Hari itu
Rabu, 27 Januari 2016. Kami berangkat menuju sebuah sekolah yang ada di
Tapaktuan. Keberangkatan kami kali ini adalah dalam rangka mengikuti Smart On Brilliant III (SOB). Sekolah
yang menyelenggarakan acara tersebut adalah SMAN UNGUL ACEH SELATAN. Dengan
jumlah 21 orang siswa dengan rincian 12 orang mengikuti Lomba Rangking 1, 6
orang mengikuti Lomba Debat Bahasa Indonesia (LDBI), 3 orang mengikuti cabang Lomba Vocal Solo, dan dikawal
oleh 4 orang guru pendamping.
Berangkatlah
kami dari Labuhanhaji pada pukul 06.30 WIB. Sengaja kami berangkat lebih awal
mengingat di juknis acara tersebut akan berlangsung pada pukul 08.00 WIB. Kami
tak ingin terlambat. Mobil dikebut. Sepeda motor terus dipacu kencang. Tiba
kami di sana, ternyata acara sama sekali belum dimulai. Tentu kalian (pembaca)
pasti tahu bagaimana kelelahan kami, bukan??? Acara ternyata dimulai pada pukul
10 lewat.
Vocal Solo
mulai menarik nomor undian. Tiga siswa kami masing-masing mendapatkan nomor
undian yang berbeda. Nadia mendapatkan undian nomor 5, Sofiana mendapatkan
angka undian 2, dan undian 10 dipegang oleh Jessica. Saat panggung utama sudah
diriuhi oleh senandung-senandung yang dinyanyikan oleh para peserta Vocal Solo,
dewan juri cabang LDBI masih memberikan arahan bagi seluruh peserta LDBI di
ruang aula tempat berkumpulnya para pendebat. Arahan demi arahan itu pun
berakhir. Dan debat pun dimulai pukul 11.00 WIB.
Kami membagi
tugas. Cabang Vocal Solo dan Rangking 1 dikawal dan dibimbing oleh Pak Junaidi
bersama Pak Arinal Farid. Untuk tim Debat Bahasa Indonesia yang mengawalnya
adalah saya sendiri bersama dengan Buk Rina Suswinta. Saya mengawal dan
membimbing Tim Debat bahasa Indonesia yang B dan Tim yang A dibimbing dan
dikawal oleh Buk Rina Suswinta (kami memanggilnya Buk Rina).
Mosi
ditampilkan di layar oleh dewan juri yang
terhormat (dewan juri dalam LDBI adalah mereka-mereka alumni di sekolah itu
sendiri). Undian ditarik dan disaat itu juga ditentukan sebuah tim itu akan
menjadi pro atau kontra dalam menyikapi mosi yang telah diberikan dewan juri.
Peserta masuk ke dalam ruang debat yang dipandu oleh panitia. Saya juga
mengikuti mereka. Pada saat meraka berada di luar ruang debat selama 10 menit
untuk melakukan case building (mengumpulkan
bahan-bahan, argumen-argumen buat bekal debat kelak), semua pembimbing tak
boleh mendekati. Boleh kembali didekati/menyaksikan mereka ketika debat sedang
berlangsung di dalam ruangan.
Saya dan Buk
Rina mengawal anak-anak kami berdebat dalam tiga ronde itu. Setiap ronde usai,
mereka berkumpul kembali di dalam ruang utama. Di sana, pada putaran ronde
pertama, para dewan juri yang terhormat
itu memaparkan hasilnya di atas slide.
Di sana tampak jelas perolehan skor dari setiap tim dan setiap tim debat berada
di peringkat berapa juga terlihat di sana. Jelas!
Masuk ronde
kedua. Mosi diperlihatkan lewat slide.
Peserta debat mencatat mosi. Kemudian, peserta debat mengambil nomor undian.
