Tuesday, 2 August 2016

Kamu Harus Pulang, Yoni!


Malam itu hening sekali. Di luar rintik kecil hujan turun dengan sangat lembut. Di kedai, aku tengah duduk seorang diri menikmati nuansa kesyahduan malam itu. Lalu, beberapa saat kemudian, terdengarlah deru sepeda motor di depan kedai. Dari balik helm yang dipakai, aku melihat sesosok lelaki berkacamata. Dia Yoni.

Yoni Prawardayana seorang lelaki jangkung berkulit putih dengan kacamata sebagai asesoris penghias wajahnya. Malam ini dia akan menyampaikan perkara perpisahannya kepadaku. Kami pun bercerita panjang lebar. Mulai dari segenap kisah yang pernah dialami di tanah Jawa sana, hingga cerita tentang kengerian harga emas yang semakin mengila yang berefek pada jerit tangis dara Aceh karena tak ada yang melamar dan juga berimbas pada kesepian pemuda Aceh ketika jam dinding menunjukkan angka 00.00 WIB.

Yoni ditempatkan di Aceh pada hari Selasa, 18 Agustus 2015 lewat sebuah program Kemendikbud yang bernama SM-3T. Dia akan berada di tanah Aceh selama satu tahun lamanya. Lelaki yang berasal dari Malang ini (dari LPTK Malang) sebenarnya menginginkan penempatan di tanah Papua. Tapi garis takdir telah terukir dia harus dicampakkan di tanah mulia para Aulia Tuhan, Tanah Aceh!

Di tanah para aulia ini dia ditempatkan di sebuah sekolah bernama SMA Negeri Unggul Darussalam Labuhanhaji bersama seorang perempuan yang agak sehat berasal dari Padang dan juga mengikuti program SM-3T. Bila malam telah tiba, guru muda yang mengajarkan pelajaran Sejarah ini ditemani oleh seorang temannya yang juga sama-sama berasal dari Malang bernama Yuda. Temannya itu membidangi pelajaran Penjaskes.

Seiring waktu berlalu, Yoni semakin mantap menjiwai hidup di tanah Aceh, tepatnya di Labuhanhaji. Dia mulai merasakan tanah air Labuhanhaji. Mulai merasakan masakan perempuan Labuhanhaji. Menikmati udara segar hutan Labuhanhaji. Matanya dimanjakan oleh kecantikan-kecantikan gadis-gadis Labuhanhaji keturunan Arab-India. Mendapatkan anak didik yang cerdas, cantik, batat sikit─tetapi memiliki semangat belajar yang tinggi, dan juga anak didik yang tampan-tampan subhanallah. Selain itu, Yoni menemukan sesuatu sebagai pelengkap penjiwaannya atau bisa disebut anugerah Tuhan yang luar biasa selama hidup di tanah Labuhanhaji, Yoni menemukan lelaki-lelaki sopan, tampan, menawan, penuh pengalaman hidup, baik, dan juga humoris di sekolah tempat ia bertugas. Lelaki itu adalah Pak Sem, Pak Yusri, aku, Pak Junaidi Dongoran, Pak Riski Ilahi, dan juga Pak Dedi wan Saputra.

Kata Yoni, lelaki-lelaki ini tak mampu dilupakan olehnya ketika dia telah berada di tanah Jawa kelak. Sebabnya adalah pada setiap harinya, ada saja sejarah yang tercipta antara dia dan para lelaki itu. Dengan Pak Sem misalnya, ada saja debat-debat kecil yang berujung dengan kalimat, “Kamu ngejek saya?” ucap Pak Sem. Bersama Pak Riski, Yoni selalu saja kena perangkap “Batmannya Riski”. Ada saja perkara yang diciptakan Pak Riski yang berujung pada kesialan Yoni. Dengan Pak Junaidi, sang Yoni harus selalu melapor kepadanya bila hendak melakukan kegiatan yang melibatkan anak didik, sebab Pak Junaidi berperan sebagai Wakasis. Kadang-kadang Yoni mendapat hadiah “semprotan bataknya” pak Junaidi. Hahaha. Untuk panutan perangkat elektronik, perkara sarana sekolah, semisal printer, listik, bola lampu, jaringan wifi, Yoni harus dengan penuh kesopanan menghadap Pak Yusri.

