga tukang rayu. Bahkan orang-orang melakab mereka sebagai Playboy Made in Tuhan. Mengeluarkan anak gadis jelita dari kandang macan milik orang bermisai tebal, anak gadis milik sang utoh, anak gadis tukang jagal ayam potong, dan juga anak gadis sang dukun baginya adalah hal yang teramat sepele. Saking sepelenya mereka berani berucap kalau itu adalah ek but (tahi pekerjaan)!!!  

Pesanku wahai sang Playboy bila hendak merayu, pakai ajimat atau mantera terlebih dahulu, karena tokoh yang satu ini sudah muak dengan rayuan manis. Nah, bila rayuanmu tak berarti apa-apa baginya, maka kepalamu, tanganmu, kakimu, telingamu, dan tentunya seluruh tubuhmu akan diapa-apakan olehnya alias dijadikan tumbal. Nyan ban!!!***

---->BERANI SHARE, HEBAT!!!!
                                                                                                     Labuhanhaji, Maret 2017




Saturday, 11 March 2017

ADAM Sang Penunggu Melati


Entah berapa purnama lagi ia harus menanti yang jelas angka-angka yang berjejer rapi beserta nama hari di kalender usang itu telah disilangnya. Penuh satu tahun. Kini kalender telah berganti dengan yang baru. Hari baru, angka baru, dan juga tahun baru. Penantian ini sungguh membuat keadaan jiwanya tak menentu. Tapi ia tetap menunggu.

 Agar belenggu penantian itu tak berubah wujud menjadi monster yang sangat menakutkan dan terus mencabik jiwanya, Adam segera merakit strategi. Sebuah strategi agar penantian itu menjadi tetesan embun yang kelak berubah menjadi madu. Adam sangat paham bila ia terus mengumpat, penantian yang dinanti pasti akan berubah menjadi monster.

Sebagai pemuda yang cerdas lagi tampan, Adam melampiaskan kegalauannya itu pada empat hal yang berbeda: kandang ayam, kebun kasih (red: lam basa Aceh lampoh Jok), kandang kambing, dan pada sungai.

Satu, Pada Kandang Ayam
Bila otaknya telah berat sekali diusik oleh Si Penantian, Adam akan melampiaskannya pada kandang ayam. Saat Adam telah berada di dalam kandang ayam, pekerjaan lain tak lagi dihiraukannya. Ia hanya akan berhenti untuk salat, makan, dan mandi. Selepas itu, Adam akan kembali menggila pada kandang ayam itu. 

Tingkah Adam dengan serta merta membuat masyarakat ayam terkejut tak terkira. Adam akan membersihkan seluruh kandang ayamnya itu dari kotoran-kotoran yang telah menumpuk selama bertahun-tahun. Rerumputan yang tumbuh di sekelilingnya dimusnahkan hingga tak berwujud. Atap rumbia yang selama ini telah sihet tak berbentuk dibetulkan dan diganti dengan seng. Tempat ibu ayam dan ayam dara bertelur dan mengeram dibuat baru diarsiteknya senyaman mungkin. Tak jauh dari kandang utama, ayam-ayam yang punya bayi, kandangnya pun direhab semanis mungkin: nyaman, tenang, dan tentunya aman dari incaran musang dan mie agam. 

Akibat ulahnya itu, orang tuanya, saudaranya, dan teman-temannya tat kala melihat kandang ayam tersebut tak ada kata yang diucapkan selain, “Ini kandang ayam atau tamannya Donald Trump. Bersih dan rapi sekali.”