Selanjutnya keluar ruangan utama menuju ke ruang tempat debat berlangsung dan
itu dipandu oleh para panitia. Setiba di ruangan debat, panitia memberi waktu case building selama 15 menit. Tim Pro melakukan case
building di dalam ruang sedangkan tim Kontra melakukan case building di luar ruang. Setelah itu selesai, peserta yang
dipandu oleh panitia diperintahkan masuk ke dalam ruang.
Saya masuk
menyaksikan berlangsungnya debat. Di dalam ruang debat itu, terdiri dari dua
orang panitia, satu bertugas sebagai Time
Keeper, satu lagi sebagai pencatat waktu di papan tulis, dua tim debat
(satu tim tiga orang), dua orang dewan
juri yang terhormat, dan para penonton. Debat putaran kedua berlangsung
hebat. Kedua tim sama-sama membangun argumen dan mempertahankan argumen. Ronde kedua
berakhir. Peserta debat kembali ke ruang utama tempat berkumpulnya para
pendebat. Di ruangan itu kembali dipaparkan hasil yang diperoleh dan setiap tim
berada di peringkat berapa.
Masuk ke
ronde ketiga. Dalam ronde ini, dewan juri
yang terhormat melepaskan arahan bahwa setiap tim harus berjuang keras. Di
putaran ini, dari 12 tim peserta debat, dewan juri yang terhormat hanya akan mengambil 8 tim yang
berhak mengikuti debat selanjutnya berdasarkan poin yang telah diperoleh.
Artinya, ada 4 tim yang harus gugur. Mosi ditampilkan. Peserta debat
mencatatnya dan melakukan hal yang sama seperti pada ronde-ronde sebelumnya.
Saya masih
tetap mengawal mereka begitu juga dengan Buk Rina Suswinta. Pada mereka hanya
kami sampaikan, berjuanglah sekeras mungkin minimal kita masuk ke dalam delapan
besar itu. Debat dimulai. Argumen demi argumen keluar dari mulut peserta debat.
Mereka membantah argumen lawan. Mereka juga mempertahankan argumen yang telah
diucapkan hingga time keeper mengatakan
waktu berdebat telah usai.
Peserta kembali
ke dalam Debatter House. Di sana,
lewat sebuah slide kembali
diperlihatkan perolehan skor setiap tim. Lewat slide itu juga terlihat bahwa empat sekolah yang harus gugur (saya
tak ingat lagi sekolah mana saja yang waktu itu tewas). Singkat cerita, peserta
debat tinggal delapan tim lagi, dari delapan tim itu dua diantaranya adalah tim
kami.
Masuk ke
ronde keempat. Berdasarkan perolehan nilai dan posisi peringkat tim, dewan juri yang terhormat itu langsung menentukan lawan bagi setiap
tim. Setelah ditentukan, anak kami Tim B (Annasriel, Haikal, dan Ziyat Ilham)
akan melawan tim debat dari sekolah SMA Unggul Darussa’adah. Tim debat A (Soraya,
Donna, dan Cut Puteh Manyang) yang dikawal oleh Buk Rina Suswinta akan melawan
SMA Insan Madani.
Peserta
debat mengambil nomor undian. Mosi yang akan diberikan pada ronde keempat ini
adalah mosi dadakan. Nah, dalam putaran keempat ini, dewan juri yang terhormat itu hanya akan mengambil empat tim debat
yang berhak masuk ke perempat final. Artinya, diputaran ini akan ada empat tim
debat yang harus gugur. Setelah semua
peserta selesai mengambil nomor undian, dewan
juri yang terhormat itu pun memperlihatkan slide mosi. Perusahaan Rokok di Indonesia Harus Ditutup. Itulah mosi yang akan
didebatkan pada putaran keempat ini. Peserta debat mencatat mosi tersebut lalu
menuju ruang debat yang telah ditentukan dan melakukan case building selama 20 menit.