Bersama dengan Pak Dedi wan Saputra, Yoni selalu diajarkan cara memegang raket yang benar. Namun, ketika melakukan praktiknya di lapangan, Yoni selalu saja memegang raket dengan cara yang salah. Dan saat melakukan pertandingan kecil-kecilan, dia selalu menjadi orang yang kalah. Tuh, rasain. Memangnya enak! Bila lagi denganku, Yoni banyak curhat. Mulai dari curhat masalah blognya, kekasihnya yang sedang mengabdi di tanah papua, curhat masalah yang dihadapi dengan anak-anak didik, dan juga dengan sekolah. Dan aku selalu melayani curhatnya itu lalu memberinya saran dengan logat Aceh yang begitu kental.

***

Selama berada di tanah Labuhanhaji, sebetulnya Yoni sudah kena pasal Rasis. Ya, bila aku berbicara, selalu saja ia mengulang perkataanku yang kental dialek Acehnya. Setelah itu, dia tertawa lebar. Merasa puas. Berangkat dari hal itu, mulailah aku mengulang perkataan yang dia ucapkan dan memasukkan unsur jawanya. Ketika aku melakukan itu, Yoni menatap wajahku. Melihat itu, aku pun tertawa lebar. Merasa puas!

Yoni waktumu sekarang sudah habis. Pada bulan ini kamu sudah segenap setahun berada di tanah para aulia Tuhan ini. Kamu harus pulang, Yoni. Kembali ke tanah Jawa. Kami tahu, selepas engkau pulang nanti, sekolah yang sangat kamu cintai ini akan kehilangan sesosok yang lucu seperti dirimu. Kami yang kamu tinggali tak tahu harus kemana lagi mengalamatkan perangkat bully yang sudah kami persiapkan. Nanti pada tanggal 5 Agustus 2016 kami akan sangat merasakan kehilanganmu. Kami tapi tidak akan menangis. Yoni, tak ada lagi yang menggoreng tempe di dapur sekolah. Kami tak bisa lagi mengeroyok saus ABC kesayanganmu itu sampai tewas bila datang bakwan gratis atau bila kami lagi makan mie bakso. Pokoknya kami sangat merasakan kehilanganmu, wahai Yoni tukang foto di sekolah.

Lewat coretan ini, Yoni, pesanku, berterimakasihlah kamu kepada Tuhan, kepada program SM-3T, dan kepada tanah yang kita cintai ini. Karena dengan itu, kita dipertemukan dalam jarak dan waktu yang tak disangka-sangka. Sayonara Yoni Prawardayana. Selamat kembali ke tanah Jawa dan juga selamat menikmati nikmatnya masakan orang tua. Meskipun kamu selalu terjatuh dalam perangkap bullyan kami, kami berharap agar kamu selalu mengenang kami dalam bingkai yang takkan lekang dan pudar oleh waktu kehidupanmu. Sampai bertemu kembali Yoni Prawardayana di lain waktu dan lain kesempatan. Oh ya, jangan lupa kamu ceritakan pada teman-temanmu di sana nanti kalau lelaki-lelaki tampan kini semakin langka. Yang masih tersisa hanya tinggal di SMA Negeri Unggul Darussalam labuhanhaji. Mereka adalah lelaki yang kusebutkan di atas. :-P ***


Labuhanhaji, Agustus 2016

Tuesday, 8 March 2016

Puisi Kambing


Kambing. Mendengar nama hewan ini yang terpikir di kepala saya adalah keunikannya. unik karena suara embik-kannya. Unik karena ia punya dua tanduk di kepala. Unik karena baunya yang menyengat; bahkan bau ini sering ditabalkan pada orang-orang yang jarang mandi. Tabalan itu pun terungkap dalam ujaran seperti ini, “Baumu seperti bau kambing. Belum mandi kamu ya?” Selain itu, keunikan pada kambing yang sering dialamatkan pada orang-orang yang jarang mandi juga ada dalam bentuk seperti ini. “Ngapain mandi, kambing saja yang tidak mandi harganya melambung”. Hihihi.

Di sisi lain, hewan pemakan segela jenis rumput ini juga punya keunikan tersendiri bagi segenap orang. Keunikan bagian ini adalah DAGINGNYA. Ya, daging kambing adalah daging yang banyak dicintai umat. Contoh daging kambing dibuat sate. Daging kambing dimasak dalam belanga yang kemudian orang-orang Atjeh menamainya gulee beulangong. O mak oi, bila sudah kena daging binatang yang mengembik ini, apalagi kata anak-anak muda, badan kita terasa enak. Darah bertambah. Pikiran langsung cemerlang. Ide-ide gila muncul berhamburan di dalam kepala.

