Petualangan Baru di Nanga Ella Hulu
oleh: Azmi Labohaji
Tuhan selalu menghadiahkan kita garis takdir yang cantik. Garis takdir yang selalu menjadi rahasia dan akan diketahui kemudian harinya. Hari ini aku dan ribuan teman-teman di seluruh tanah Indonesia menjalani garis takdir yang baru. Garis takdir itu bernama GGD 2016.
Program GGD 2016 telah mengantarkanku sampai ke suatu tempat yang luar biasa hebat. Sebuah tempat yang dikemudian harinya memberikan aku dan teman-temanku cinta, kedamaian, dan pengalaman hebat yang mungkin tak kami dapati di tempat lain.
Penantian pengumuman kelulusan GGD yang memakan waktu hampir satu tahun lamanya itu akhirnya terbit juga. Setelah pengumuman itu terbit, namaku terdata di sebuah kabupaten yang bernama Melawi. Kutelusuri dan terus kutelusuri nama Melawi itu ada di mana? Ternyata nama itu berada di Provinsi Kalimantan Barat.
Objek Wisata Air Terjun Sahai Apat
Menjadi GURU GARIS DEPAN dengan status (C) Pegawai Negeri Sipil di tanah Borneo adalah sebuah petualangan baru. Persiapan lahir batin sematang mungkin pun harus disiapkan untuk menghadapi berbagai rintangan di tanah pengabdian. Sebab ini bukanlah petualangan yang main-main. Setelah mengumpulkan berbagai informasi baik itu dari teman yang pernah ke Borneo, dari foto-foto yang dijelajahi di internet, dan juga dari video-video di You Tube dan juga di-share teman¸ ternyata tanah ini menyajikan petualangan yang cukup menantang.
Tanah berlumpur, hutan belantara, kebun sawit, sungai yang lebar dengan airnya yang keruh, listrik tidak menyala 24 jam, adalah medan yang akan dinikmati dan dijalani. Kini, itu semua tengah aku jalani di Desa Nanga Ella Hulu, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi. Di desa inilah aku dan temanku, Anton Ary Wibowo (lelaki yang berasal Purworejo, Jawa Tengah), ditempatkan di SDN 03 Ella Hulu. Sebagai informasi, menurut berbagai sumber, katanya kepala sekolah di es de tersebut adalah kepala sekolah terkeren se-kecamatan Menukung. Beliau bernama Zainul Awal dengan nama panggilan; Bung Zen atau Pak Zen.
Air Terjun Sahai Apat
Untuk sampai ke desa tersebut memakan waktu selama dua jam dari ibu kota kabupaten. Jalur yang dilalui pun luar biasa dahsyatnya tetapi menyenangkan. Butuh fisik yang prima untuk melakukan perjalanan ke sana. Selain itu, kondisi kendaraan pun harus oke seratus persen; mulai dari rantai, ban, roda, dan juga bahan bakar. Semua harus diperhatikan dan dijamin aman. Bila tidak, siap-siaplah petaka akan menanti.
***
Kabut di Pagi Hari
Bila Pagi
Di tanah Borneo matahari sangat cepat muncul. Pukul 05.00 WIB tanah ditempat aku tinggal sudah terang. Bila di Aceh, pukul demikian aku masih di bawah selimut dengan mimpi yang nikmat. Alam dengan rimbun pepohonan yang lebat menyuguhkan sambutan pagi nan indah di sini. Sahut sambut nyanyian burung-burung khas Kalimantan membuat pagi kian indah untuk dinikmati. Kala pintu depan rumah dibuka, sambutan yang tak kalah dahsyat adalah kabut tebal yang tak jauh dari rumah dinas sekolah tempat kami tinggal. Pemandangan itu selalu menarik untuk dibidik dengan kamera handphone. Pada saat inilah momen menikmati kopi pagi bersama kabut yang indah menjadi hal yang sangat perlu untuk direkam dan kisahkan. Indah!!!
Ketika ritual pagi itu telah selesai, pemandangan lainnya yang akan terlihat di sini adalah orang tua dengan pakaian tempur mereka. Ya, mereka adalah petani yang akan mencari nafkah ke kebun sawit atau ke kebun karet. Selain itu, ada juga sebagian orang tua di sini yang bekerja di perusahaan sawit swasta. Bagi mereka yang ke kebun karet, mereka akan menoreh ratusan pohon karet per hari. Kulat−karet hasil torehan tersebut−akan dijual pada agen yang siap menampungnya dengan harga yang telah ditentukan. Hasil penjualan kulat itulah yang akan mereka pakai untuk membiayai kehidupan sehari-hari.