Sepanjang
perjalanan menuju ruangan debat kami mengawal mereka (tim A dan B) dan hanya
mengatakan kepada mereka, “Bantai mereka dengan argumen kalian. Jangan beri
mereka peluang. Ini kesempatan terakhir kalian untuk masuk ke perempat final. Kalian
adalah pejuang terbaik dari yang terbaik! Bantai mereka sampai kandas! Tuhan
bersama kita sekarang! Itu saja!” Kala itu, kedua tim kami mendapatkan posisi
kontra, sebuah posisi yang sangat menguntungkan atas mosi tersebut.
Peserta
diperintahkan masuk ke dalam ruangan debat. Kami juga ikut serta. Saya langsung
mengomandoi anak-anak yang lain untuk ikut serta menyaksikan debat sesi keempat
ini di dalam ruang debat Tim B. Kedua tim mulai menyampaikan argumen. Tiba di
sesi debat bebas, keadaan memanas, kedua tim saling menyerang dengan amunisi yang
mematikan. Tim kami (Annasriel, Haikal, dan Ziyat Ilham) berapi-api berperang;
Annasriel mencak-mencak menghajar tim SMA Unggul Darussa’adah. Ziyat Ilham
dengan urat leher yang membesar juga turut ambil bagian menghajar tim lawan. M.
Haikal dengan gaya santainya yang penuh senyum tapi mematikan itu juga turut
menindas lawannya dengan argumen-argumennya yang seksi. Lawan mereka banyak
terdiam. Meskipun mereka melayangkan argumen bantahan, itu banyak yang tak relevan.
Di saat tim kami menyerang lawannya dengan argumen dan semangat yang
membara-bara, saya, Rian, Farhan, Rizkha, Mak Tek, Aula, Mahfud, dan lainnya, bersorak
riuh gembira hingga panitia harus menenangkan kami. Begitulah seterusnya hingga
time keeper menyatakan waktu debat
telah habis.
Sang dewan juri yang terhormat itu menarik
kesimpulan. Setelah selesai, kami keluar ruangan debat menuju ruang utama. Sepanjang
jalan perdebatan tadi, saya menilai tim kami memenangkan pertarungan itu. Begitu
juga kata anak-anak saya yang menjadi penonton tadi, mereka juga sependapat
dengan saya. Di sisi lain, saya melihat body
language (bahasa tubuh) tim lawan, guru pembimbingnya, dan juga pendukung
mereka, terlihat lemas. Mereka seperti
sudah merasakan aura kekalahannya. Keluar dari ruangan, saya memeluk mereka
dengan gembira (Annasriel, Ziyat Ilham, dan Haikal), “Kalian luar biasa, kalian
membuat mereka tak berkutik, ada beberapa pertanyaan kalian yang tak mampu
mereka jawab, sekarang mari kita lihat hasilnya.” Kami pun menuju ruang utama.
Setiba di
sana, saya mendapati raut muka Tim A yang masam.
“Ada apa
Donna dan soraya?” Tanya saya. “Masak mereka (lawan debatnya, Insan Madani)
melimitkan mosi tadi. Jadi kalau mosi tadi mereka limitkan kami tidak bisa
bergerak bebas untuk menyerang mereka. Kami tanyakan sama dewan juri tak ada
solusi,” jawab mereka. Lalu saya temui Buk Rina Suswinta. “Tadi ada
permasalahan apa Buk Rina?” tanya saya. “Ya, itu yang kayak dibilang Donna,
Soraya, dan si Cut Puteh. Tadi dewan juri juga memperlihatkan pada saya bahwa
nilai mereka sama-sama kosong, Pak” jawab Buk Rina Suswinta.
Berdasarkan
fakta itu, saya langsung menemui seorang dewan
juri yang terhormat itu. “Bagaimana ini solusinya? Tadi telah terjadi
permasalahan di ruang debat anak SMA Insan Madani versus anak kami SMAN Unggul
Darussalam Labuhanhaji.”
“Iya,
sebentar, Pak, saya temui mereka yang menjadi juri di sana tadi. Bapak tunggu
dulu ya.”