Jadi, berangkat dari segenap keunikan itulah, lalu saya membuat puisi kambing. Catatannya, bila kalian sudah membaca puisi ini lalu mengatakan puisinya jelek, berarti kalian adalah sanak-saudaranya kambing. Njan, pakon meunan??? Ya ialah, kan kamu membela kambing. Otomatis secara garis keturunan kamu ada hubungan darah dengan KAMBING. Nah, kira-kira beginilah puisinya:


Aku Suka Kambing


Aku suka kambing
meskipun kambing tak suka aku
memang!
Kambing tak suka pisau,
Kambing tak jua suka belanga,
Kambing tak suka hari lebaran
orang-orang syukuran, apalagi orang kawin!

Aku suka kambing
meskipun kambing tak suka aku
kuambil pisau,
kusiapkan belanga,
kuhidupkan api,
Kambing mati tercabik-cabik, terpotong-potong dalam belanga!


Kambing tak suka hari lebaran
orang-orang syukuran, apalagi orang kawin!
Aku mau kawin, jam 00.00 WIB nanti malam!
Kambing tak suka aku, tapi aku suka kambing

Aku makan kambing, tapi kambing tak makan aku
Kambing buat aku kuat jam 00.00 WIB!!!

di akhir penetrasi terdengarlah suara kambing,

“Mmmmbbeeekkkk ….”

Bukan suara lenguhan indah,

Lah mak oi,
ada kambing di kamar pengantin!!!


                                         Selepas makan gulai Kambing, 7 Maret 2016


Udah dibacakan??? Nah, tugas kalian selanjutnya adalah silakan menafsirkan puisi yang berjudul “Aku Suka kambing” itu. Lalu bila kalian mau tertawa, silakan tertawa sendiri. Sekian dulu. Salam dari saya dan semoga pembaca yang budiman segera menyukai KAMBING! Tapi jangan pernah mau untuk menjadi KAMBING; baik KAMBING HITAM apalagi KAMBING BANDOT!!!

Sunday, 31 January 2016

Pemenang Itu Tak Selalu di Atas Kertas



Hari itu Rabu, 27 Januari 2016. Kami berangkat menuju sebuah sekolah yang ada di Tapaktuan. Keberangkatan kami kali ini adalah dalam rangka mengikuti Smart On Brilliant III (SOB). Sekolah yang menyelenggarakan acara tersebut adalah SMAN UNGUL ACEH SELATAN. Dengan jumlah 21 orang siswa dengan rincian 12 orang mengikuti Lomba Rangking 1, 6 orang mengikuti Lomba Debat Bahasa Indonesia (LDBI), 3  orang mengikuti cabang Lomba Vocal Solo, dan dikawal oleh 4 orang guru pendamping.


Berangkatlah kami dari Labuhanhaji pada pukul 06.30 WIB. Sengaja kami berangkat lebih awal mengingat di juknis acara tersebut akan berlangsung pada pukul 08.00 WIB. Kami tak ingin terlambat. Mobil dikebut. Sepeda motor terus dipacu kencang. Tiba kami di sana, ternyata acara sama sekali belum dimulai. Tentu kalian (pembaca) pasti tahu bagaimana kelelahan kami, bukan??? Acara ternyata dimulai pada pukul 10 lewat. 


Vocal Solo mulai menarik nomor undian. Tiga siswa kami masing-masing mendapatkan nomor undian yang berbeda. Nadia mendapatkan undian nomor 5, Sofiana mendapatkan angka undian 2, dan undian 10 dipegang oleh Jessica. Saat panggung utama sudah diriuhi oleh senandung-senandung yang dinyanyikan oleh para peserta Vocal Solo, dewan juri cabang LDBI masih memberikan arahan bagi seluruh peserta LDBI di ruang aula tempat berkumpulnya para pendebat. Arahan demi arahan itu pun berakhir. Dan debat pun dimulai pukul 11.00 WIB.