Intinya, di sini bila sudah menikmati keindahan pagi hari maka perkara yang harus dilakukan selanjutnya adalah pergi mencari rezeki.
Kendaraan Sungai
Saat Siang Menjelang
Bila siang menjelang, di sini keheningan begitu sangat terasa. Tak ada suara raungan kendaraan. Semilir angin sepoi-sepoi adalah nikmat Tuhan yang harus kami nikmati. Setelah selesai melaksanakan salat Zuhur pada pukul 11.35 WIB, perkara selanjutnya yang harus dilakukan adalah menikmati siang di atas kasur.
Keramaian akan terlihat kembali pada pukul 16.00 WIB di lapangan SMPN 2 Menukung. Di sana masyarakat berkumpul dengan aktivitas masing-masing. Ada yang bermain bola kaki dan bola voli. Ada yang bermain bulu tangkis. Di salah satu sudut terlihat juga beberapa orang memainkan alat musik tradisional bersama grupnya. Mereka menghabiskan waktu hingga petang tenggelam dan magrib menjelang tepatnya pada pukul; 17.35 WIB. Ya,begitulah setiap harinya cara mereka menikmati petang. Sungguh asik!
Ketika Malam Menjelma
Menikmati malam di pedalaman Melawi, tepatnya di Nanga Ella Hulu, yang jauh dari segala kebisingan memiliki kenikmatan tersendiri memang. Tak ada raungan kendaraan-kendaraan yang ada hanyalah nyanyian sahut sambut binatang malam di hutan. Malam seperti lambat berjalan. Suguhan panorama langit dengan hamparan bintang dan caya bulan membuat kenikmatan tersebut ingin terus dicicipi terus.
Di sini, bila malam tiba, raungan mesin-mesin Dong Feng –aku menyebutnya mesen genset- adalah raungan yang sangat kami tunggu-tunggu dan kami rindukan. Raungan yang sangat kami sukai setiap alunan suaranya. Mengapa sangat kami rindukan? Jawabannya adalah karena di sini tak ada Perusahaan Listrik Negara (PLN). Listrik di sini hanya menyala sejak pukul 18.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB dan aliran listrik itu berasal dari mesin Don Feng tersebut. Nah, bila Dong Feng itu tak menyala maka kami akan berada dalam kegelapan sepanjang malam hingga fajar menjelang.
Segala perangkat elektronik seperti HP, senter listrik, power bank, laptop, dan perangkat-perangkat lainnya, akan kami aliri listrik hingga di layarnya terpampang kata “Baterai Full” atau angka 100 % bila mesin made in China itu telah hidup. Karena ketergantungan pada handphone pintar semakin tinggi, setiap malam aku harus berusaha mencari sumber listrik tersebut. Kadang-kadang harus numpang di rumah tetangga. Di warung-warung sambil ngobrol-ngobrol ringan dengan pemuda-pemuda kampung.
Bila sudah seperti ini, kami akan menggunakan barang-barang yang bermuatan listrik itu sehemat mungkin. Buka internet seadanya (itu pun dengan kondisi jaringan internet berstatus “E” bukan “4G”). Mendengar musik untuk beberapa lagu saja. Lalu, sesekali mata kami arahkan ke pojok kanan tempat pemberitahuan baterai tinggal berapa persen lagi.
Turun ke kota kabupaten dengan jarak selama 2 jam adalah kebahagiaan bagi kami. Ya, sebab setiba di kabupaten, kami bisa sepuasnya menikmati listrik karena di kabupaten listrik menyala 24 jam. Jaringan internet 4G. Segala kebutuhan yang diinginkan ada. Intinya saat jiwa dan raga telah berada di ibu kota kabupaten pikiran dan jiwa seolah-olah telah ter-refresh kembali. Yah begitulah!
***
Terakhir, terlepas dari segala halangan dan rintangan itu, yang ingin aku utarakan di sini adalah di mana pun kita berada, baik di kota di maupun pedalaman, sudah barang tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Di sini diri kita diuji Tuhan tentang bagaimana cara kita mensyukurinya saja. Bila kau menjadikan kekurangan itu (segala rintangan di daerah pedalaman) sebagai sebuah nikmat Tuhan dan kau terus mensyukurinya tanpa henti, kelak Tuhan akan menjadikan dirimu sebagai pribadi yang hebat, kuat dan patut dihadiahkan surga-Nya suatu saat kelak. Begitu juga sebaliknya, meskipun Tuhan telah menghadiahkan segenap kelebihan untuk kau rasakan tetapi kau tidak pandai mensyukurinya, sudah barang tentu murka Tuhan akan menghampirimu.***
Nanga Ella Hulu, 10 November 2017