Setelah
berucap seperti itu, sang dewan juri yang
terhormat itu, berdiskusi dengan teman-temannya. Saya menunggu di depan
pintu sambil menatap mereka. Sudah beberapa menit berlalu, mereka tak juga
kembali menghampiri saya untuk memberikan jawaban. Mereka masih berada di meja
itu. Saya masih melihat mereka, tetapi mereka seperti mengabaikan saya. Lalu
dengan tiba-tiba saja, salah satu dewan
juri yang terhormat itu, memandu acara dan mengatakan bahwa sekarang
saatnya kita memberikan pengumuman tim mana saja yang berhasil lolos ke babak
perempat final keesokan harinya. Kami saling menatap dengan Buk Rina, sebuah
tatapan yang dalam bahasa lisannya adalah mengapa sesuatu yang kami tanyakan
tadi tak ada jawabannya???? Kok secara tiba-tiba langsung membuat pengumuman
tentang tim yang berhak masuk ke perempat final esok hari.
Tanpa ada
penayangan jumlah skor yang diperoleh oleh setiap tim, para dewan juri yang terhormat itu hanya
menampilkan slide SMA A Vs SMA B, pemenangnya adalah SMA B. Kami terus menunggu slide demi slide. Slide itu akhirnya menampilkan tim debat kami. SMAN Unggul Labuhanhaji B Vs SMAN Unggul
Darussa’adah pemenangnya adalah SMAN
Unggul Darussa’adah. Melihat itu, saya terbakar. Begitu juga dengan
anak-anak didik saya yang lain yang sempat menyaksikan debat tadi, mereka mulai
riuh. Jelas-jelas di ruangan tadi anak-anak debat saya melumat habis lawannya
dengan argumen yang cukup bernas! Mereka menguasai pertarungan debat tadi. Lalu
mengapa mereka kalah??? Sekarang tiba di slide
SMA Insan Madani Vs SMAN Unggul Labuhanhaji, pemenangnya
adalah SMA Insan Madani. Melihat
itu, Buk Rina langsung terbakar. Ia bangkit dari duduknya lalu pergi keluar
ruangan dengan bahasa tubuh yang menampakkan kekesalan sambil berujar palak.
“Kecewa
saya. Ini curang, masak nilainya sama-sama kosong kok tiba-tiba ada pengumuman
pemenangnya. Aneh! Saya ngak terima!
Sakit hati saya!”
Saya menemui
Buk Rina. Lalu kami sepakat untuk menemui dewan
juri yang terhormat itu untuk menanyakan perkara ini. Kami menunggu semua
peserta keluar ruang utama itu, lalu saya, Buk Rina, Pak Arinal Farid, dan Pak
Junaidi Dongoran, pun menemui mereka. Kami langsung meminta pada salah satu
dari mereka kertas yang berisi penilaian akhir itu. Kami hanya ingin melihat jumlah skor akhir saja, bukan rincian
skor setiap aspek penilaian. Ya, hanya jumlah
skor akhir saja, itu saja. Tetapi mereka tak mampu menunjukkannya pada
kami.
Bersebab tak
ada yang mampu ditunjukkan kepada kami oleh dewan
juri yang terhormat itu kami pun mulai mendebat mereka.
“Yang ingin
kami lihat hanya skor akhir saja. Itu saja! Jika kalian mampu menunjukkan itu
maka kami akan keluar dari ruangan ini sekarang juga. Kami takkan mendebat
apalagi memprotes kalian karena itu hak kalian!”
“Itu
privasi,” sahut seorang dewan juri yang
terhormat itu pada kami. Mendengar itu, kami pun kembali menyalak. Kami
ceramahi anak muda yang menjadi dewan
juri yang terhormat itu.