Adam akan menenggelamkan dirinya berhari-hari di sana. Tujuannya adalah agar pikirannya tak lagi terusik dengan yang namanya PENANTIAN. Dimulai dengan pagi hari, setelah memberikan ayam-ayam sarapan paginya, barulah Adam di tempat yang telah ia siapkan menikmati secangkir kopi pagi. Sembari menyeruput kopi pagi yang nikmat itu, Adam dengan penuh penghayatan memperhatikan satu per satu ayam-ayamnya itu yang tengah menikmati umpan. Kini, selain rumah, Adam banyak menghabiskan waktunya di tempat keduanya, kandang ayam. Apabila siang dan petang menjelang, ritual menikmati secangkir kopi sembari memberi makan ayam pun terus berlangsung. Dan kini, ayam-ayamnya pun semakin kenal dengan dirinya, mulai dari bau tubuh Adam, cara ia menyesap kopi, bahkan sampai cara ia mengaduk umpan ayam. 

Seandainya sang ayam-ayam itu mampu berbicara tentu dia akan berucap, “Peu ka pungo Tuan lon?” 

Kedua, Kebun Kasih (red: Lam basa Aceh lampoh Jok)

Kebun kasih adalah tempat kedua pelampiasan kegalauan Adam setelah kandang ayam. Baginya kebun kasih adalah tempat pelarian yang sempurna. Sempurna karena di sana ada banyak hal yang dapat dinikmati; suara kicauan burung-burung bermacam jenis, suara monyet yang tengah merayu kekasih, yang tengah menikmati kelamin lawan jenisnya, suara petani yang tengah menghardik babi yang mencuri ubinya, dan suara-suara penghuni hutan lainnya. Saat Adam berada di kebun kasih jiwanya begitu damai, tentram tak terkira. Dan di antara suara-suara itu ada satu suara yang sangat disukai bahkan bisa dikatakan sangat digilai oleh Adam, suara itu adalah suara uereueng peh jok (petani yang tengah memukul tandan ijuk untuk mengambil airnya).

Bila suara itu telah terdengar, jiwa Adam seperti dihela dipanggil menuju sumber suara. Alunan irama pukulannya sangat teratur, terukur, dan juga diiringi dengan hikayat-hikayat yang sangat indah memukau. Bagi Adam suara itu sama juga dengan bisikan Mawar yang mengutarakan cinta kasihnya yang teramat tulus kepadanya. Suara itu layaknya simponi yang mengalunkan not not yang dimainkan dengan penuh penjiwaan. Suara itu ibarat bisikan genit sang istri pada sang suami saat tengah malam tiba. Sebuah bisikan yang mampu menegakkan bulu segala bulu. Maka dari itulah Adam sangat menyukai suara itu. 

Bila telah berada di bawah pohon kasih, Adam akan mengamati si tukang pukul tandan kasih itu sampai selesai. Adam rela berjam-jam menunggu si tukang pukul tandan kasih itu turun. Bagi Adam turunnya sang tukang pukul tandan kasih sama halnya seperti turunnya hujan di musim kemarau. Memberi rahmat dan nikmat. Mengapa bisa sedemikian rupa? Sebab saat si tukang pukul tandan kasih itu turun, ia juga akan membawa turun air kasih segar yang telah di tampung dalam bambu. Bagi Adam, air yang ada tabung bambu itu adalah rahmat yang tiada terkira nikmatnya. Sangking nikmatnya air kasih itu membuat Adam menamsilkan air kasih itu adalah sebentuk air yang bermuasal dari surga. Lalu, oleh Tuhan memerintahkan malaikatnya untuk menaruhnya di dalam tandan pohon kasih.

Adam dan si tukang pukul tandan kasih adalah ikatan yang telah tercatat di buku besar Tuhan. Bagai air dan minyak. “Bagai buah dan batang”. Bagai Laila dan Majnun. Seirama, sehati, dan sepemahaman. Adam sangat paham kapan, pada hari apa, dan pukul berapa si tukang pukul akan menurunkan “air surga” itu dari pohonnya. Begitu juga sebaliknya, Adam juga sangat mahfum benda apa yang harus disediakan buat si tukang pukul ketika mereka kelak akan menikmati air surga itu. Benda itu adalah mie caluk, Dji Sam Su, dan Bakong Aceh!!!