Kami membagi tugas. Cabang Vocal Solo dan Rangking 1 dikawal dan dibimbing oleh Pak Junaidi bersama Pak Arinal Farid. Untuk tim Debat Bahasa Indonesia yang mengawalnya adalah saya sendiri bersama dengan Buk Rina Suswinta. Saya mengawal dan membimbing Tim Debat bahasa Indonesia yang B dan Tim yang A dibimbing dan dikawal oleh Buk Rina Suswinta (kami memanggilnya Buk Rina).


Mosi ditampilkan di layar oleh dewan juri yang terhormat (dewan juri dalam LDBI adalah mereka-mereka alumni di sekolah itu sendiri). Undian ditarik dan disaat itu juga ditentukan sebuah tim itu akan menjadi pro atau kontra dalam menyikapi mosi yang telah diberikan dewan juri. Peserta masuk ke dalam ruang debat yang dipandu oleh panitia. Saya juga mengikuti mereka. Pada saat meraka berada di luar ruang debat selama 10 menit untuk melakukan case building (mengumpulkan bahan-bahan, argumen-argumen buat bekal debat kelak), semua pembimbing tak boleh mendekati. Boleh kembali didekati/menyaksikan mereka ketika debat sedang berlangsung di dalam ruangan.


Saya dan Buk Rina mengawal anak-anak kami berdebat dalam tiga ronde itu. Setiap ronde usai, mereka berkumpul kembali di dalam ruang utama. Di sana, pada putaran ronde pertama, para dewan juri yang terhormat itu memaparkan hasilnya di atas slide. Di sana tampak jelas perolehan skor dari setiap tim dan setiap tim debat berada di peringkat berapa juga terlihat di sana. Jelas!


Masuk ronde kedua. Mosi diperlihatkan lewat slide. Peserta debat mencatat mosi. Kemudian, peserta debat mengambil nomor undian. Selanjutnya keluar ruangan utama menuju ke ruang tempat debat berlangsung dan itu dipandu oleh para panitia. Setiba di ruangan debat, panitia memberi waktu case building  selama 15 menit. Tim Pro melakukan  case building di dalam ruang sedangkan tim Kontra melakukan case building di luar ruang. Setelah itu selesai, peserta yang dipandu oleh panitia diperintahkan masuk ke dalam ruang.


Saya masuk menyaksikan berlangsungnya debat. Di dalam ruang debat itu, terdiri dari dua orang panitia, satu bertugas sebagai Time Keeper, satu lagi sebagai pencatat waktu di papan tulis, dua tim debat (satu tim tiga orang), dua orang dewan juri yang terhormat, dan para penonton. Debat putaran kedua berlangsung hebat. Kedua tim sama-sama membangun argumen dan mempertahankan argumen. Ronde kedua berakhir. Peserta debat kembali ke ruang utama tempat berkumpulnya para pendebat. Di ruangan itu kembali dipaparkan hasil yang diperoleh dan setiap tim berada di peringkat berapa.


Masuk ke ronde ketiga. Dalam ronde ini, dewan juri yang terhormat melepaskan arahan bahwa setiap tim harus berjuang keras. Di putaran ini, dari 12 tim peserta debat, dewan juri yang terhormat hanya akan mengambil 8 tim yang berhak mengikuti debat selanjutnya berdasarkan poin yang telah diperoleh. Artinya, ada 4 tim yang harus gugur. Mosi ditampilkan. Peserta debat mencatatnya dan melakukan hal yang sama seperti pada ronde-ronde sebelumnya.


Saya masih tetap mengawal mereka begitu juga dengan Buk Rina Suswinta. Pada mereka hanya kami sampaikan, berjuanglah sekeras mungkin minimal kita masuk ke dalam delapan besar itu. Debat dimulai. Argumen demi argumen keluar dari mulut peserta debat. Mereka membantah argumen lawan. Mereka juga mempertahankan argumen yang telah diucapkan hingga time keeper mengatakan waktu berdebat telah usai.


Peserta kembali ke dalam Debatter House. Di sana, lewat sebuah slide kembali diperlihatkan perolehan skor setiap tim. Lewat slide itu juga terlihat bahwa empat sekolah yang harus gugur (saya tak ingat lagi sekolah mana saja yang waktu itu tewas). Singkat cerita, peserta debat tinggal delapan tim lagi, dari delapan tim itu dua diantaranya adalah tim kami.


