Tuesday, 3 March 2015

Bidadari Tuhan yang Jatuh di Kandang Ayamku



Satu tahun selepas menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru di universitas ternama di Aceh, saat itu aku mulai memutuskan untuk menjalani profesi tambahan yaitu menjadi seorang peternak ayam yang sukses. Untuk menjalani profesi tersebut agar menuai hasil sukses, aku mencari banyak referensi dari berbagai sumber dan juga pawang-pawang ayam. Referensi itu sangat aku butuhkan. Tujuannya agar aku mahfum bagaimana cara merawat ayam yang baik, mendidik anak ayam agar ia tumbuh dengan sempurna, hingga tentang tata cara bagaimana mengawinkan (baca: jatuh cinta) ayam kampung dengan ayam Siam yang katanya cool dan memiliki harga jual yang tinggi.  Setengah tahun mempelajari tentang seluk beluk hewan yang bertanduk di kaki itu, akhirnya apa yang aku impikan tercapai. 

Kini ayam-ayamku telah banyak dan hasil jerih payah atas menernak hewan yang bertanduk di kaki itu sebentar lagi akan terbayar. Bila kurincikan seperti ini; ayam jantan sebanyak 300 ekor, ayam dara sebanyak 350 ekor (ada yang sedang bertelur, yang tengah mengeram telur, yang hampir bertelur, dan yang sedang mencari si jantan untuk kawin dengannya), ayam betina (ma manok) sebanyak 250 ekor, dan anak ayam sebanyak 500 ekor. Kali ini aku akan memanen mereka di saat yang sangat tepat karena sebulan lagi bulan puasa tiba. Bila bulan puasa telah tiba, tentu kebutuhan masyarakat akan ayam sangat tinggi, apalagi ayam kampung. Nah, setelah kukalkulasikan dengan menjual ayam jantan sekian ekor, ayam dara sekian ekor, ma manok sekian ekor, dan anak ayam sekian ekor (jumlah ayam yang akan kujual sengaja aku rahasiakan biar kalian tidak tahu berapa rupiah yang aku dapatkan) aku akan mendapatkan uang yang lumayan menyenangkan buat lebaran kelak. 

Akhirnya, ramadhan memasuki hari ke lima belas. Kesenangku atas ayam-ayamku semakin tak terbendung. Kuhabiskan hari-hariku selepas subuh hingga waktu berbuka bersama ayam-ayamku. Kebetulan saat bulan puasa aku libur mengajar. Di area peternakan ayamku itu aku mulai me-list ayam jantan, ayam betina, ayam dara, dan anak-anak ayam yang mana akan kujual pada masyarakat dan agen saat ramadhan memasuki hari keduapuluh delapan. Mendengar keriuhan suara ayam; yang berkokok, yang merepet karena baru siap bertelur, yang berteriak karena dikejar jantan untuk diajak kawin, dan suara-suara ayam lainnya, bagiku memiliki kesenangan tersendiri. 

Ramadhan memasuki hari kedua puluh tujuh. Aku belum sekejap pun memejamkan mata. Sejak berbuka puasa hingga subuh tiba, aku menghabiskan waktu di mesjid, tadarus bersama pemuda-pemuda kampung (sekedar informasi: saat tadarus kata kawan-kawanku di kampung, aku memiliki suara dan irama yang merdu). Pada pukul 14.00 WIB selepas pulang membelikan tepung terigu buat Emakku yang akan membuat kue bhoi untuk sajian para tetamu saat lebaran nanti aku tertidur sejenak. Tepat pukul 15.00 WIB Emak mengguncang-guncang tubuhku. Saat aku membuka mata, raut wajah Emakku terlihat panik. 

“Ka beudoh bagah, Ajimi, jeh manok-manok kah ka habeh  diklik-klik, kadang cit na muruwa yang ka jitamong dalam eumpung manok,” ucap Emakku dan kembali ke dapur menyelesaikan pekerjaannya membuat kue Bhoi. 

Aku segera bangun dan berlari ke area peternakan ayam. Saat kubuka pintu gerbang masuk ke area perternakan ayam, ayam-ayamku mengejarku. Aku tak tahu maksud mereka apa sehingga mereka berkerumun mengelilingiku, apakah ingin memberi tahu sesuatu atau ingin melindungi diri dari sesuatu. 