Bagi si tukang pukul tandan kasih, kenikmatan kedua setelah kenikmatan bercinta dengan perempuan halal tak lain adalah menikmati air kasih tersebut bersama Adam. Bagi Adam ini adalah kenikmatan pertamanya. Lalu mereka akan menikmati air kasih itu sesapan demi sesapan di atas jambo yang telah tersedia. Rasa air yang bernuansa asam buah itu membuat pikiran Adam terbang melayang melanglang buana ke negeri jauh. Sesekali dihisapnya dalam dalam Dji Sam Su yang tembakaunya telah dimodifikasi dengan Bakong Aceh. Kemudian disuapnya mie caluk made in Cutpo Rahmi Mudri yang penuh cita rasa itu. Akhhh, nikmat sekali. 

Bila telah mencapai klimaks kenikmatan, sungguh kejiwaan Adam aman, damai, dan tentram. Ia benar-benar melupakan perkara yang selama ini telah mengusiknya. Perkara pengumuman yang selama ini tak kunjung berwujud. Air kasih benar-benar menentramkan jiwanya di tengah hutan yang damai di atas jambo yang kokoh. Tapi itu semua hanya berlangsung dalam hitungan jam. Setelah dosis kenikmatan itu berakhir, sang pengusik kembali menggoda kejiwaan Adam. 

Ketiga, Kandang Kambing

Di dalam buaian kenikmatan yang tiada tara itu, Adam masih menyisakan kewarasannya. Ia sangat sangat sadar bila terus bercinta kasih dengan air kasih kemungkinan besar kejiwaannya akan meloncat pada jalur yang lain. Jalur mengerikan dan penuh kegilaan. Ia sangat sadar bahwasanya di pelosok nun jauh di sana masih banyak jiwa-jiwa yang membutuhkan kejeniusannya. Nun jauh di sana masih banyak bocah-bocah yang butuh cahaya kecerdasan darinya. Bersebab itulah Adam berhenti sejenak dari air kasih. 

Kali ini siasat untuk menghalau sang pengusik jiwa adalah kandang kambing. Adam akan menghabiskan hari-harinya di kandang kambing. Seperti halnya kala ia membenahi kandang ayam, misi kali ini adalah membenahi kandang kambing. Di sana Adam akan merapikan tempat pakan. Men-setting ulang posisi bubung yang telah reot. Membetulkan tangga buat sang kambing masuk ke kandang. Membetulkan kawat pagar yang telah dihancurkan oleh babi liar. 

Setelah beberapa hari mencumbui bau-bau asam buah yang terlalu nikmat, kali ini hidung Adam harus berhadapan dengan bau yang menjijikkan; bau air seni kambing (bee chung iek kameng: red. bahasa Aceh). Tapi di tempat ini Adam tak banyak menghabiskan waktunya. Itu semua karena kambing. Ya, hanya karena kambing. Sejatinya ada banyak hal yang akan dilakukan oleh Adam di sini. Akan tetapi, bersebab seekor kambing jantan yang mengamuk, semua hal yang tengah direncanakan itu diakhiri tidak sesuai prosedur.

Kala itu, di saat energi semangat Adam tengah klimaks untuk merapikan setiap sudut kandang kambingnya, ada seekor kambing jantan dengan penuh power menanduk selangkangannya. Adam meraung kesakitan. Adam tak tahu entah ada dendam apa si kambing pada dirinya, hingga dengan tiba-tiba sang kambing murka padanya. Yang ada, kemarin hari tanpa sengaja Adam melempar batu mengusir bebek yang masuk beramai-ramai ke dalam kandang kambing. Tanpa sengaja, lemparan Adam meleset. Batu yang dilempar Adam berakhir menghantam biji pelir sang kambing. Kambing jantan yang pelirnya dihantam batu memandang ke arah Adam penuh khidmat; layaknya seseorang yang tengah merekam wajah sang musuh sedetail mungkin.

