Wednesday, 18 February 2015

Mengapa Kau Delcon Aku?



Kisah ini bermula saat seorang gadis yang sudah kukenal amat dekat mengiriku sebuah pesan singkat lewat Blackberry Mesangger.

“Lagi di mana?”

“Lagi di kebun,” balasku, padahal tubuhku sedang berguling-guling di atas kasur. 

“Oh, kukira lagi di gorengan Apakir.”

“Oh, ngak. Kenapa?” tanyaku.

Lama setelah itu baru kemudian seseorang yang kunamai “Salju” itu membalasnya. 

“Ngak kenapa-kenapa.” 

Dari balasan pesan tersebut lalu aku mencoba menganalisis jenis pilihan kata dan karakter tulisannya. Lantas aku menerka-nerka dalam hati dengan tingkat kebenaran masih nol persen. Ini pasti bukan si salju yang membalasnya! Ingin membenarkan terkaan tersebut, aku pun kembali bertanya padanya.

“Ini calon suaminya, ya?”

Sesaat kemudian, handphoneku kembali bergetar. Sebuah pesan BBM dari si Salju. 

“Ia, kenapa?”

Aku langsung merasa risih tatkala membaca untaian kata yang terukir rapi di atas layar handphoneku itu. Kerisihan tersebut mengajak seluruh tubuhku untuk tidak lagi berguling-guling di atas kasur. Aku harus berbuat sesuatu untuk mengatasi permasalahan yang mungkin bisa berakibat fatal kelaknya. 

Dalam keadaan jiwa yang sedang serius stadium empat, benda kecil yang ada di tanganku kembali bergetar. Kupicingkan mataku lagi-lagi mataku mendapati untaian kata dari si Salju. Pesan yang masuk masih dalam bentuk kalimat yang sama hanya saja ada satu penambahan suku kata yaitu namaku.

“Ia, kenapa Azmi?”

Mulutku langsung membeo slogan yang selalu dikumandangkan oleh temanku yang berasal dari jurusan Kimia itu. Pak Sem. Kami memanggilnya Sem KW. 

“Omak, panik aku!”

Jemariku masih berdiam manis di atas layar handphone. Ia sedang menunggu perintah untuk menekan tombol huruf yang sedari tadi sudah siap untuk dicumbui. Sejurus kemudian dalam keadaan masih sadar aku pun memerintahkan ujung jemariku untuk mencumbui setiap tombol huruf yang ada di layar handphone. 

“Oh, maaf sudah mengganggu!” aku selesai mengetiknya dan mengirimnya. 

Setelah kupastikan kata-kata tersebut terkirim dengan selamat dan masuk ke dalam handphone si Salju, aku dengan sabar menunggu sebuah lambang “D” yang tertera di sudut kiri layar handphoneku menjadi “R” (tentu kalian tahu apa arti lambang “D” dan “R” tersebut).

Akhirnya, lambang tersebut berubah menjadi “R”. Itu artinya pesanku terkirim dengan selamat dan masuk ke dalam handphonenya dengan terhormat. Lalu tak ingin berlama-lama lagi dan masih berada di dalam aplikasi BBM, aku menuju pada opsi kontak. Di sana kucari nama si Salju. Setelah kutemukan, tepat di atas namanya, kutahan jariku hingga di layar handphoneku muncul pilihan “Delete Contact”. Tanpa berpikir lama dan mengucapkan bismillah, jemariku pun menyentuh kolom yang bertulisan “YES”. 

Sekejap kemudian hilanglah nama si Salju dari handphoneku. Aku tak tahu ia hilang kemana, entah dibawa angin manja, entah dibawa malaikat menuju ke suatu tempat, yang jelas kini aku tak lagi mengusik si Salju karena aku tak lagi memiliki nomor unik BBM-nya itu yang bernama PIN. 
-------
Kamis, 12 Februari 2015
Kejahilanku kembali lahir saat aku menemukan nomor telponnya lewat seorang temanku yang hampir mirip Teuku Wisnu. Pada siang yang terang benderang itu aku kembali menghubungi si Salju yang telah lama kutinggalkan. Kali ini aku menelponnya, tak lagi memberinya kabar lewat pesan singkat.  Sebagai salam pembuka karena telah lama tak berkabar-ria hanya bersitatap lewat hati saja, kuawalilah kalimat percakapan siang itu dengan mengatakan padanya bahwa ada yang rindu dengan kata “Tarrraaammm”.

Dari balik telpon ia marah sedang—bukan marah besar—kala aku melafazkan kalimat tersebut. Tapi aku menanggapinya dengan sangat santai karena aku tahu bahwa marahnya kali ini adalah sebentuk marah yang ada unsur rindu di dalamnya. Tentu aku sangat menikmati marah yang seperti ini!   

Bila kalian membaca kisah ini tentu kalian akan bertanya mengapa dicari kembali sesuatu yang telah didelete itu? Jawabannya termuat dalam percakapan yang berdurasi selama 60 menit 30detik di siang itu. Semuanya terkuak di sana. Apa, mengapa, kok bisa, semuanya terjawab.  

Pada percakapan yang berdurasi satu jam lebih itu si Salju berkisah panjang lebar. Aku mendengar dengan khidmat ia berkisah seraya menikmati alunan suara yang begitu lama telah kurindu. Aku sungguh-sungguh menyimaknya layak Marsha yang mendengar si Bear yang membacakan dongeng dalam film kartun Marsha and The Bear itu. 