Ayam-ayam terus berdatangan ke arahku. Kali ini, di paruh mereka ada bulu-bulu putih yang begitu lembut. Kuperhatikan lekat-lekat ayam-ayamku itu dan bulu-bulu yang ada di paruh mereka. Mereka tak memakannya. Saat ayam-ayam tersebut tiba di dekatku mereka menjatuhkan bulu-bulu tersebut tepat di hadapanku. Begitu seterusnya hingga di hadapanku kini telah ada tumpukan bulu-bulu putih yang begitu lembut dan menawan. 

Aku semakin penasaran. Untuk menjawab rasa penasaranku ini, kutelusurilah asal mula bulu-bulu putih lembut tersebut. Saat aku hampir tiba di kandang utama—di belakang kandang utama itu tumbuh sebatang mawar putih yang berdekatan dengan sebatang pohon kuini yang besar—kulihat Mando (nama ayam jantan kesayanganku) itu tengah mengambil ancang-ancang hendak menyerang sesuatu. Aku takut-takut suka untuk melihat apa benda yang hendak dihajar Mando. Dengan kejantanan dan kegarangan yang ia miliki, Mando akhirnya menyerang sesuatu yang ada di hadapannya itu. 

Aku akhirnya memberanikan diri untuk melihat sesuatu yang dihajar Mando. Ah, aku langsung terkejut dengan wajah melotot dan mulut menganga. Ternyata yang kudapati adalah seorang gadis mahacantik yang tengah merintih kesakitan dengan tangan memegang mawar putih dan Mando menghajarnya tanpa ampun. 

Aku masih berdiam diri di tempat dan tak membantunya sama sekali. Aku masih berpikir bahwa gadis yang ada di depanku ini manusia atau bukan. Dan Mando semakin garang menghajarnya. Beberapa menit kemudian, gadis mahacantik itu mengulurkan tangan mahaputihnya itu yang tengah menggenggam mawar putih. Ada nada iba memohon darinya. 

Aku langsung mengusir Mando. Mando berhenti menyerang. Aku dengan takut-takut suka mencoba memegang tangannya secara perlahan-lahan. Pertama yang kuambil adalah mawar putih itu baru kemudian aku memegang tanggannya. Saat persentuhan pertama terjadi aku merasakann kelembutan kulit telapak tangannya yang mahalembut. Sedikit demi sedikit rasa takutku mulai sirna. Aku mencoba membangunkannya perlahan-lahan. Saat itu juga rasa takutku melarikan diri dan selama proses membangunkannya itu mataku sama sekali tak berkedip! Aku berhasil membangunkannya. Saat itu aku seperti tak sadar diri ketika berdekatan dengan gadis yang mahacantik dan mahaputih itu. 

Tiba-tiba rasa takutku kembali menghampiri. Gadis nan mahacantik itu mendekatkan wajahnya ke telinganku. Dengan keadaan jiwa takut-takut suka aku membiarkan dirinya mendekatkan wajahnya ke telingaku. Di sana ia berbisik dengan suara yang mahamerdu.

“Terima kasih telah menyelamatkanku. Aku bidadari Tuhan yang jatuh dari surga!” bisiknya begitu lembut.

Aku langsung menatapnya semakin melotot. Dengan mulut membentuk huruf O, aku melepaskan pegangan tangannya. Keadaan jiwaku saat ia mengutarakan bahwa ia adalah Bidadari Tuhan yang jatuh dari surga, antara percaya dan tidak percaya, antara kagum dan takut. Lalu, untuk membuktikan bahwa aku tidak sedang bermimpi, aku pun meninggalkan gadis nan mahacantik itu untuk sesaat.

“Mmm…Bidadari Tuhan, kamu tunggu di sini sebentar,” aku menyerahkan kembali mawar putih padanya. Seketika itu juga ia tersenyum padaku seraya memejamkan matanya begitu lembut dan mencium mawar pemberianku itu dengan penuh penjiwaan. 

Aku menuju kandang ayam. Sesampai di sana, aku mencari ayam yang tengah mengeram telurnya. Lalu dengan penuh kepasrahan, kuganggu ayam yang tengah mengeram tersebut dengan cara memasukkan tangan ke telur yang tengah ia erami. Saat itu juga sang ayam yang tengah memanasi telurnya itu mematuk tanganku dengan kuat. 

“Auu … sakit,” ucapku. Berarti aku sedang tak bermimpi. Namun, aku masih belum puas. Sekarang kuganggu pula ayam yang tengah mencakar-cakar tanah sembari bermain dengan anak-anaknya yang masih bayi. Aku sengaja mengganggunya. Kuulurkan tanganku. Dengan cekatan sang ayam yang tengah memanjakan bayi-bayinya itu meng-kelapuh (menghajar) ku. Aku kembali kesakitan dengan amat sangat kali ini. 