Selangkangan sakit tak terkira ditambah lagi yang dinanti belum juga diumumkan membuat kejiwaan Adam kian tercabik. Marah. Kesal. Emosi meletup-letup. Adam pun berjanji dalam hati, esok hari ia akan membalas dendamnya. Tapi dendam itu tak sempat terbalaskan sebab tanpa sepengetahuan Adam, kambing itu telah di jual oleh sang ayah di pasar jegal. 

Keempat, Sungai dengan segala kesunyiannya dan sebuah “Hadiah”

Sungai adalah tempat terakhir pelarian kegalauan kejiwaan Adam. Ada alasan tersendiri bagi Adam mengapa ia memilih sungai sebagai tempat menenangkan kejiwaannya. Sungai di kampungnya memiliki alur yang panjang dan bermuara ke laut. Riak air di sana tenang sekali. Meskipun tenang tapi tetap menghanyutkan. Tak banyak sampah di sana. Airnya hampir bening. Dan yang menjadi pujaan orang-orang kampung Adam pada sungai itu adalah ikan-ikan yang ada di sana. Mulai dari ikan Bacee, Seungko, ikan Krup, hingga ikan Nila. Dan diantara ikan-ikan itu, ikan Mujair adalah ikan yang menjadi bintangnya. 

Memancing sama dengan melatih kesabaran. Pemancing tentunya tak pernah tahu seberapa banyak ikan di dasar sungai. Begitu juga sebaliknya, sang ikan juga tak pernah tahu umpan jenis apa yang dipasang di ujung mata pancing. Dan kadang-kadang, sang ikan sengaja tak memakan umpan yang ada di depannya itu. Sang ikan ingin mengetes sejauh mana kesabaran si pemancing. Begitulah siklus itu berjalan hingga pada akhirnya kadang-kadang sang ikan terangkat juga dari dasar kehidupannya. Di lain sisi, kadang-kadang sang pemancing pulang dengan hasil hampa. 

Kali ini, Adam sudah berniat di dalam hati untuk menghabiskan banyak waktunya di sungai. Ia ingin melatih kesabarannya. Tujuannya sangat jelas agar ia mampu menjinakkan kegalauan jiwanya akan sebuah penantian itu. 

Hari pertama Adam memancing sejak pagi pukul 10.00 hingga senja menyapa tak ada hasil. Kesabarannya mulai dilatih. Hari kedua Adam memancing dimulai dari pukul yang sama hingga berakhir dengan jam yang sama dan hasilnya pun masih sama. Kesabaran adam mulai terbentuk. Di hari ketiga, pancing Adam diganggu ikan, tetapi saat ia membalas yang menyangkut di mata pancingnya adalah bekas pembalut wanita. Adam masih sabar. Kali ini sabarnya diiringi dengan sebuah senyum kecil. Di hari keempat, pancing Adam tak bergerak sama sekali. Hingga waktu senja tiba tak ada ikan yang memakan umpan kailnya. Kesabaran Adam hampir sempurna. Pada hari kelima, pancing Adam disambar Bacee, namun saat ia membalasnya, sang Bacee berhasil melepaskan diri dari mata pancing Adam. Adam mulia bergairah dan kesabarannya hampir sempurna. Pada hari keenam, Adam bagaikan patung tak bernyawa yang duduk di pinggir sungai. Kailnya sama sekali tak disentuh ikan. Saat ia mengangkat kailnya yang sangkut di sana adalah seonggok karet yang kemudian ia tahu bahwa itu adalah kondom. 

Kesabaran Adam yang selama ini mulai dilatih sudah terlihat retak. Dalam hati kecil ia pun berkata, bila esok tak juga ada hasilnya, maka ia akan murka. Ia akan mematahkan pancingannya itu. Hari ketujuh Adam pun melemparkan mata pancingnya. Satu jam, dua jam, tiga jam, kailnya hanya diganggu saja tidak disambar. Menjelang pukul 15.00 mata pancing Adam benar-benar di sambar. Saat ia membalasnya sang ikan sempat tersangkut di mata pancing namun lagi-lagi ia berhasil kabur. Adam pun murka. 