“Tentang balasan hari itu sebenarnya yang membalas pesan tersebut adalah diriku. Bukan calon suamiku!” ucapnya.

“Sebenarnya aku kesal padamu. Sekarang kukatakan padamu bahwa sesuatu yang berbentuk persegi dan sering berada di tangan orang-orang, mereka menyebutnya handphone, tak pernah kuberikan pada orang lain. Itu privasi.”

Aku terdiam seraya menyimaknya dengan khusyuk. 

“Aku tak pernah menyerahkan benda kecil itu pada orang lain! Dan kau tahu, sebenarnya yang membalas pesan itu adalah diriku sendiri. Namun, saat itu kau sudah terburu-buru menghapusku dari handphone-mu jadi aku tak sempat mengirimimu penjelasan tersebut.”

Aku lega mendengar penjelasan darinya. Tiba-tiba pikiranku teringat akan sebuah film yang sarat kisah romantik, yaitu Romie and Juliete. Sang lelaki terlalu terburu-buru meneguk racun yang mematikan saat melihat kekasihnya yang telah terbujur di atas dipan. Padahal sang kekasih hanya terlelap saja. Aku mungkin hampir mirip seperti si Romie itu yang terlalu terburu-buru mendelete PIN seseorang yang amat baik itu, padahal ia sama sekali tak menginginkan hal itu terjadi. 

Setelah penjelasan panjang lebar itu, akhirnya aku kembali berbicara dengannya dengan leluasa. Kali ini dalam pembicaraan yang topiknya bagai gado-gado (alias topik yang tidak jelas) aku dengan sangat bahagia menikmati suaranya, tawanya, dan kesahajaannya itu. Siang itu aku sungguh bahagia. Selain itu, kebahagiaanku ternyata juga tertular menjalari jiwa seorang sahabatku bernama Ozy. Ia bahagia karena menikmati aku yang berkata-kata dengan si Salju dengan bahasa yang sungguh mendayu-dayu bak pujangga yang tengah menyembah sesuatu yang bernama cinta. Itu saja!

Baiklah ceritanya selesai. Bila tidak kuakhiri sampai di sini, akan banyak lagi lembaran-lembaran yang menjadi korban untuk kuceritakan setiap detil peristiwa ini. 

Terakhir kalinya, sejujurnya yang ingin kukatakan di sini adalah sebagai seorang lelaki yang masih memiliki hati dan perasaan—kedua-duanya masih aktif dan masih bekerja dengan baik—aku tak ingin mengusik orang lain apalagi menyangkut dengan hal yang bernama KEBAHAGIAAN! Sungguh tak ingin.  Itulah alasan terbaikku bila ada yang bertanya mengapa kau delcon  salah satu nama yang ada di dalam BBM-mu itu!

Saturday, 7 February 2015

Puisi Memaki


Kadang kala saat sabar telah habis terkikis meninggalkan tubuh, saat lisan tak kuasa lagi mengucap asma Tuhan, makian pun menjadi kata terakhir sebagai bentuk atau wujud pemuas jiwa. Apalagi bila seseorang itu berasal dari kaum yang keseharian kaum-kaum tersebut telah terbiasa dengan makian. Ada banyak jenis bentuk rupa makian yang diutarakan saat rasa kesal atau amarah menghampir di jiwa. Kadang kala makian diwujudkan dalam bentuk jenis-jenis binatang, baik yang haram maupun yang tidak haram. Bila bentuk amarahnya teramat besar, makian yang dipakai pun bisa lebih ekstrim lagi, misal, make mother (peuget ma), Fucking your mother (pap ma), kejar ibu (let ma). 

Di sini saya sama sekali tidak menganjurkan Anda untuk memaki karena perbuatan memaki amat cepat dicatat oleh malaikat Tuhan ke dalam buku dosa. Nah, bila Anda kadang dengan keadaan jiwa yang tak kuasa lagi menahan amarah, menahan kesal, atau menahan sesuatu perhal yang mengusik tubuh Anda, semisal ada si Gam meujanggot yang mengusik Anda saat menjawab soal ujian, atau saat nama Anda tak tertera dalam daftar pengumuman berita kelulusan, bertasbihlah, bertasbihlah, atau sesekali membaca puisi ini. 

Wa Geu Pap
Oleh: Azmi Labohaji

Ini kali aku memaki 
Buat negeri dan orang yang kubenci 
Negeri macam apa ini orang macam apa ini?
Wa Geu Pap
Banyak orang melarat mencari nasi
Makin banyak pencuri pakai dasi
Aku semakin benci melihat ini orang dan ini negeri!
Wa Geu Pap
Kian banyak orang menyanyikan lagu kematian sendiri
Oh, ini tanda apa?
Oh, ini bala namanya apa?
Negeri semakin kacau
Orang-orang jadi galau.

Wa Geu Pap,
Kata nenekku  jika kau hendak mengupat
Katakan saja Wa Geu Pap!
Kau akan selamat….

Rangkang Blang, Maret 2012 

Puisi ini pernah dimuat pada Harian Serambi Indonesia tertanggal 25 Maret 2012