Masuk ke ronde keempat. Berdasarkan perolehan nilai dan posisi peringkat tim, dewan juri yang terhormat  itu langsung menentukan lawan bagi setiap tim. Setelah ditentukan, anak kami Tim B (Annasriel, Haikal, dan Ziyat Ilham) akan melawan tim debat dari sekolah SMA Unggul Darussa’adah. Tim debat A (Soraya, Donna, dan Cut Puteh Manyang) yang dikawal oleh Buk Rina Suswinta akan melawan SMA Insan Madani.


Peserta debat mengambil nomor undian. Mosi yang akan diberikan pada ronde keempat ini adalah mosi dadakan. Nah, dalam putaran keempat ini, dewan juri yang terhormat itu hanya akan mengambil empat tim debat yang berhak masuk ke perempat final. Artinya, diputaran ini akan ada empat tim debat yang harus gugur.  Setelah semua peserta selesai mengambil nomor undian, dewan juri yang terhormat itu pun memperlihatkan slide mosi. Perusahaan Rokok di Indonesia Harus Ditutup. Itulah mosi yang akan didebatkan pada putaran keempat ini. Peserta debat mencatat mosi tersebut lalu menuju ruang debat yang telah ditentukan dan melakukan case building selama 20 menit.


Sepanjang perjalanan menuju ruangan debat kami mengawal mereka (tim A dan B) dan hanya mengatakan kepada mereka, “Bantai mereka dengan argumen kalian. Jangan beri mereka peluang. Ini kesempatan terakhir kalian untuk masuk ke perempat final. Kalian adalah pejuang terbaik dari yang terbaik! Bantai mereka sampai kandas! Tuhan bersama kita sekarang! Itu saja!” Kala itu, kedua tim kami mendapatkan posisi kontra, sebuah posisi yang sangat menguntungkan atas mosi tersebut.


Peserta diperintahkan masuk ke dalam ruangan debat. Kami juga ikut serta. Saya langsung mengomandoi anak-anak yang lain untuk ikut serta menyaksikan debat sesi keempat ini di dalam ruang debat Tim B. Kedua tim mulai menyampaikan argumen. Tiba di sesi debat bebas, keadaan memanas, kedua tim saling menyerang dengan amunisi yang mematikan. Tim kami (Annasriel, Haikal, dan Ziyat Ilham) berapi-api berperang; Annasriel mencak-mencak menghajar tim SMA Unggul Darussa’adah. Ziyat Ilham dengan urat leher yang membesar juga turut ambil bagian menghajar tim lawan. M. Haikal dengan gaya santainya yang penuh senyum tapi mematikan itu juga turut menindas lawannya dengan argumen-argumennya yang seksi. Lawan mereka banyak terdiam. Meskipun mereka melayangkan argumen bantahan, itu banyak yang tak relevan. Di saat tim kami menyerang lawannya dengan argumen dan semangat yang membara-bara, saya, Rian, Farhan, Rizkha, Mak Tek, Aula, Mahfud, dan lainnya, bersorak riuh gembira hingga panitia harus menenangkan kami. Begitulah seterusnya hingga time keeper menyatakan waktu debat telah habis.


Sang dewan juri yang terhormat itu menarik kesimpulan. Setelah selesai, kami keluar ruangan debat menuju ruang utama. Sepanjang jalan perdebatan tadi, saya menilai tim kami memenangkan pertarungan itu. Begitu juga kata anak-anak saya yang menjadi penonton tadi, mereka juga sependapat dengan saya. Di sisi lain, saya melihat body language (bahasa tubuh) tim lawan, guru pembimbingnya, dan juga pendukung mereka, terlihat lemas.  Mereka seperti sudah merasakan aura kekalahannya. Keluar dari ruangan, saya memeluk mereka dengan gembira (Annasriel, Ziyat Ilham, dan Haikal), “Kalian luar biasa, kalian membuat mereka tak berkutik, ada beberapa pertanyaan kalian yang tak mampu mereka jawab, sekarang mari kita lihat hasilnya.” Kami pun menuju ruang utama.


Setiba di sana, saya mendapati raut muka Tim A yang masam.