“Benar,
memang itu privasi, tapi privasi yang bagaimana? Bila kami menanyakan setiap
aspek penilaian sama kalian, misalnya aspek A kenapa segini nilainya, aspek B
mengapa sebanyak itu nilainya, itu baru tidak boleh. Itu namanya privasi, karena
itu adalah hak prerogatif setiap dewan juri. Tapi yang kami inginkan hanyalah ingin
lihat skor akhir saja, mana? Tunjukkan pada kami kertas itu! Mengapa di akhir setiap
ronde (1,2,3) tadi kalian memperlihatkan skor akhirnya, sedangkan sekarang tak
kalian perlihatkan??? Nah, bila itu tak mampu kalian tunjukkan, kami mampu menyimpulkan
kalian menilai asal-asalan. Belum objektif! Tidak fair!!! Mengapa kami ngotot demikian karena di atas
kenyataannya Tim B kami saat berlaga mereka menguasai pertarungan debat itu
dengan memberikan argumen-argumen yang mantap, tidak asbun. Kemudian Tim A kami
juga demikian bahkan dewan juri memperlihatkan pada kami nilai mereka (kedua
tim) masih kosong. Jadi atas dasar apa kalian menentukan tim itu lolos ke
putaran berikutnya sedangkan nilainya tak ada? Setiap orang akan bersedia
timnya kalah di atas kertas asalkan sang pengadil mampu menunjukkan buktinya! Asal
kalian tahu, ini namanya pembunuhan karakter anak didik! Itu saja!!!”
Nah,
berangkat dari perkara itu kami menarik benang merah kejanggalan dari proses
tersebut. Pertama, mengapa dewan juri
yang memimpin debat itu dua orang setiap ruang? Seharusnya dalam penjurian,
dewan juri itu harus ganjil (3 atau 5 orang) tidak boleh genap (2 atau 4 orang),
karena jikalau genap bagaimana cara menarik kesimpulannya (referensi pernyataan
ini berasal: dari salah seorang dosen sastra Universitas Syiah Kuala yang telah
melakukan penjurian dalam berbagai even, tentang identitasnya tanyakan sama
saya langsung). Kedua, pada ronde 1,
2, dan 3 skor akhir beserta peringkatnya ditayangkan dalam slide, lalu mengapa disaat ronde keempat hal itu tak dilakukan? Ketiga, berdasarkan penuturan Buk Rina,
salah satu dewan juri mengatakan padanya bahwa kedua tim debat (SMA Unggul
Labuhanhaji B dan SMA Insan Madani) belum ada nilai, masih kosong. Tetapi mengapa
disaat pengumuman pemenangnya adalah SMA Insan Madani. Pertanyaannya adalah
dari mana nilai itu diambil untuk menentukan si pemenang yang akan lolos ke
babak berikutnya? Keempat, mengapa
sang penilai disaat kami minta melihat kertas yang berisi skor akhir itu mereka tak mampu memperlihatkannya???
Setelah
selesai mendebati mereka, akhirnya kami berangkat pulang karena hari sudah
senja. Tak ada lagi kata-kata keramat yang bisa kami ucapkan untuk menyemangati
mereka, anak-anak kami. Bahasa tubuh mereka menunjukkan keterpukulan dan
kekecewaan yang mendalam atas keputusan itu. Mereka berjalan menuju mobil.
Sepanjang perjalanan menuju mobil itu yang kami utarakan kepada mereka adalah
“Pemenang Itu Tak Selamanya di Atas kertas. Hari ini kalian adalah pejuang
sejati. Kalian adalah orang-orang hebat yang sebagian orang tak berani untuk
mengakuinya. Dan hari ini kalianlah pemenang yang sebenarnya. Maka dari itu,
sekarang mari kita berjalan pulang dengan kepala tegak layaknya seorang pejuang
yang telah memenangkan pertarungan! Tentang peristiwa ini, simpanlah baik-baik
di ingatan kalian dan juga di buku hidup kalian karena kelak peristiwa ini akan
ada yang membacanya!”
***
Labuhanhaji Setelah Peristiwa
Itu, Januari 2016
oleh:
Azmi Labohaji, seseorang yang suka keadilan, belum menikah, dan sayang dengan murid-muridnya sama seperti dia menyayangi kekasihnya.....
SILAKAN DI-SHAREEEEEE .......!