 Bidadari Tuhan tersenyum ria melihatku kesakitan akibat dihajar ayam-ayamku sendiri. Aku kembali lagi padanya. Aku kini berada tepat di hadapannya. Saat itu sang Bidadari Tuhan tersenyum tersipu malu padaku. Aku mematung hebat menikmati keindahan dan kecantikan yang ia miliki itu. Sungguh kecantikan yang tiada tandingannya! Aku sungguh tak mampu menggambarkan kecantikannya itu dengan kata-kataku. Bila terlalu kupaksakan melukiskan keindahannya itu maka ia tak terlukis seperti bidadari. 

Cantiknya sungguh sempurna. Sungguh sempurna cantiknya bila kuumpamakan kecantikannya adalah kumpulan dari segenap kecantikan-kecantikan perempuan yang ada di dunia ini (misal, bila kita ambil kecantikan Laila—gadis dalam cerita Laila Majnun, kecantikan Yusniar, Refalina S Tomat, Anjelina Jolie, kecantikan Bunda Illiza—walikota Banda Aceh,  kecantikan  Tata Citata—penyanyi dangdut “Sakitnya tu Di sini”, kecantikan Ralinesyah—aktris iklan White Coffee, kecantikan Nurul Fitri—mahasiswa PPG Unsyiah jurusan Biologi, dan kecantikan-kecantikan perempuan lainnya yang ada di dunia ini) bila disatukan, maka seperti itulah cantiknya bidadari yang jatuh di kandang ayamku itu. Mampukah kau membayangkannya???

Kini aku telah benar-benar percaya bahwa ia adalah Bidadari Tuhan yang jatuh dari surga. Aku kembali meraih tangannya dengan tujuan ingin menuntunnya berjalan tetapi seketika itu juga terpikir olehku bahwa harus kubawa ke mana si bidadari ini? Ke rumah? Tidak mungkin. Jika kupaksakan bawa ke rumah, Emak akan syok saat melihat wajahnya nana mat cantik ini. Bila Emak kembali bertanya anak siapa dia dan dari mana asalnya, harus kujawab apa nanti??? Haruskah kujawab bahwa gadis ini adalah Bidadari Tuhan yang jatuh dari surga dan dikirim khusus buatku? Ah, itu tentu jawaban yang sangat konyol dan aku tentu akan mendapatkan cemoohan yang sangat menyakitkan dari Emak. 

Pasti Emak akan berucap seperti ini. “That teuga kameulumpoe. Njoe bak sang efek karena gohlom kameukawen!!!!” 

Saat Emak berucap seperti itu, aku sudah sangat hafal bagaimana raut wajah Emak yang mengejekku dan juga raut wajah adik perempuanku. Ah, tentu mereka takkan percaya. 

Sekejap kemudian, terlintas di pikiranku untuk memasukkan si bidadari di rumah Aceh milik nenekku yang tidak ditinggali lagi dan bersebelahan dengan pekarangan kandang ayamku. Aku langsung mengajaknya ke rumah tersebut. Ketika tanganku menyentuh punggungnya untuk mengajaknya berjalan menuju rumah Aceh itu, aku merasakan cairan yang begitu dingin menyentuh telapak tanganku. Dinginnya sedingin es di dalam kulkas milik Emak. Aku langsung melihat telapak tanganku. Ternyata cairan dingin yang menyentuh tanganku itu adalah darah yang mengalir di punggung sang bidadari. 

“Punggungmu berdarah,,” ucapku. 

“Ia, saat aku jatuh, aku tersangkut di pohon besar itu,” jawab sang bidadari dan mengarahkan telunjuknya ke dahan pohon kuini di mana telah tersangkut sepasang sayap berbulu putih lembut miliknya itu. 

Aku harus segera mengambil sayap-sayap itu sebelum orang-orang melihatnya. Tapi itu akan kulakukan nanti setelah sang bidadari benar-benar telah berada di dalam rumah Aceh. Aku kembali mengajaknya untuk berjalan menuju rumah Aceh.  Saat ia melangkahkan kakinya, secara tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan, ia terkulai lemas dan rebah . . . . . . . . . . . .  (BERSAMB

→ SEMOGA YANG SHARE TULISAN INI DAPAT JODOH BIDADARI DARI SURGA :-)