“Ada apa Donna dan soraya?” Tanya saya. “Masak mereka (lawan debatnya, Insan Madani) melimitkan mosi tadi. Jadi kalau mosi tadi mereka limitkan kami tidak bisa bergerak bebas untuk menyerang mereka. Kami tanyakan sama dewan juri tak ada solusi,” jawab mereka. Lalu saya temui Buk Rina Suswinta. “Tadi ada permasalahan apa Buk Rina?” tanya saya. “Ya, itu yang kayak dibilang Donna, Soraya, dan si Cut Puteh. Tadi dewan juri juga memperlihatkan pada saya bahwa nilai mereka sama-sama kosong, Pak” jawab Buk Rina Suswinta.


Berdasarkan fakta itu, saya langsung menemui seorang dewan juri yang terhormat itu. “Bagaimana ini solusinya? Tadi telah terjadi permasalahan di ruang debat anak SMA Insan Madani versus anak kami SMAN Unggul Darussalam Labuhanhaji.”


“Iya, sebentar, Pak, saya temui mereka yang menjadi juri di sana tadi. Bapak tunggu dulu ya.”

Setelah berucap seperti itu, sang dewan juri yang terhormat itu, berdiskusi dengan teman-temannya. Saya menunggu di depan pintu sambil menatap mereka. Sudah beberapa menit berlalu, mereka tak juga kembali menghampiri saya untuk memberikan jawaban. Mereka masih berada di meja itu. Saya masih melihat mereka, tetapi mereka seperti mengabaikan saya. Lalu dengan tiba-tiba saja, salah satu dewan juri yang terhormat itu, memandu acara dan mengatakan bahwa sekarang saatnya kita memberikan pengumuman tim mana saja yang berhasil lolos ke babak perempat final keesokan harinya. Kami saling menatap dengan Buk Rina, sebuah tatapan yang dalam bahasa lisannya adalah mengapa sesuatu yang kami tanyakan tadi tak ada jawabannya???? Kok secara tiba-tiba langsung membuat pengumuman tentang tim yang berhak masuk ke perempat final esok hari.


Tanpa ada penayangan jumlah skor yang diperoleh oleh setiap tim, para dewan juri yang terhormat itu hanya menampilkan slide SMA A Vs SMA B, pemenangnya adalah SMA B. Kami terus menunggu slide demi slide. Slide itu akhirnya menampilkan tim debat kami. SMAN Unggul Labuhanhaji B Vs SMAN Unggul Darussa’adah pemenangnya adalah SMAN Unggul Darussa’adah. Melihat itu, saya terbakar. Begitu juga dengan anak-anak didik saya yang lain yang sempat menyaksikan debat tadi, mereka mulai riuh. Jelas-jelas di ruangan tadi anak-anak debat saya melumat habis lawannya dengan argumen yang cukup bernas! Mereka menguasai pertarungan debat tadi. Lalu mengapa mereka kalah??? Sekarang tiba di slide SMA Insan Madani Vs SMAN Unggul Labuhanhaji, pemenangnya adalah SMA Insan Madani. Melihat itu, Buk Rina langsung terbakar. Ia bangkit dari duduknya lalu pergi keluar ruangan dengan bahasa tubuh yang menampakkan kekesalan sambil berujar palak.


“Kecewa saya. Ini curang, masak nilainya sama-sama kosong kok tiba-tiba ada pengumuman pemenangnya. Aneh! Saya ngak terima! Sakit hati saya!”


Saya menemui Buk Rina. Lalu kami sepakat untuk menemui dewan juri yang terhormat itu untuk menanyakan perkara ini. Kami menunggu semua peserta keluar ruang utama itu, lalu saya, Buk Rina, Pak Arinal Farid, dan Pak Junaidi Dongoran, pun menemui mereka. Kami langsung meminta pada salah satu dari mereka kertas yang berisi penilaian akhir itu. Kami hanya ingin melihat jumlah skor akhir saja, bukan rincian skor setiap aspek penilaian. Ya, hanya jumlah skor akhir saja, itu saja. Tetapi mereka tak mampu menunjukkannya pada kami.


Bersebab tak ada yang mampu ditunjukkan kepada kami oleh dewan juri yang terhormat itu kami pun mulai mendebat mereka.


“Yang ingin kami lihat hanya skor akhir saja. Itu saja! Jika kalian mampu menunjukkan itu maka kami akan keluar dari ruangan ini sekarang juga. Kami takkan mendebat apalagi memprotes kalian karena itu hak kalian!”


“Itu privasi,” sahut seorang dewan juri yang terhormat itu pada kami. Mendengar itu, kami pun kembali menyalak. Kami ceramahi anak muda yang menjadi dewan juri yang terhormat itu.