“Ikan setan, sungguh kau adalah makhluk yang penuh PHP seper…” belum selesai Adam menyempurnakan kalimatnya, mata Adam tertuju pada sebuah pemandangan yang menakjubkan. 

Seekor Seungko besar di salah satu akar pohon pinggir sungai sedang mengintai umpan. Adam memasang kuda-kuda. Mata pancing langsung dipasang kodok. Selesai. Adam langsung melempar mata pancing tak jauh dari sang ikan. Di tengah penantian umpan disambar, mata Adam tanpa sengaja melihat seorang perempuan cantik di pinggir sungai yang tengah menabur bunga melati ke sungai. Wanita itu sungguh cantik sekali. Secantik Raline syah, sebohai Raisa. Adam terkesima. Ini pemandangan langka baginya. Matanya lazat menikmati keindahan si perempuan. 

Beberapa puluh menit kemudian, umpan pancing Adam disambar. Adam kalah cepat. Disaat Adam hendak membalas pancingannya itu, Seungko besar itu lebih dulu membawa kabur mata pancing beserta kailnya. Adam murka. Pancingannya kian dibenamkan ikan ke dasar sungai. Adam merasa kehilangan!

Tak ingin berlama-lama dalam kesediham, Adam kembali fokus pada sang wanita cantik di pinggir sungai itu. Didekatinya perlahan-lahan. Didekatinya lagi perlahan-lahan. Dan kini Adam berada tepat di samping sang wanita cantik. Ini benar-benar manusia bukan hantu. Entah rayuan maut dan doa pengasih milik siapa yang dipakai Adam yang jelas saat itu juga sang wanita memeluk Adam. Memeluk erat seperti seorang ingin melepaskan rindu membara.

Di pinggir sungai yang sunyi. Entah ini adalah garis takdir Adam seperti yang telah tercoret di dalam buku besar, hanya Tuhan yang tahu. Di dalam ilalang yang lembut, Adam dan wanita cantik itu pun berguling-guling manja. Saling memeluk. Saling menindih. Saling mendesah. Tak ada percakapan diantara mereka, yang ada hanyalah pukulan-pukulan kecupan penuh kasih sayang. Ah, rezeki apa ini, Adam tak pernah tahu. Apakah ini adalah buah daripada kesabarannya? Di juga tak tahu. 

“Peperangan”selesai!!!

Seperti tak pernah terjadi sesuatu, Adam dengan penuh percaya diri memulai percakapan dengan wanita cantik itu.

“Kau tahu, Dik, bunga melati yang telah kau tabur di atas air sungai ini telah mengejutkan ikan-ikan yang ada di dasar sungai. Oleh sebab itulah, mereka tak lagi memakan umpan pancingku,” ucap Adam.

“Oh ya? Kalau begitu maafkan aku, Bang!”

“Ouh, itu tidak jadi masalah. Lagi pula ikan-ikan di sini juga banyak PHP-nya,” jawab Adam. “Ngomong-ngomong, adik ini siapa dan di mana rumahnya?”
“Saya Hawa si Penunggu Melati, Bang. Rumah saya di Kuta Raja!”

“Penunggu Melati? Apakah melati yang kini sedang ditunggu oleh banyak orang itu?”
“Iya, Bang!”

Mendengar jawaban dua kata itu, Adam langsung terdiam mematung. Organ yang sejengkal berada di bawah pusatnya baru saja bahagia, tetapi organ yang sejengkal di atas pusatnya itu sesak, sakit bagai kena hantaman palu besar. 

Pikiran Adam melayang jauh. Kini Adam hilang ingatan.***


                                                                                                                 Labuhanhaji, Maret 2017
 
Berani share, HEBAT ...