“Benar, memang itu privasi, tapi privasi yang bagaimana? Bila kami menanyakan setiap aspek penilaian sama kalian, misalnya aspek A kenapa segini nilainya, aspek B mengapa sebanyak itu nilainya, itu baru tidak boleh. Itu namanya privasi, karena itu adalah hak prerogatif setiap dewan juri. Tapi yang kami inginkan hanyalah ingin lihat skor akhir saja, mana? Tunjukkan pada kami kertas itu! Mengapa di akhir setiap ronde (1,2,3) tadi kalian memperlihatkan skor akhirnya, sedangkan sekarang tak kalian perlihatkan??? Nah, bila itu tak mampu kalian tunjukkan, kami mampu menyimpulkan kalian menilai asal-asalan. Belum objektif! Tidak fair!!! Mengapa kami ngotot demikian karena di atas kenyataannya Tim B kami saat berlaga mereka menguasai pertarungan debat itu dengan memberikan argumen-argumen yang mantap, tidak asbun. Kemudian Tim A kami juga demikian bahkan dewan juri memperlihatkan pada kami nilai mereka (kedua tim) masih kosong. Jadi atas dasar apa kalian menentukan tim itu lolos ke putaran berikutnya sedangkan nilainya tak ada? Setiap orang akan bersedia timnya kalah di atas kertas asalkan sang pengadil mampu menunjukkan buktinya! Asal kalian tahu, ini namanya pembunuhan karakter anak didik! Itu saja!!!”


Nah, berangkat dari perkara itu kami menarik benang merah kejanggalan dari proses tersebut. Pertama, mengapa dewan juri yang memimpin debat itu dua orang setiap ruang? Seharusnya dalam penjurian, dewan juri itu harus ganjil (3 atau 5 orang) tidak boleh genap (2 atau 4 orang), karena jikalau genap bagaimana cara menarik kesimpulannya (referensi pernyataan ini berasal: dari salah seorang dosen sastra Universitas Syiah Kuala yang telah melakukan penjurian dalam berbagai even, tentang identitasnya tanyakan sama saya langsung). Kedua, pada ronde 1, 2, dan 3 skor akhir beserta peringkatnya ditayangkan dalam slide, lalu mengapa disaat ronde keempat hal itu tak dilakukan? Ketiga, berdasarkan penuturan Buk Rina, salah satu dewan juri mengatakan padanya bahwa kedua tim debat (SMA Unggul Labuhanhaji B dan SMA Insan Madani)  belum ada nilai, masih kosong. Tetapi mengapa disaat pengumuman pemenangnya adalah SMA Insan Madani. Pertanyaannya adalah dari mana nilai itu diambil untuk menentukan si pemenang yang akan lolos ke babak berikutnya? Keempat, mengapa sang penilai disaat kami minta melihat kertas yang berisi skor akhir itu mereka tak mampu memperlihatkannya???


Setelah selesai mendebati mereka, akhirnya kami berangkat pulang karena hari sudah senja. Tak ada lagi kata-kata keramat yang bisa kami ucapkan untuk menyemangati mereka, anak-anak kami. Bahasa tubuh mereka menunjukkan keterpukulan dan kekecewaan yang mendalam atas keputusan itu. Mereka berjalan menuju mobil. Sepanjang perjalanan menuju mobil itu yang kami utarakan kepada mereka adalah “Pemenang Itu Tak Selamanya di Atas kertas. Hari ini kalian adalah pejuang sejati. Kalian adalah orang-orang hebat yang sebagian orang tak berani untuk mengakuinya. Dan hari ini kalianlah pemenang yang sebenarnya. Maka dari itu, sekarang mari kita berjalan pulang dengan kepala tegak layaknya seorang pejuang yang telah memenangkan pertarungan! Tentang peristiwa ini, simpanlah baik-baik di ingatan kalian dan juga di buku hidup kalian karena kelak peristiwa ini akan ada yang membacanya!”  

 ***  



                                                                        Labuhanhaji Setelah Peristiwa Itu, Januari 2016
 oleh:
Azmi Labohaji, seseorang yang suka keadilan, belum menikah, dan sayang dengan murid-muridnya sama seperti dia menyayangi kekasihnya.....

SILAKAN DI-SHAREEEEEE .......!